Kamis, 14 Februari 2013

skripsi catur


TINJAUAN VIKTIMOLOGI TERHADAP PERAN KORBAN DALAM TERJADINYA TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN
( STUDI KASUS DI UNIT PPA POLRES POHUWATO)


SKRIPSI



OLEH :
CATUR BAYU AJI
NIM : H.11.09.124

Untuk Memenihi Salah Satu Syarat Ujian
Guna Memperoleh Gelar Sarjana
Pada Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gororntalo






PROGRAM SARJANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ICHSAN GORONTALO
2013

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam usaha mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat, tanggung jawab pemerintah Republik Indonesia tidaklah semudah yang kita duga. Banyaknya gangguan yang melanda kehidupan masyarakat.
Berbagai ragam kejahatan yang dapat terjadi dan ditemui di masyarakat pada setiap saat maupun pada semua tempat. Para pelaku kejahatan selalu berusaha memanfaatkan waktu yang luang dan tempat yang memungkinkan untuk menjalankan aksinya. Tujuan yang ingin mereka capai hanya satu yaitu memperoleh benda atau uang yang diinginkan dengan kejahatannya.
Suatu kejahatan atau tindak pidana, umumnya dilakukan pelaku kejahatan karena didorong atau dimotivasi oleh dorongan pemenuhan kebutuhan hidup yang relative sulit dipenuhi. Kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi yang tinggi memberi peluang tindak kejahatan makin tinggi volumenya dan meningkat kualitasnya termasuk pelanggaran pidana yang makin bervariasi. Untuk menanggulangi kejahatan dan tindak pidana demikian itu dibutuhkan kebijakan penindakan dan antisipasi yang menyeluruh.
Tindak pidana dan kejahatan yang semakin pelik dan rumit dengan dampak yang luas, dewasa ini menuntut penegak hukum oleh aparat yang berwenang menerapkan sanksi hukum dan kebijakan penegakan yang tepat guna, sesuai hukum yang berlaku yang dampaknya diharapkan dapat mengurangi sampai batas minimum tindak pidana dan pelanggaran hukum.
 Penegakan hukum terhadap ketentuan undang-undang hukum pidana tujuannya untuk mendukung kesejahteraan masyarakat dengan menekan semaksimal mungkin adanya pelanggaran hukum dan tindak pidana yang merugikan masyarakat, baik moril maupun materiil bahkan jiwa seseorang.
Para pelaku kejahatan dapat melakukan aksinya dengan berbagai upaya dan dengan berbagai cara. Keadaan seperti itu menyebabkan kita sering mendengar “modus operandi” (model pelaksanaan kejahatan) yang berbeda -beda antara kejahatan satu dengan lainnya. Dengan kemajuan teknologi dewasa ini, modus operandi para penjahat juga mengarah kepada kemajuan ilmu dan teknologi.
Faktor-faktor yang melatarbelakangi kejahatan, menurut Mulyana W. Kusumah pada dasarnya dapat dikelompokkan kedalam 4 (empat) golongan faktor, yaitu:
1.      Faktor dasar atau faktor sosio-struktural, yamg secara umum mencakup aspek budaya serta aspek pola hubungan penting didalam masyarakat.
2.       Faktor interaksi sosial, yang meliputi segenap aspek dinamik dan prosesual didalam masyarakat, yang mempunyai cara berfikir, bersikap dan bertindak individu dalam hubungan dengan kejahatan.
3.      Faktor pencetus (precipitating factors), yang menyangkut aspek individu serta situasional yang berkaitan langsung dengan dilakukannya kejahatan.
4.      Faktor reaksi sosial yang dalam ruang lingkupnya mencangkup keseluruhan respons dalam bentuk sikap, tindakan dan kebijaksanaan yang dilakukan secara melembaga oleh unsur -unsur sistem peradilan pidana khususnya dan variasi respons, yang secara “informal” diperlihatkan oleh warga masyarakat.
Berbagai kejahatan yang ada di masyarakat memang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana khusus dan kejahatan umum. Walaupun dalam prakteknya, tidak jarang pula terjadi tumpang tindih pada ketentuan-ketentuan yang mengaturnya.
Seperti dapat kita lihat pada kejahatan korupsi, kejahatan ekonomi, dan kejahatan subversi. Di mana ketiganya sebenarnya juga mengacaukan perekonomian Negara. Dalam kejahatan korupsi memang ditegaskan unsur “ mengacaukan perekonomian dan keuangan Negara”, demikian pula pada tindak pidana ekonomi. Sementara itu, pada tindak pidana subversi terdapat unsure perbuatan yang “menghambat industri dan distribusi” yang dilakukan oleh Negara.
Selanjutnya pada tindak pidana umum, juga kita dapatkan beraneka ragam atau macamnya, di mana salah satunya adalah tindak pidana pemerkosaan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ( KBBI v 1,3 ) “Perkosa berarti menundukkan dengan kekerasan; memaksa dengan kekerasan; menggagahi, sedang pemerkosaan adalah proses, perbuatan, cara memerkosa”.
Tindak pidana pemerkosaan yang ada dalam KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) diatur dalam Pasal 285 yang berbunyi “Barang siapa dengan kekersan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan pemerkosaan  dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.
Didalam penulisan ini, fokus masalah akan diarahkan kepada pemerkosaan  yang diatur dalam Pasal 285 KUHP.
Di kabupaten pohuwato pada tahun 2012 ini sudah ada 4 (empat) kasus pemerkosaan yang masuk di Polres Pohuwato. Dan dari ketiga kasus tersebut satu diantaranya sudah sampai pada proses peradilan (Sumber: Satuan Resosrt Kriminal polres Pohuwato).
Di samping pelaku (ke jahatan pemerkosaan) pokok masalah utama yang akan dibicarakan adalah peranan korbannya. Menurut Arief Gosita, dalam menghadapi suatu kejahatan, kita tidak hanya menyalahkan atau memperhatikan pelakunya saja, akan tetapi juga harus memperhatikan dan menyalahkan korbannya. Walaupun secara eksplisit tidak dinampakkan dengan jelas.
Dalam tindak pidana “perampokan” (istilah umum pencurian dengan kekerasan sesuai dengan ketentuan Pasal 365 KUHP) misalnya:, dimungkinkan korbannya lebih suka menyimpan uang atau perhiasan dalam jumlah besar, tempat tinggalnya yang terpencil dalam arti jarang dikunjungi atau diperhatikan orang yang lewat atau ada di sekitarnya. 
Tidak menutup kemungkinan apabila terjadi Tindak pidana pemerkosaan kemungkinan hobby korban yang suka berpakaian “merangsang (minim)”, suka keluar malam atau berada di tempat sepi, dan sebagainya. Hal ini tentunya dapat memancing para lelaki yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan tindakan-tindakan yang tidak senonoh bahkan melakukan tindak pidana pemerkosaan terhadap korban. Semua keadaan di atas,menyebabkan penulis ingin mengetahui peranan korban, terutama korban tindak pidana pemerkosaan. Oleh karena itu penulis menyusun skripsi ini yang berjudul “TINJAUAN VIKTIMOLOGI TERHADAP PERAN KORBAN DALAM TERJADINYA TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN (Studi Kasus Di Unit PPA Polres Pohuwato)”.
1.2 Rumusan Masalah
Masih berpegang pada latar belakang permasalahan di atas, maka rumusan masalah yang penulis ajukan, adalah :
1.      Sejauhmana peran korban dalam terjadinya tindak pidana pemerkosaan yang terjadi di Pohuwato?
2.      Bagaimana upaya-upaya penanggulangan yang dilakukan Kepolisian Resort Pohuwato untuk mencegah peningkatan tindak pidana pemerkosaan?


1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian yang ingin penulis peroleh dengan penelitian ini adalah :
1.      Untuk mengetahui sejauh mana korban dapat dianggap berperan didalam menunjang keberhasilan pelaku kejahatan dimaksud dalam melakukan tindakannya.
2.      Ingin diketahui pula upaya -upaya yang selama ini dilakukan oleh penegak hukum, masyarakat maupun pelaku kejahatan itu sendiri, di dalam mengurangi atau menentukan kuantitas kejahatan di maksud.
1.4 Manfaat Penelitian
1.      Manfaat Teoritis
a.       Memberikan sumbangan pemikiran di bidang hukum pada umumnya dan dalam bidang hukum pidana pada khususnya.
b.      Memberikan suatu gambaran yang lebih nyata mengenai masalah-masalah yang ada dalam tindak pidana pemerkosaan sebagai bahan pengetahuan tambahan untuk dapat dibaca dan dipelajari lebih lanjut, khususnya bagi  mahasiswa fakultas hukum.
2.      Manfaat Praktis
Sebagai bahan masukan bagi aparat penegak hukum dalam menangani kasus-kasus pemerkosaan.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum Tentang Korban (Victim)
2.1.1 Pengertian Korban
Menurut kamus Crime Dictionary yang dikutip seorang ahli (Abdussalam, 2010:5) bahwa Victim adalah “orang yang telah mendapat penderitaan fisik atau penderitaan mental, kerugian harta benda atau mengakibatkan mati atas perbuatan atau usaha pelanggaran ringan dilakukan oleh pelaku tindak pidana dan lainnya”. Disini jelas yang dimaksud “orang yang mendapat penderitaan fisik dan seterusnya” itu adalah korban dari pelanggaran atau tindak pidana.
Selaras dengan pendapat diatas adalah (Arif Gosita, 1989:75) menyatakan yang dimaksud dengan korban adalah:
“mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita”. Ini menggunakan istilah penderitaan jasmaniah dan rohaniah (fisik dan mental) dari korban dan juga bertentangan dengan hak asasi manusia dari korban.
Selanjutnya secara yuridis pengertian korban termaktub dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban, yang dinyatakan bahwa korban adalah “seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”. Melihat rumusan tersebut yang disebut korban adalah:
1.      Setiap orang,
2.      Mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau
3.      Kerugian ekonomi,
4.      Akibat tindak pidana.
Ternyata pengertian korban disesuaikan dengan masalah yang diatur dalam beberapa perundang-undangan tersebut. Jadi tidak ada satu pengertian yang baku, namun hakikatnya adalah sama, yaitu sebagai korban tindak pidana. Tentunya tergantung sebagai korban tindak pidana apa, misalnya kekerasan dalam rumah tangga, pelanggaran HAM yang berat dan sebagainya. Untuk pengertian umum dari korban seperti tertuang dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006.
        Menurut Peraturan Pemerintah nomor 2 Tahun 2002 tentang tata cara perlindungan terhadap korban dan saksi-saksi dalam pelanggaran HAM yang berat, korban adalah:
“orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, terror, dan kekerasan pihak mana pun”.

        Sedangkan yang disebut korban menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah:
“orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga”.

Kemudian menurut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang dimaksud dengan korban adalah:
orang perseorangan atau kelompok orang  yang mengalami penderitaan, baik fisik, mental maupun emosional, kerugian ekonomi atau mengalami pengabaian, pengurangan atau perampasan hak-hak dasarnya sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat  termasuk korban atau ahli warisnya”.
Secara etiologis korban adalah merupakan orang yang mengalami kerugian baik kerugian fisik, mental maupun kerugian finansial yang merupakan akibat dari suatu tindak pidana (sebagai akibat) atau merupakan sebagai salah satu faktor timbulnya tindak pidana (sebagai sebab). Korban diartikan sebagai seseorang yang telah menderita kerugian sebagai akibat tindak pidana dan rasa keadilannya secara langsung terganggu sebagai akibat pengalamannya sebagai target / sasaran tindak pidana. Konsepsi korban Tindak Pidana terumuskan juga dalam Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power, yaitu :
1. Korban tindak pidana (Victim of Crime) meliputi
a. Korban Langsung (Direct Victims)
                        Yaitu korban yang langsung mengalami dan merasakan penderitaan dengan adanya tindak pidana dengan karakteristik sebagai berikut :
1)      Korban adalah orang baik secara individu atau secara kolektif.
2)      Menderita kerugian meliputi : luka fisik, luka mental, penderitaan emosional, kehilangan pendapatan dan penindasan hak-hak dasar manusia.
3)      Disebabkan adanya perbuatan atau kelalaian yang terumuskan dalam hukum pidana.
4)       Atau disebabkan oleh adanya penyalahgunaan kekuasaan.
b. Korban Tidak Langsung (Indirect Victims)
          Yaitu timbulnya korban akibat dari turut campurnya seseorang dalam membantu korban langsung (direct victims) atau turut melakukan pencegahan timbulnya korban, tetapi dia sendiri menjadi korban tindak pidana, atau mereka menggantungkan hidupnya kepada korban langsung seperti isteri / suami, anak-anak dan keluarga terdekat.
2. Victims of abuse of power
Korban adalah orang yang secara individual atau kolektif menderita kerugian, termasuk luka fisik atau mental, penderitaan emosional, kehilangan ekonomi atau pelanggaran terhadap pokokpokok hak dasar mereka, melalui perbuatan-perbuatan atau kelalaian yang belum merupakan pelanggaran undang-undang pidana Nasional tetapi norma-norma diakui secara internasional yang berhubungan dengan hak-hak asasi manusia (Bambang Djoyo Supeno, SH, Mhum, 1997 : 14)
Menurut Arif Gosita (2004 : 222) yang dimaksud dengan korban adalah:
“Mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang berhubungan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita”.
Pengertian dan ruang lingkup korban menurut Resolosi Majelis Umum PBB No. 40/34 Tahun 1985 adalah orang-orang, baik secara individual maupun kolektif, yang menderita kerugian akibat perbuatan atau tidak berbuat yang menlanggar hukum pidana yang berlaku disuatu negara, termasuk peraturan yang melarang penyalahgunaan kekuasaan. Dalam bagian lain terutama mengenai pengertian “Victims of Power” bahwa orang-orang yang menjadi korban dari perbuatan-perbuatan atau tidak berbuat yang walaupun belum merupakan pelanggaran Menurut norma HAM yang diakui secara internasional juga termasuk dalam pengertian “Korban”
2.1.2 Ciri-Ciri Korban (Victim)
Dilihat dari peranan korban dalam terjadinya tindak pidana, Stephen Schafer mengatakan pada prinsipnya terdapat 4 (empat) tipe / ciri-ciri korban:
1.         Orang yang tidak mempunyai kesalahan apa-apa, tetapi tetap menjadi korban. Untuk tipe ini, kesalahan ada pada pelaku
2.         Korban secara sadar atau tidak sadar telah melakukan sesuatu yang merangsang orang lain untuk melakukan kejahatan. Untuk tipe ini, korban dinyatakan turut mempunyai andil dalam terjadinya kejahatan sehingga kesalahan terletak pada pelaku dan korban.
3.         Mereka yang secara biologis dan sosial potensial menjadi korban. Anak-anak, orang tua, orang yang cacat fisik atau mental, orang miskin, golongan minotitas dan sebagainya merupakan orang-orang yang mudah menjadi korban. korban dalam hal ini tidak dapat disalahkan tetapi masyarakatlah yang harus bertanggung jawab.
4.         Korban karena ia sendiri merupakan pelaku. inilah yang dikatakan sebagai kejahatan tanpa korban. Pelacuran, perjudian, zina, merupakan beberapa kejahatan yang tergolong kejahatan tanpa korban. pihak yang bersalah adalah korban karena ia juga sebagai pelaku.
2.1.3 Lingkup Korban ( Victim )
        Berbicara mengenai korban kejahatan pada awalnya tentu korban orang per seorangan atau individu. Pandangan begini tidak salah, karena untuk kejahatan yang lazim terjadi dimasyarakat memang demikian. Misalnya pembunuhan, penganiyayaan, pemerkosaan, pencurian dan sebagainya.
        Pada tahap perkembangannya, korban kejahatan bukan saja orang perorangan, tetapi meluas dan kompleks. Persepsinya tidah hanya banyaknya jumlah korban (orang), namun juga korporasi, institusi, pemerintah, bangsa dan Negara. Hal ini juga dinyatakan (Arif Gosita, 1989: 75-76) bahwa korban dapat berarti “ individu atau kelompok baik swasta maupun pemerintah”.
        Lebih luas dijabarkan (Abdussalam, 2010: 6-7) mengenai korban perseorangan, institusi, lingkungan hidup, masyarakat, bangsa, dan Negara sebagai berikut:
1.         Korban perseorangan adalah setiap orang sebagai individu mendapat penderitaan baik jiwa, fisik, materil, maupun nonmaterial.
2.         Korban institusi adalah setiap institusi mengalami penderitaan kerugian dalam menjalankan fungsinya yang menimbulkan kerugian berkepanjangan akibat dari keijakan pemerintah, kebijakan swasta, maupun bencana alam.
3.         Korban lingkungan hidup adalah  setiap  lingkungan alam yang didalamnya berisikan kehidupan tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia dan masyarakat serta semua jasad hidup yang tumbuh berkembang dan kelestariannya sangat tergantung pada lingkungan alam tersebut yang telah mengalami gundul, longsor, banjir, dan kebakaran yang ditimbulkan oleh kebijakan pemerintah yang salah dan perbuatan manusia baik individu maupun masyarakat yang tidak bertanggung jawab.
4.         Korban masyarakat, bangsa, dan Negara adalah masyarakat yang diberlakukan secara diskriminatif tidak adil, tumpang tindih pembagian hasil pembangunan serta hak sipil, hak politik, hak ekonomi, hak sosial, hak budaya tidak lebih baik setiap tahun.
Selain yang disebut itu, kiranya untuk korban institusi, masyarakat, bangsa, dan Negara dikaitkan maraknya kejahatan baik kualits maupun kuantitas dapat ditambahkan, antara lain sebagai berikut:
1.    Dalam perkara korupsi dapat menjadi korban tindak pidana korupsi berupa kerugian keuangan Negara dan perekonomian Negara, kualitas kehidupan, ruaknya insfrasturktur dan sebagainya.
2.    Dalam tindak pidana terorisme, dapat mengalami korban jiwa masyarakat, keresahan masyarakat, kerusakan infrastuktur, terusiknya ketenangan, kerugian materiil, dan imateriil lainnya.
3.    Dalam tindak pidana narkotika, dapat menjadi korban rusaknya generasi muda, menurunya kualitas hidup masyarakat, dan sebagainya.
4.    Dalam tindak pidana perusakan lingkungan hidup, pembabatan hutan dan illegal logging, dapat menyebabkan rusaknya, lingkungan, tanah tandus, banjir bandang, serta merusak infrastuktur dan penderitaan  rakyat yang berkepanjangan.
Diluar uraian diatas, masih banyak kerugian yang diderita masyarakat, bangsa dan Negara akibat tindak pidana. Misalnya kerugian pendapatan Negara jika terjadi tindak pdana penyelundupan, kepabenan, perpajakan, pencucian uang, dan tindak pidana perekonomian lainnya. Pada prinsipnya bila terjadi tindak pidana apalagi semakin meningkat sangat merugikan masyarakat, bangsa, dan Negara. Kerugian-kerugian dapat membawa dampak negatif di bidang politik, ekonomi, social, budaya, hukum, rendahnya moralitas, dan kerugian-kerugian dibidang lainnya.
Perlu ditambahkan bahwa korban perseorangan bukan hanya seperti tersebut diatas. Adakala korban juga sebagai pelaku, misalnya pengguna narkotika, anak nakal dan sebagainya. Lebih lanjut dinyatakan seorang ahli (Romli  Atmasasmita, 1992: 7) bahwa “untuk perbuatan pelanggaran hukum tertentu, mungkin terjadi apa yang sering dikenal dalam kepustakaan kriminologi, sebagai victimless crime (Schur, 1965) atau kejahatan “tanpa korban”. Bahkan korban dan pelaku adalah tunggal atau satu, bahwa pengertian bahwa pelaku adalah korban dan korban adalah pelaku juga. Sebagai contoh pelacuran, perjudian, tindak pidana narkotika sebagai pemakai atau drug-users. Jenis pelanggaran hukum tidak dapat membedakan secara tegas antara siapa korban dan siapa pelaku.

2.1.4 Hubungan Korban Dengan Kejahatan
Pada umumnya dikatakan hubungan korban dengan kejahatan adalah pihak yang menjadi korban sebagai akibat kejahatan.tentu ada asap pasti ada api. Pihak tersebut menjadi korban karena ada pihak lain yang melakukan kejahatan. Memang demikianlah pendapat yang kuat selama ini yang didukung dengan fakta yang ada, meskipun dalam praktik ada dinamika yang berkembang.
Hal lain yang disepakati dalam hubungan ini, terpenting pihak korban adalah pihak yang dirugikan. Pelaku merupakan pihak yang mengambil untung atau merugikan korban. Kerugian yang sering diterima atau diderita korban (lihat pengertian-pengertian korban) misalnya fisik, mental, ekonomi, harga diri dan sebagainya. Ini berkaitan dengan status, kedudukan, posisi , tipologi korban dan sebagainya.
Uraian tersebut menegaskan yang bersangkutan sebagai korban “murni” dari kejahatan. Artinya korban memang korban yang sebenar-benarnya/senyatanya. Korban tidak bersalah hanya semata-mata hanya sebagai korban. Mengapa menjadi korban, kemungkinan penyebabnya; kealpaan, ketidak tauan, kurang hati-hati, kelemahan korban atau mungkin  kesialan korban. Dapat juga terjadi akibat kelalaian Negara untuk melindungi warganya. Perkembangan global, factor ekonomi, politik, sosiologis, ataupun factor-faktor negatif lain, memungkinkan adanya korban yang tidak “murni”. Disini korban tersangkut atau menjadi bagian dari pelaku kejahatan, bahkan sekaligus menjadi pelakunya. Lebih mendalam tentang masalah ini, Hentig seperti dikutip (Rena Yulia,2012: 81) beranggapan bahwa peranan korban dalam menimbulkan kejahatan adalah:
a.    tindakan kejahatan memang dikehendaki oleh si korban untuk terjadi;
b.    kerugian akibat tindak kejahatan mungkin dijadikan si korban untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar;
c.    akibat yang merugikan si korban mungkin merupakan kerja sama antara si pelaku dengan si korban;
d.   kerugian akibat tindak kejahatan sebenarnya tidak terjadi bila tidak ada provokasi si korban.
Selanjutnya hubungan korban dengan pelaku dapat dilihat dari tingkat kesalahannya. Menurut Mendelsohn (ibid.:80), berdasarkan derajat kesalahannya korban dibedakan menjadi 5 (lima) macam, yaitu:
a.    yang sama sekali tidak bersalah
b.    yang jadi korban karena kelalaian
c.    yang sama salahnya dengan pelaku
d.   yang lebih bersalah dari pelaku
e.    yang korban adalah satu-satunya yang bersalah (dalam hal ini pelaku dibebaskan)
Sebenarnya banyak hubungan korban dengan pelaku, diantaranya juga dapat dikaji melalui hubungan darah, persaudaraan, family, ataupun kekeluargaan. Misalnya pencurian dalam keluarga, pelecehan seksual dan bahkan penganiyayaan atau pembunuhan untuk memperebutkan harta waris serta kekuasaan/dalam pengaruh keluarga. Sejenis hubungan ini atu hubungan orang-orang dekat pelaku ataupun korban seperti teman, sahabat, pacar, rekan bisnis dan sebagainya. Ada lagi hubungan berdasarkan hubungan sengan sasaran tindakan pelaku (G.Widiartana, 2009:22), yaitu sebagai berikut:
a.    korban langsung, yaitu mereka yang secara langsung menjadi sasaran atu objek perbuatan pelaku.
b.    Korban tidak langsung, yaitu mereka yang meskipun tidak secara langsung menjadi sasaran perbuatan pelaku, tetapi juga mengalami penderitaan atau nestapa. Pada kasus pembunhan terhadap seorang laki-laki yang mempunyai tanggung jawab menghidupi istri dan anak-anaknya, meninggalnya laki-laki tersebut merupakan korban langsung. Sedangkan istri dan anaknya itu merupakan korban tidak langsung.
Fakta menunjukan bahwa sebagian besar korban merupakan korban yang murni atau senyatanya. Korban-korban dimaksud terjadi dalam tindak pidana misalnya terorisme, pencurian (bisa pemberatan dan kekerasan), dan tindak pidana lain yang sering terjadi dimasyarakat. Koban disini dalam posisi pasif, tidak menjadi faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana. Pihak pelaku yang mengendaki penuh kejahatannya dan korban korban yang menjadi sasaran atau tujuan kejahatan tersebut. Menurut Medelsohn, derajat kesalahan korban adalah “yang sama sekali tidak bersalah”.
Memang banyak juga korban ikut andil dalam terjadinya kejahatan. Derajat kecilnya peran korban, misalnya korban lalai, sehingga munc ul atau terjadi tindak pidana. Dapat terjadi pula dalam hal korban menarik perhatian pelaku, misalnya korban menyukai memperlihatkan kekayaannya, overacting, atau perilaku lain yang  dapat menggugah pelaku melakukan tindak pidana. Dapat terjadi pula bila korban seorang perempuan sering berpakaian atau berprilaku seksi dan merangsang atau tidak sopan. Bukan saja ikut andil, sering terjadi korban “sama salahnya dengan pelaku”. Disini korban berpura-pura menjadi korban, padahal ia pelaku. Misalnya pelaku bom bunuh diri, seorang penjaga barang atau uang yang melaporkan terjadi kejahatan padahal yang bersangkutan turut serta dalam kejahatan itu dan sebaginya.
Kehidupan banyak dinamika antara korban dan kejahatan, akibat dorongan ekonomi, politis dan psikis. Idealnya selalu berkurang jumlah korban dan pelaku. Jika terjadi semakin bertambah korban, maka yang terpenting adalah pemberian hak dan perlindungan terhadap korban semaksimal mungkin. Demikian pula bila pelaku bertambah, hendaklah diperlakukan sesuai hak-haknya. Selanjutnya bila menjadi terpidana atau narapidana hendaknya diterapkan system pemasyarakatan. Juga tidak kalah pentingnya bagi pelaku untuk dapat memmberi ganti kerugian atau restitusi kepada  korban.
Diluar itu, ada kondisi diantar korban dan pelaku. Dalam hal ini “hubungan korban dan pelaku merupakan dwi tunggal”(Romli Atmasasmita, 1992:7). Lebih lanjut dnyatakan bahwa “korban dan pelaku adalah tunggal atau satu, dalam pengertian bahwa pelaku adalah korban dan korban pemakai atau drug users. Jenis pelanggaran hukum tersebut tidak dapat membedakan secara tegas antara siapa korban dan siapa pelaku”. 
2.2. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Dan Pemidanaan
2.2.1 Pengertian Tindak Pidana
Tindak pidana, peristiwa pidana dan perbuatan pidana merupakan beberapa istilah dari penerjemahan istilah “strafbaar feit” kedalam bahasa Indonesia. Dari segi harfiah, istilah strafbaar feit terdiri dari straf berarti hukuman (pidana), baar berarti dapat (boleh), dan feit berarti peristiwa (perbuatan). Jadi, istilah strafbaar feit adalah peristiwa yang dapat dipidana atau perbuatan yang dapat dipidana. Hal ini sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat dipidana itu sebenarnya manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, peristiwa atau perbuatannya.
Berikut ini adalah beberapa pengertian strafbaar feit dari para ahli (Lamintang, 1997:181) :
1.      Hazewinkel Suringa: strafbaar feit adalah suatu perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak didalam suatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat di dalam Undang-Undang.
2.    Pompe: memberikan batasan pengertian strafbaar feit adalah suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku. Dimana penjatuhan hukum terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.
3.    Simons: strafbaar feit adalah suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh Undang-Undang telah dinyatakan dengan suatu tindakan yang dapat dihukum.
4.    Vos: strafbaar feit adalah suatu kelakuan (gedraging) manusia yang dilarang oleh Undang-Undang diancam dengan pidana.  
5.    Moeljatno: menterjemahkan strafbaar feit menjadi perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan dimana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pemidanaan bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Atau dapat juga dirumuskan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana.
6.    Roeslan Saleh : memberikan batasan perbuatan pidana adalah perbuatan yang bertentangan dengan tata atau ketentuan yang dikehendaki oleh hukum, syarat utama dari adanya perbuatan pidana adalah kenyataan bahwa ada aturan yang melarang.
7.    R. Tresna: memberikan batasan pengertian peristiwa pidana adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan Undang-Undang atau perundang-undangan lainnya terhadap perbuatan mana diadakan tindakan pemidanaan.
8.    Rusli Effendy: memberi batasan dengan mepergunakan istilah peristiwa pidana  adalah suatu peristiwa yang dapat dikenakan pidana oleh hukum pidana, memakai kata hukum pidana tertulis dan ada hukum pidana yang tidak tertulis (hukum pidana adat).
9.    A. Zainal Abidin Farid: mendasari pendapatnya dari para ahli hukum pidana Belanda yang memberi pengertian strafbaar feit, yakni menurut Simons bahwa strafbaar feit terjemahan peristiwa pidana adalah perbuatan melawan hukum yang berkaitan dengan kesalahan (schuld) seseorang yang mampu bertanggungjawab.
Sedangkan istilah tindak pidana itu sendiri adalah pelanggaran norma-norma dalam tiga bidang hukum lain, yaitu hukum perdata, hukum ketatanegaraan, dan hukum tata usaha pemerintahan yang oleh pembentuk Undang-Undang ditanggapi sebagai hukum pidana (Wirjono Prodjodikoro, 2003:1).
Istilah tindak pidana hanya menunjukkan kepada sifat perbuatan saja, yaitu sifat melarang dengan ancaman pidana apabila dilanggar. Apakah yang melanggar itu benar-benar dipidana seperti yang sudah diancamkan, ini tergantung kepada keadaan batinnya dan hubungan batinnya dengan tindakannya itu yaitu dengan kesalahannya. Jadi tindak pidana dipisahkan dari pertanggungjawaban pidana. Lain halnya dengan strafbaar feit yang mencakup pengertian perbuatan dan kesalahan.
Pertanggungjawaban pidana tidak cukup dengan dilakukannya perbuatan pidana saja, akan tetapi disamping itu harus ada kesalahan, atau sikap batin yang dapat dicela dan ada pula asas hukum yang tidak tertulis ”tidak dipidana jika tidak ada kesalahan”.
Kiranya dapat pula disamakan dengan istilah Inggris criminal act (Andi Hamzah, 2005:32) dengan alasan:
1.    Bahwa criminal act ini juga berarti kelakuan dan akibat, atau dengan kata lain sebagai akibat dari suatu kelakuan yang dilarang oleh hukum.
2.    Karena criminal act juga dapat dipisahkan dari pertanggungjawaban pidana yang dinamakan criminal liability atau responsibility juga untuk dapat dipidananya seseorang selain daripada melakukan perbuatan pidana orang itu harus mempunyai kesalahan (guilt).
Beda halnya dengan istilah perbuatan pidana yang bersifat lebih abstrak dibandingkan dengan istilah peristiwa pidana yaitu bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu. Disini larangan dijatuhkan kepada perbuatan (suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian tersebut.
Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan erat, oleh karena itu antar kejadian dan orang yang menimbulkan tidak dapat dipisahkan antara satu sama lain. Dan untuk menyatakan hubungan yang erat itu maka digunakanlah perkataan perbuatan, yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjuk kepada dua keadaan konkrit: pertama, adanya kejadian tertentu dan kedua, adanya orang yang berbuat yang menimbulkan kejadian tersebut (Moeljatno, 2002:54).
2.2.2 Teori-teori Pemidanaan
Ada berbagai macam pendapat mengenai teori pemidanaan ini, namun yang banyak itu dapat dikelompokkan kedalam tiga golongan besar yaitu:
1.    Teori Absolut
Dasar pijakan dari teori ini ialah pembalasan. Inilah dasar pembenar dari penjatuhan penderitaan berupa pidana itu pada penjahat. Penjatuhan pidana yang pada dasarnya penderitaan pada penjahat dibenarkan karena penjahat telah membuat penderitaan pada orang lain.
Setiap kejahatan tidak boleh tidak harus diikuti oleh pidana bagi pembuatnnya tidak dilihat akibat-akibat apa yang dapat timbul dari penjatuhan pidana itu tidak memperhatikan masa depan baik pidana tidak dimaksud satu-satunya penderitaan bagi penjahat.
Tindakan pembalasan didalam penjatuhan pidana mempunyai dua arah, yaitu:
a.    Ditujuhkan pada penjatuhannya (sudut subjektif dari pembalasan).
b.    Ditujukan untuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendam dikalangan masyarakat (sudut objektif dari pembalasan.
2. Teori Relatif atau Teori Tujuan.
Teori relatif atau teori tujuan berpokok pangkal pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat. Tujuan pidana ialah tata tertib masyarakat, dan untuk memberi tekanan atau pengaruh kejiwaan bagi setiap orang untuk takut melakukan kejahatan. Ancaman pidana menimbulkan suatu kontra motif yang menahan setiap orang untuk melakukan.
3. Teori Gabungan.
Teori gabungan ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas pertahanan tata tertib masyarakat dengan kata lain dua alasan ini menjadi dasar dari penjatuhan pidana. Teori gabunhgan ini dapat dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu sebagai berikut.
a)    Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalsan itu tidak boleh melampaui dari apa yang perlu dan cukup untuknya dapat dipertahankannya dalam tata tertib masyarakat.
b)   Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhi pidana tidak boleh lebih berat daripada perbuatan yang dilakukan oleh terpidana (Scharavendijk,1955;218).
2.2.3   Syarat Pemidanaan Tindak Pidana
1.    Unsur Perbuatan (Feit)
Unsur perbuatan merupakan unsur pembentuk dari tindak pidana. Pada dasarnya tindak pidana adalah perbuatan atau serangkaian perbuatan yang padanya diletakkan sanksi pidana. Perbuatan atau feit tidak menunjuk pada hal kelakuan manusia dalam arti positif (handelen) semata, dan tidak termasuk kelakuan manusia yang pasif atau negatif (nalaten). Pengertian yang sebenarnnya dalam istilah feit adalah termasuk baik perbuatan aktif maupun pasif tersebut. Perbuatan aktif artinya suatu bentuk perbuatan yang untuk mewujudkannya diperlukan/disyaratkan adanya suatu gerakan atau gerakan-gerakan dari tubuh atau bagian dari tubuh manusia, misalnya mengambil (Pasal 362 KUHP) atau merusak (Pasal 406 KUHP). Sementara itu, perbuatan pasif adalah suatu bentuk tidak melakukan suatu bentuk perbuatan fisik apa pun yang oleh karenanya seseorang tersebut telah mengabaikan kewajiban hukumnya, misalnya perbuatan tidak menolong (Pasal 531 KUHP) atau perbuatan membiarkan (Pasal 304 KUHP).
Dengan demikian aturan, mengenai tindak pidana mestinya sebatas menentukan tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dilakukan. Aturan hukum mengenai tindak pidana berfungsi sebagai pembeda antara perbuatan yang terlarang dalam hukum pidana dan perbuatan-perbuatan lain diluar kategori tersebut. Adanya aturan mengenai tindak pidana dapat dikenali perbuatan-perbuatan yang dilarang dan karenanya tidak boleh dilakukan. Aturan tersebut menentukan perbuatan yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan.
2.    Unsur Pembuat (Dader)
Unsur pembuat (dader) adalah unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku tindak pidana, dan termasuk didalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung didalam hatinya. Unsur pembuat merupakan salah satu syarat pemidanaan bagi pelaku tindak pidana yang melakukan kesalahan baik itu kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa).
Telah dikatakan bahwa pertanggungjawaban tindak pidana tidaklah mungkin terjadi tanpa sebelumnya seseorang melakukan tindak pidana. Dengan demikian pertanggungjawaban pidana selalu tertuju pada pembuat tindak pidana tersebut. Dalam hal ini pembuat tidak dapat dipersamakan dengan pelaku materil (pleger) tetapi pembuat (dader). Oleh karena itu, apakah pertanggungjawaban pidana itu ditujukan terhadap orang yang melakukan tindak pidana (pelaku), atau orang-orang lain yang ada kaitan dengannya (pembuat selain pelaku), merupakan persoalan penetapan tindak pidana (kriminalisasi) dan bukan persoalan pertanggungjawaban pidana.
Pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya subjek hukum pidana tersebut melakukan tindak pidana. Tidaklah mungkin orang dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana tanpa sebelumnya yang bersangkutan melakukan tindak pidana. Sebaliknya, sangat mungkin memasukkkan dalam larangan yang disertai ancaman pidana (merumuskan sebagai tindak pidana) “hubungan tertentu” seseorang dengan orang lain yang melakukan tindak pidana.
Dipidananya menyuruh melakukan (doenpleger) dan penganjur (uitlokker) tindak pidana, sebagaimana dimaksud Pasal 55 KUHP, Cuma karena mempunyai “hubungan tertentu” dengan pelaku materil (pleger). Pemidanaan terhadap mereka yang menyuruh melakukan ataupun mereka yang menganjurkan hanya dapat terjadi melalui penetapan undang-undang. Baik penyuruhlakukan maupun penganjur, keduanya tidak melakukan tindak pidana yang dilakukan pelaku, tetapi dipandang melakukan tindak pidana jika karena suruhan dan anjurannya seseorang melakukan tindak pidana. Mereka semua dipandang sebagai melakukan tindak pidana, dan pertanggungjawaban pidananya ditujukan terhadap perbuatannya itu.

2.2.4        Jenis – Jenis Pidana
Menurut Pasal 10 KUHP ada 2 jenis pidana yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Adapun pidana pokok sebagai berikut :
1.    Pidana mati
2.    Pidana penjara
3.    Pidana kurungan
4.    Pidana denda
Sedangkan pidana tambahan adalah:
1.    Pidana pencabutan hak-hak tertentu
2.    Pidana perampasan barang-barang tertentu
3.    Pidana pengumuman putusan hakim
Selanjutnya ada juga pidana pokok menurut UU No. 20 tahun 1946 yaitu berupa pidana tutupan.
Antara pidana pokok dan tambahan mempunyai perbedaan yaitu:
1.    Penjatuhan salah satu pidana pokok bersifat keharusan (imperatif), sedangkan penjatuhan pidana tambahan sifatnya fakultatif
Penjelasan :
Apabila dalam persidangan tindak pidana yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum menurut hakim telah terbukti secara sah dan meyakinkan hakim harus menjatuhkan satu jenis pidana  pokok sesuai dengan jenis dan batas maksimum khusus yang diancamkan pada tindak pidana yang bersangkutan.
Menjatuhkan salah satu jenis pidana pokok sesuai dengan yang diancamkan pada tindak pidana yang dianggap terbukti adalah suatu keharusan artinya imperatif.
2.      Penjatuhan jenis pidana pokok tidak harus bersamaan dengan menjatuhkan pidana tambahan (berdiri sendiri), sedangkan menjatuhkan pidana tambahan tidak diperbolehkan tanpa dengan menjatuhkan pidana pokok.
Penjelasan :
Sesuai dengan namanya pidana tambahan, penjatuhan pidana tambahan tidak dapat berdiri sendiri, lepas dari pidana pokok melainkan hanya dapat dijatuhkan oleh hakim apabila dalam suatu putusannya itu telah menjatuhkan salah satu jenis pidana pokok sesuai dengan yang diancamkan pada tindak pidana yang bersangkutan. Artinya jenis pidana tambahan tidak dapat dijatuhkan sendiri secara terpisah dengan jenis pidana pokok, melainkan bersama dengan jenis pidana pokok.
Dalam hal ini telah jelas bahwa pidana tambahan tidak dapat dijatuhkan kecuali setelah adanya penjatuhan pidana pokok, artinya pidana pokok dapat berdiri sendiri sedangkan pidana tambahan tidak dapat berdiri sendiri.
Walaupun jenis pidana tambahan mempunyai sifat yang demikian, ada juga pengecualiannya, yakni dimana jenis pidana tambahan itu dapat dijatuhkan tidak bersama jenis pidana pokok tetapi bersama tindakan (maatregelen) seperti  Pasal 39 ayat 3 dan 40.
3.      Jenis pidana pokok yag dijatuhkan bila telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde zaak) diperlukan suatu tindakan pelaksanaan (executie)
Penjelasannya :
Pengecualiaannya adalah apabila pidana yang dijatuhkan itu adalah jenis pidana pokok dengan bersyarat (Pasal 14a) dan syarat yang ditetapkan dalam putusan itu tidak dilanggar. Hal ini berbeda dengan sebagian jenis pidana tambahan misalnya pidana pencabutan hak-hak tertentu sudah berlaku sejak putusan hakim telah mempunyai kekuatan hukum tetap (Pasal 38 ayat 2). Oleh karena itu, berjalannya/dijalankannya putusan antara  jenis pidana pokok dengan pidana pencabutan hak tertentu berdasarkan Pasal 38 ayat 2 tidak sama.
Selain itu juga ada prinsip dasar pidana pokok yaitu tidak dapat dijatuhkan secara kumulasi (menjatuhkan 2 pidana pokok secara bersamaan). Hal ini dapat dilihat sebagaimana tercantum dalam buku II (kejahatan) dan buku III (pelanggaran) dimana dijelaskan bahwa :
1.   Dalam rumusan tindak pidana hanya diancam dengan satu jenis pidana pokok saja.
2.    Dalam beberapa rumusan tindak pidana yang diancam dengan lebih dari satu jenis pidana pokok ditetapkan sebagai bersifat alternatif (misal Pasal 340, 362 dan lain-lain) dengan menggunakan kata atau.
Prinsip dasar jenis pidana pokok ini hanya berlaku pada tindak pidana umum (KUHP). Bagi tindak pidana khusus (diluar KUHP), prinsip dasar ini ada penyimpangan seperti UU No 7 (drt) 1955 (UU tindak pidana ekonomi), UU No. 31 tahun 1999 (UU tindak pidana korupsi), UU Narkotika (UU No. 22 tahun 1997), UU Perbankan (UU No. 10 tahun 1998), dan lain-lain.
1.    Pidana mati (Pasal 11 KUHP)
(1)  Di Belanda sejak tahun 1870 pidana mati tidak diberlakukan lagi.
(2)  Di Indonesia sejak tahun 1918 masih diberlakukan pidana mati.
(3)  RUU KUHP 1992 dan 1999/2000 revisi masih dicantumkan tapi bukan dalam pidana pokok, hanya dikategorikan pidana yang bersifat khusus dan selalu bersifat altertnatif.
(4)  Di Belanda sejak tahun 1870 pidana mati tidak diberlakukan lagi.
(5)  Di Indonesia sejak tahun 1918 sampai sekarang masih diberlakukan pidana mati.
(6)  Penjatuhan pidana mati dalam KUHP hanya diatur dalam bentuk kejahatan berat saja, misalnya :
1.         Kejahatan-kejahatan yang mengancam keamanan negara (Pasal 104, 111 ayat 2, 124 ayat 3 jo 129)
2.         Kejahatan-kejahatan pembunuhan terhadap orang tertentu dan atau dilakukan dengan faktor-faktor  pemberat, misalnya 140 ayat 3, 340 KUHP
3.         Kejahatan terhadap harta benda yg disertai unsur/faktor yg sangat memberatkan (365 ayat 4, 368 ayat 2)
4.         Kejahatan-kejahatan pembajakan laut, sungai dan pantai (Pasal 444)
Adanya pidana mati oleh pembentuk KUHP dalam penerapan harus hati-hati, tidak boleh gegabah karena pidana mati berkaitan dengan hilangnya nyawa manusia. Untuk itu dalam KUHP Pasal pidana mati selalu dibuat alternatif dengan penjara seumur hidup, pidana 20 tahun, misalnya Pasal 365 (4), 340, 104, 368 (2) jo 365 (4), dan lain-lain sedangkan diluar KUHP pidana mati diatur dalam UU 26 tahun 1999 (subversi), UU 22 tahun 1997 (Narkotika, 80, 81, 82), Pasal 59 UU No 5 tahun 1997 (Psikotropika).
Eksekusi pidana mati dulu dengan cara digantung (Pasal 11 KUHP) telah dihapuskan diganti dengan cara ditembak oleh regu penembak sampai mati (UU No. 2 (PNPS) tahun 1964.
2.    Pidana penjara (Pasal 12 – 17 KUHP)
Berdasarkan Pasal 10 KUHP ada 2 jenis pidana hilang kemerdekaan bergerak yakni pidana penjara dan kurungan.
Dari sifatnya menghilangkan dan atau membatasi kemerdekaan bergerak, dalam arti menempatkan terpidana dalam suatu tempat (Lembaga Permasyarakatan) dimana terpidana tidak bebas untuk keluar masuk dan didalamnya wajib untuk tunduk, mentaati dan menjalankan semua peraturan tata tertib yang berlaku.
Selintas antara pidana penjara dan kurungan sama namun ada perbedaan yang cukup jauh. Perbedaan yang paling menonjol adalah pidana kurungan lebih ringan dari pidana penjara. Lebih ringannya sebagai berikut :
1.        Ancaman pidana kurungan hanya terhadap tindak pidana yang ringan sedangkan ancaman pidana penjara terhadap tindak pidana yg lebih berat. Pidana kurungan hanya terhadap tindak pidana pelanggaran sedangkan pidana penjara terhadap tindak pidana kejahatan.
2.        Ancamam maksimum pidana penjara 15 tahun sedangkan pidana kurungan 1 tahun kecuali residivis ditambah tidak lebih dari 4 bulan lagi. Pidana penjara bisa ditambah menjadi 20 tahun apabila perbuatan tersebut memberatkan (pembarengan Pasal 65) dan residivis.
3.        Pidana penjara lebih berat daripada pidana kurungan (Pasal 69 KUHP).
4.        Pelaksanaan pidana denda tidak dapat diganti dengan pelaksanaan pidana penjara. Akan tetapi pelaksanaan pidana denda dapat diganti dengan pelaksanaan kurungan disebut kurungan pengganti (Pasal 30 ayat 2).
5.        Pelaksanaan pidana penjara dapat saja dilakukan di Lembaga permasyarakatan di seluruh Indonesia (dapat dipindahkan), sedangkan pidana kurungan dilaksanakan hanya di LAPAS dimana vonis hakim dibacakan/berdasarkan tempat kediaman terdakwa (tidak dapat dipindah), atau apabila ia tidak mempunyai tempat kediaman, pidana kurungan dilaksanakan dimana tempat ia ada pada waktu itu, kecuali ia memohon untuk menjalani pidana ditempat lain dan menteri kehakiman mengijinkannya. (Pasal 21 KUHP)
6.        Pekerjaan-pekerjaan yang diwajibkan pada narapidana penjara lebih berat dari pekerjaan-pekerjaan yang diwajibkan pada narapidana kurungan (Pasal 19 KUHP)
7.        Narapidana kurungan dengan biaya sendiri dapat sekedar meringankan nasibnya dalam menjalankan pidananya menurut aturan yang ditetapkan (hak pistole, Pasal 23 KUHP)
Pidana penjara ada bersifat seumur hidup dan pidana penjara sementara.
Pidana seumur hidup adalah pidana yang harus dijalani terpidana selama-lamanya didalam penjara sampai dengan ia meninggal dunia di penjara tersebut.
Sedangkan pidana sementara adalah pidana yang dijalani terpidana paling sedikit 1 hari dan paling lama 15 tahun atau 20 tahun jika perbuatan pidana yang dilakukan dengan pemberatan.
3.    Pidana kurungan (18 – 29 KUHP)
Pidana kurungan adalah suatu pidana yang dijatuhkan oleh hakim kepada terdakwa karena telah melakukan tindak pidana pelanggaran
Pidana kurungan dijatuhkan serendah-rendahnya 1 hari dan paling lama  1 tahun dan dapat ditambah lagi 4 bulan apabila terdakwa seorang residivis.
Menurut Pasal 23 KUHP “Orang yg dipidana kurungan boleh memperbaiki nasibnya dengan ongkosnya sendiri menurut peraturan yg akan ditetapkan dalam ordonansinya (LN 1917 No. 708 = peraturan kepenjaraan, khususnya psl 93)
Perbaikan nasib dengan ongkos sendiri ini biasa dinamakan hak pistole. Perbaikan tersebut misalnya mengenai makanan dan tempat tidurnya. Candu, minuman keras, anggur dan bir hanya dapat diberikan bila dianggap perlu oleh dokter penjara.
4.    Pidana denda
(a)       Penerapan pidana denda paling sedikit 25 sen (Pasal 30 ayat 1 KUHP) sedangkan maksimum tergantung pada rumusan pidana, misalnya Pasal 403 maksimum Rp. 150.000
(b)       Apabila tidak dibayar dendanya diganti dengan hukuman kurungan (ayat 2)
(c)       Lamanya hukuman kurungan pengganti paling sedikit 1 hari paling lama 6 bulan. Dalam keadaan memberatkan dapat ditambah paling tinggi 8 bulan (Pasal 30 ayat 5, 6 KUHP)
(d)       Pidana denda diterapkan pada pelanggaran sedangkan pada kejahatan dijadikan alternatif (misalnya kata-kata ’atau’)
Keistimewaan pidana denda :
a.    Pidana denda dapat dibayarkan oleh orang lain, sedangkan pidana lainnya (misalnya penjara) tidak.
b.    Pelaksanaan pidana denda dapat diganti dengan pidana kurungan (Pasal 30 ayat 2 KUHP), maka sering dalam putusan hakim membuat pidana alternatif selain kurungan juga ada pidana kurungan pengganti. Dalam hal ini terpidana bebas memilihnya dan lamanya pidana kurungan pengganti adalah minimal 1 hari maksimal 6 bulan.
c.    Penerapan pidana denda paling sedikit 25 sen (Pasal 30 ayat 1 KUHP) sedangkan maksimum tergantung pada rumusan pidana, misalnya Pasal 403 maksimum Rp. 150.00,-
5.     Pidana Tutupan
(a)     Diatur dalam Pasal 2 ayat 1 UU No. 20 tahun 1946 yang menyatakan bahwa dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan, yang diancam dengan pidana penjara karena karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, hakim boleh menjatuhkan pidana tutupan.
(b)     Selanjutnya pada ayat 1 dinyatakan pidana tutupan tidak dijatuhkan apabila perbuatan yang merupakan kejahatan itu cara melakukan perbuatan itu aatau akibat dari perbuatan itu adalah sedemikian rupa sehingga hakim berpendapat bahwa pidana penjara lebih tepat.
(c)     Tempat untuk menjalani pidana tutupan adalah rumah tutupan (PP No. 8 tahun 1948).
(d)     Rumah tutupan lebih baik dengan rumah tahanan dari segi fasilitasnya, misalnya maalah makanan.
(e)     Pidana tutupan sama juga dengan pidana penjara hanya beda dari fasilitasnya.
(f)      Jadi orang yang menjalani pidana tutupan adalah perbuatan pidana yang terdorong oleh maksud yang patut dihormati, kriterianya diserahkan kepada hakim.
(g)     Dalam praktek pidana tutupan hanya terjadi 1 kali saja yaitu putusan Mahkamah Agung Tentara RI tanggal 17 Mei 1948 yaitu perkaa kejahatan peristiwa 3 Juli 1946.
6.     Pidana Pencabutan Hak-Hak Tertentu
Pasal 35 ayat 1 KUHP mengatur tentang pidana pencabutan hak-hak tertentu :
1.      Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu (jabatan publik, seperti Bupati, dll).
2.      Hak menjalankan jabatan dalam Angkatan bersenjata / TNI
3.      Hak memilih dan dipilih yg diadakan berdasarkan aturan2 umum
4.      Hak menjadi penasihat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas atas anak yang bukan anak sendiri
5.      Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri.
6.      Hak menjalankan mata pencaharian
Pasal tindak pidana yg mengaturnya adalah Pasal 317, 318, 334, 347, 348, 350, 362, 363, 365, 372, 374, 375. Sifat hak-hak tertentu yang dapat dicabut oleh hakim, tidak untuk selama-lamanya melainkan dalam waktu tertentu saja, kecuali yang bersangkutan dijatuhi pidana seumur hidup atau pidana mati. Lama waktu hakim menjatuhkan pencabutan hak-hak tertentu (Pasal 38 KUHP) :
1.      Bila pidana pokok yg dijatuhkan hakim berupa pidana mati atau seumur hidup maka lamanya pencabutan hak2 tertentu berlaku seumur hidup
2.      Bila pidana pokok yg dijatuhkan hakim berupa pidana penjara sementara atau kurungan, maka lamanya pencabutan hak2 tertentu paling lama 5 tahun dan minimun 2 tahun lebih lama daripada pidana pokoknya
3.      Jika pidana pokok yg dijatuhkan adalah pidana denda maka pencabutan hak2 tertentu adalah paling sedikit 2 tahun dan paling lama 5 tahun.
7.     Perampasan Barang-Barang Tertentu
Perampasan barang sebagai suatu pidana hanya diperkenankan atas barang-barang tertentu saja, tidak diperkenankan untuk semua barang. UU tidak mengenal perampasan untuk semua kekayaan seperti dalam kasus perdata.
Pasal 39 KUHP berbunyi , “Barang kepunyaan terhukum yang diperoleh dengan kejahatan atau dengan sengaja dipakai akan melakukan kejahatan akan dirampas ”, misalnya uang palsu diperoleh dengan kejhatan, golok, senjata api, dll. Jika bukan milik terhukum tidak boleh dirampas.
Ada 2 jenis barang yang dapat dirampas melalui putusan hakim pidana yaitu :
1.      Barang-barang yang berasal/diperoleh dari suatu kejahatan (bukan dari pelanggaran) yang disebut dengan Corpora Delictie misalnya uang palsu dari kejahatan pemalsuan uang.
2.      Barang-barang yang digunakan dalam melakukan kejahatan yang disebut dengan instrumenta delictie misalnya pisau yang digunakan dalam kejahatan
Ada tiga prinsip dasar dari pidana perampasan barang tertentu yaitu :
1.      Hanya diancamkan dan dapat dijatuhkan terhadap 2 jenis barang tersebut dalam Pasal 39 itu saja.
2.      Hanya diancamkan dan dapat dijatuhkan oleh hakim pada kejahatan saja, dan tidak pada pelanggaran, kecuali pada beberapa tindak pidana pelanggaran, misalnya Pasal 502, 519, 549 (jenis pelanggaran)
3.      Hanya diancamkan dan dapat dijatuhkan oleh hakim atas barang-barang milik terpidana tadi. Kecuali ada beberapa ketentuan
a)         Yang menyatakan secara tegas terhadap barang yang bukan milik terpidana (Pasal 250 bis),
b)        Tidak secara tegas menyebutkan terhadap, baik barang milik terpidanaatau bukan (misalnya Pasal 275, 205, 519)
8.     Pengumuman Putusan Hakim
Pidana pengumuman putusan hakim hanya dapat dijatuhkan dalam hal-hal yang telah ditentukan oleh UU, misalnya terdapat dalam Pasal 128, 206, 361, 377, 395, 405.
Dalam pidana ini hakim bebas perihal cara melaksanakan pengumuman, misalnya melalui surat kabar, papan pengumuman, radio, televisi dan pembebanan biayanya ditanggung terpidana.
Pasal 43 KUHP, “Dalam hal-hal yang hakim memerintahkan mengumumkan keputusannya menurut kitab UU umum yg lain, ditentukjannya pula cara bagaimana menjalankan perintah itu atas ongkos siterhukum”, misalnya melalui surat kabar dengan ongkos terhukum.
Maksud pidana ini adalah sebagai usaha preventif agar tidak melakukan perbuatan seperti orang tersebut dan agar berhati-hati bergaul dengan orang tersebut (terhukum).
9.    Penjatuhan Pidana Bersyarat (voorwaardelijke veroordeling)
Istilah penjatuhan pidana besyarat bukanlah jenis pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 10 KUHP, karena istilah ini diatur dalam Pasal 14a KUHP. Lebih tepat istilah ini adalah pidana dengan bersyarat.
Pidana dengan bersyarat dalam praktek hukum sering disebut dengan pidana percobaan.
Pidana percobaan/bersyarat adalah suatu sistem/model penjatuhan pidana oleh hakim yang pelaksanaannya digantungkan pada syarat-syarat tertentu. Artinya pidana yang dijatuhkan oleh hakim itu ditetapkan tidak perlu dijalankan pada terpidana selama syarat-syarat yang ditentukan tidak dilanggarnya dan pidana dapat dijalankan apabila syarat-syarat yang ditetapkan itu tidak ditaatinya atau dilanggar. Misalnya jika terpidana tersebut yang diminta hakim tidak boleh melakukan perbuatan perbuatan pidana maka selama masa poercobaan tersebut terpidana tidak boleh melakukan perbuatan pidana dalam bentuk apapun. Jika terbukti melakukan perbuatan pidana lagi maka hukumannya bisa ditambah karena terdakwa seorang residivis.
Manfaat penjatuhan pidana dengan bersyarat adalah memperbaiki penjahat tanpa harus memasukkannya ke dalam penjara artinya tanpa membuat derita bagi dirinya dan keluarganya, mengingat pergaulan dalam penjara terbukti sering membawa pengaruh buruk bagi seorang terpidana terutama bagi orang-orang yang melakukan tindak pidana karena dorongan faktor tertentu yang ia tidak mempunyai kemampuan untuk menguasai dirinya dalam arti bukan penjahat sesungguhnya. Misalnya karena kemelaratan dan untuk makan ia mencuri sebungkus roti, karena butuh uang untuk mengobati orang tuanya yang luka karena kecelakaan, kejahatan culpa (kelalaian), dll
Dalam Pasal 14a KUHP ditentukan bahwa hakim dapat menetapkan pidana dengan bersyarat dalam putusan pemidanaan apabila :
(a)  Hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama satu tahun
(b)  Hakim menjatuhkan pidana kurungan (bukan kurungan pengganti denda maupun kurungan pengganti perampasan barang)
(c)   Hakim menjatuhkan pidana denda, dengan ketentuan yaitu :
a)    Apabila benar-benar ternyata pembayaran denda atau perampasan barang yang ditetapkan dalam keputusan itu menimbulkan keberatan yang sangat bagi terpidana, dan
b)    Apabila pelaku tindak pidana yang dijatuhi denda bersyarat itu bukan berupa pelanggaran yang berhubungan dengan pendapatan negara.



2.3    Tinjauan Umum Tentang Pemerkosaan
2.3.1   Pengertian Pemerkosaan
        Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia : Perkosa : gagah; paksa; kekerasan; perkasa. Memperkosa : 1) menundukkan dan sebagainya dengan kekerasan: 2) melanggar (menyerang dan sebagainya) dengan kekerasan. Pemerkosaan: 1) perbuatan memperkosa; penggagahan; paksaan; 2) pelanggaran dengan kekerasan.
Menurut Soetandyo Wignjosoebroto mendefinisikan pemerkosaan sebagai berikut (Abdul Wahid dan Muhammad Irfan,2001:40) :
“Pemerkosaan adalah suatu usaha melampiaskan nafsu seksual oleh seorang lelaki terhadap seorang perempuan dengan cara yang menurut moral dan atau hukum yang berlaku melanggar”.
Dalam pengertian seperti ini, apa yang disebut pemerkosaan disatu pihak dapat dilihat sebagai suatu perbuatan (ialah perbuatan seseorang yang secara paksa hendak melampiaskan nafsu seksualnya), dan di pihak lain dapat dilihat pula sebagai suatu peristiwa (ialah pelanggaran norma-norma).
Menurut R. Sugandhi, mendefinisikan pemerkosaan adalah sebagai berikut (Abdul Wahid dan Muhammad Irfan,2001:41) :
“Seorang pria yang memaksa pada seorang wanita bukan istrinya untuk melakukan persetubuhan dengannya dengan ancaman kekerasan, yang mana diharuskan kemaluan pria telah masuk ke dalam lubang kemaluan seorang wanita yang kemudian mengeluarkan air mani”.
Adapun unsur-unsur selengkapnya tentang pemerkosaan menurut R. Sugandhi adalah:
a)    Pemaksaan bersetubuh oleh laki-laki kepada wanita yang bukan menjadi istrinya
b)   Pemaksaan bersetubuh itu di ikuti dengan tindak atau ancaman kekerasan
c)    Kemaluan pria harus masuk pada lubang kemaluan wanita
d)   Mengeluarkan air mani
Pendapat itu menunjuk pada suatu pemerkosaan yang terjadi secara tuntas, artinya pihak pelaku (pemerkosa) telah menyelesaikan perbuatannya hingga selesai (mengeluarkan air mani). Jika hal ini tidak sampai terjadi, maka secara ekspilisit apa yang dilakukan pelaku itu belum patut dikategorikan sebagai pemerkosaan.
Pendapat seperti ini belum tentu sama dan disepakati oleh ahli-ahli lainnya. Ada ahli yang berpendapat bahwa pemerkosaan tidak selalu harus merupakan deskripsi suatu persetubuhan yang dilakukan paksa sampai mengeluarkan air mani (sperma). Cukup dengan pemaksaan persetubuhan (sampai alat kelamin laki-laki masuk kedalam alat kelamin perempuan), maka hal itu sudah disebut sebagai pemerkosaan.
Lamintang dan Djisman Samosir berpendapat bahwa (Abdul Wahid dan Muhammad Irfan,2001:41):
”pemerkosaan adalah perbuatan seseorang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita untuk melakukan persetubuhan di luar ikatan perkawinan dengan dirinya”.
Bagi Lamintang dan Djisman Samosir, pemerkosaan harus mengandung unsur:
1)        Ada tindakan kekerasan atau ancaman kekerasan
2)        Memaksa seorang wanita untuk melakukan hubungan biologis (seksual / persetubuhan)
3)        Persetubuhan yang dilakukan harus diluar ikatan perkawinan
Ketiga unsur itu menunjukan bahwa dalam kasus perkosan harus bisa dibuktikan adanya unsur kekerasan atau ancaman kekerasan (seperti diancam hendak dibunuh, dilukai atau dirampas hak-hak asasi lainnya). Tindakan kekerasan atau ancaman kekerasan itu dijadikan jalan atau menjadi bagian dari perbuatan yang targetnya memperlancar terjadinya persetubuhan.
Selain itu kekerasan atau ancaman kekerasan itu hanya berlaku di luar ikatan perkawinan. Dengan kata lain, kekerasan atau ancaman kekerasan sehubungan dengan persetubuhan dalam hal ikatan perkawinan tidak disebut pemerkosaan.
Sedang Wirdjono Prodjodikoro mengungkapkan bahwa pemerkosaan adalah (Abdul Wahid dan Muhammad Irfan,2001:42):
“Seorang laki-laki yang memaksa seorang perempuan yang bukan istrinya untuk bersetubuh dengan dia, sehingga sedemikian rupa ia tidak dapat melawan, maka dengan terpaksa ia mau melakukan persetubuhan itu”.
Pendapat Wirdjono ini juga menekankan mengenai pemaksaan hubungan seksual (persetubuhan) pada seorang perempuan yang bukan istrinya. Pemaksaan yang dilakukan oleh laki-laki membuat atau mengakibatkan perempuan terpaksa melayani persetubuhan. Unsur keterpaksaan dalam persetubuhan itu biasanya didahului oleh perlawanan dari perempuan sebagai wujud penolakan atau ketidak setujuannya.
2.3.2   Jenis – Jenis Pemerkosaan
Mengenai jenis-jenis pemerkosaan, seorang ahli kriminologi Mulyana W. Kusuma menyebutkan sebagai berikut : (Abdul Wahid, 2001:46)
1.    Forcible rape yaitu Pasal 285 KUHP: Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan pemerkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
2.    Exploitation Rape yaitu Pemerkosaan yang menunjukkan bahwa pada setiap kesempatan melakukan hubungan seksual yang diperoleh oleh laki-laki dengan mengambil keuntungan yang berlawanan dengan posisi perempuan yang bergantung padanya secara ekonomis dan sosial. Misalnya istri yang diperkosa oleh suaminya atau pembantu rumah tangga yang diperkosa oleh majikannya, sedangkan pembantunya tidak mempersoalkan atau mengadukan kasusnya ini kepada pihak yang berwajib.
3.    Victim Precipitated Rape Yaitu pemerkosaan yang terjadi (berlangsung) dengan menempatkan korban sebagai pencetusnya.
4.    Angea Rape Yakni penganiayaan seksual yang bercirikan seksualitas yang menjadi sarana untuk menyatakan dan melampiaskan rasa geram dan marah yang tertahan. Tubuh korban disini seakanakan merupakan obyek terhadap siapa pelaku yang memproyeksikan pemecahan atas frustasi-frustasi, kelemahan, kesulitan dan kekecewaan hidupnya.
5.    Domination Rape Yaitu suatu pemerkosaan yang terjadi ketika pelaku mencoba untuk gigih atas kekuasaan dan superioritas terhadap korban. Tujuannya adalah penaklukan seksual, pelaku menyakiti korban, namun tetap memiliki keinginan berhubungan  seksual.
6.    Seductive Rape Suatu pemerkosaan yang terjadi pada situasi-situasi yang merangsang yang tercipta oleh kedua belah pihak. Pada mulanya korban memutuskan bahwa keintiman personal harus dibatasi tidak sampai sejauh persenggamaan. Pelaku pada umumnya mempunyai keyakinan membutuhkan paksaan, oleh karena tanpa itu tidak mempunyai perasaan bersalah yang menyangkut seks
7.    Sadistic Rape Pemerkosaan sadistis, artinya pada tipe ini seksualitas dan agresif berpadu dalam bentuk yang merusak. Pelaku pemerkosaan telah nampak menikmati kesenangan erotik bukan melalui hubungan seksnya, melainkan melalui serangan yang mengerikan atas alat kelamin dan tubuh korban.
2.3.3   Dasar Hukum
1.    Pasal 285 KUHP, menurut KUHP pemerkosaan hanya dialamai oleh perempuan - perempuan, pada laki-laki →  perbuatan cabul.
2.    Pasal 81 dan 82 UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
3.    Pasal 5,6 dan 8, 44, 46, 47 dan 48 UU Nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
2.3.4   Unsur-Unsur Tindak Pidana Pemerkosaan
Dalam ketentuan Pasal 285 diatas terdapat unsur-unsur untuk membuktikan ada atau tidaknya tindak pidana pemerkosaan, unsur-unsur yang dimaksud adalah sebagai berikut :
1.      Adanya kekerasan atau ancaman kekerasan
2.         Memaksa seorang wanita
3.         Bersetubuh di luar perkawinan dengan dia (pelaku)
Ad a) Adanya kekerasan atau ancaman kekerasan, artinya mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara tidak sah, misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala senjata, menyepak, menendang, dan sebagainya sampai orang itu jadi pingsan atau tidak berdaya.
Ad b) Memaksa seorang wanita, artinya dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan iastrinya bersetubuh dengan dia.
Ad c) Bersetubuh di luar perkawinan, artinya peraduan antara kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota kelamin laki-laki harus masuk ke anggota kelamin perempuan, sehingga mengeluarkan mani dengan wanita yang bukan istrinya.
Sementara tindak pidana pemerkosaan menurut RUU KUHP diatur dalam Bab XVI Tentang Tindak Pidana Kesusilaan Bagian Kelima Tentang Pemerkosaan dan Perbuatan Cabul Paragraf 1, yang berbunyi: “Dipidana karena melakukan tindak pidana pemerkosaan, dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 tahun:
1)   Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan di luar perkawinan, bertentangan dengan kehendak perempuan tersebut;
2)   Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan di luar perkawinan, tanpa persetujuan perempuan tersebut;
3)   Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan, dengan persetujuan perempuan tersebut, tetapi persetujuan tersebut dicapai melalui ancaman untuk dibunuh atau dilukai;
4)   Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan, dengan persetujuan perempuan tersebut karena perempuan tersebut percaya bahwa laki-laki tersebut adalah suaminya yang sah;
5)   Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan yang berusia di bawah 14 (empat belas) tahun, dengan persetujuannya; atau
6)   Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan tersebut dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya”.
2.3.5   Faktor-Faktor Terjadinya Pemerkosaan
Pemerkosaan merupakan kejahatan kesusilaan yang bisa disebabkan oleh berbagai faktor. Kejahatan ini cukup kompleks  penyebabnya dan tidak berdiri sendiri. Penyebabnya dapat dipengaruhi oleh kondisi yang mendukung, keberadaan korban yang secara tidak langsung mendorong pelakunya dan bisa jadi karena ada unsur-unsur lain yang mempengaruhinya.
Menurut Lidya Suryani W. dan Sri Wurdani, bahwa “pemerkosaan dapat terjadi karena berbagai macam sebab, seperti adanya rasa dendam pelaku pada korban, karena rasa dendam pelaku pada seorang wanita sehingga wanita lain menjadi sasaran kemarahannya, korban sebagai kompensasi perasaan tertekan atau stress berbagai masalah yang dihadapinaya, karena pengaruh rangsangan lingkungan seperti film atau gambar-gambar porno, dan karena keinginan pelaku menyalurkan dorongan seksualnya yang sudah tidak dapat di tahannya, juga karena didukung oleh situasi dan kondisi lingkungan maupun pelaku dan korban yang memungkinkan dilakukannya pemerkosaan. Dalam setiap kasus pemerkosaan paling tidak melibatkan tiga hal, yakni: pelaku, korban, dan situasi serta kondisi. Ketiga hal tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Masing-masing mempunyai andil sendiri-sendiri dalam mendorong timbulnya suatu tindak pidana pemerkosaan.
Sementara itu Psikolog Hartini Kartono mendeskripsikan latar belakang pemerkosaan, “pada peristiwa pemerkosaan, sang pemerkosa selalu di dorong oleh nafsu-nafsu seks yang sangat kuat, dibarengi emosi-emosi yang tidak dewasa dan tidak mapan. Biasanya dimuati oleh unsur-unsur kekejaman dan sifat sadistis.
Berbeda dengan itu, Made Weda berpendapat, “studi tentang korban kejahatan mencatat adanya peranan korban yang disebut victim precipitation. Dalam hal ini prilaku-prilaku si korban, disadari atau tidak, merangsang timbulnya pemerkosaan. Sebagai contoh, seorang wanita berjalan sendiri ditempat yang sepi, cara korban berpakaian yang dapat merangsang seseorang untuk melakukan kejahatan pemerkosaan.”
Pendapat itu menunjukan mengenai posisi korban yang secara tidak langsung turut ambil bagian terhadap terjadinya pemerkosaan. Artinya, ada sikap, prilaku, cara menempatkan diri, cara bergaul dan hadir pada suasana yang menurut pandangan umum tidak lazim, yang dapat mendorong emosi dan nafsu laki-laki untuk berbuat tidak senonoh dan memperkosanya. Korban telah menempatkan dirinya sebagai “pelaku secara tidak langsung, karena apa yang diperbuatnya telah mendorong terjadina kriminalitas”.
Pendapat tersebut dipertegas lai oleh Anton Tabah, “meningkatnya kasus pemerkosaan terkait erat dengan aspek sosial budaya. Budaya yang semakin terbuka, pergaulan yang semakin bebas, cara berpakaian kaum hawa yang semakin merangsang , dan kadang-kadang dengan berbagai perhiasan mahal, kebiasaan-kebiasaan bepergian jauh sendirian, adalah factor-faktor dominan yang mempengaruhi tingginya frekuensi kasus pemerkosaan. Belum lagi mutu penghayatan keagamaan masyarakat yang semakin longgar. Belum lagi vonis hakim terhadap pelaku pemerkosaan yang tak setimpal.”
Dari sejumlah pendapat pakar di atas, dapat di simpulkan bahwa factor penyebab terjadinya pemerkosaan setidak-tidaknya adalah sebagai berikut:
(1)      Pengaruh perkembangan budaya yang semakin tidak menghargai etika berpakaian yang menutup aurat, yang dapat merangsang pihak lain untuk berbuat tidak senono dan jahat.
(2)      Gaya hidup atau mode pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang semakin bebas, tidak atau kurang bisa lagi menbedakan antara yang seharusnya boleh dikerjakan dengan yang dilarang dalam hubungannya dengan kaedah akhlak mengenai hubungan laki-laki dengan perempuan.
(3)      Rendahnya pengalaman dan penghayatan terhadap norma-norma keagamaan yang terjadi di tengah masyarakat. Nilai-nilai keagamaan yang semakin terkikis di masyarakat atau pola relasi horizontal yang cenderung semakin meniadakan peran agama adalah sangat potensial untuk mendorong seseorang berbuat jahat dan merugikan orang lain.
(4)      Tingkat kontrol masyarakat (social control) yang rendah, artinya berbagai prilaku yang diduga sebagai penyimpangan, melanggar hukum dan norma keagamaan kurang mendapatkan response dan pengawasan dari unsur-unsur masyarakat.
(5)      Putusan hakim yang terasa tak adil, seperti putusan yang cukup ringan yang dijatuhkan pada pelaku. Hal ini di mungkinkan dapat mendorong anggota-anggota masyarakat lainnya untuk berbuat keji dan jahat. Artinya mereka yang hendak berbuat jahat tidak merasa takut lagi dengan sanksi hukum yang akan diterimanya.
(6)      Ketidak mampuan pelaku untuk mengendalikan emosi dan nafsu seksualnya. Nafsu seksualnya dibiarkan mengembara dan menuntutnya untuk dicarikan kompensasi pemuasnya.
(7)      Keinginan pelaku untuk melakukan (melampiaskan) balas dendam terhadap sikap, ucapan (keputusan) dan prilaku korban yang dianggap menyakiti dan merugikannya.

2.4  Tinjauan Umum Tentang Korban Kejahatan Pemerkosaan
2.4.1   Pengertian Korban Pemerkosaan
Menurut Arif Gosita, korban pemerkosaan adalah seorang wanita, yang dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan dipaksa bersetubuh dengan orang lain di luar perkawinan.
Hal ini terlihat dari bunyi Pasal 285 KUHP yaitu “Barang siapa dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, dihukum, karena memperkosa, dengan hukuman penjara selama – lamanya dua belas tahun”.
Dari ketentuan Pasal diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian korban pemerkosaan adalah : Korban pemerkosaan harus seorang wanita, tanpa batas umur (obyek). Mengunakan kekerasan atau ancaman kekerasaan, Sedangkan seorang laki-laki yang diperkosa oleh wanita, tidak termasuk dalam kajian Pasal 285 KUHP, sehingga korban pemerkosaan itu harus memenuhi unsur :
a.       Korban adalah seoarang Wanita tampa batas umur dan belum bersuami atau belum menikah
b.      Korban harus mengalami kekerasan atau ancaman kekerasan. Ini berarti tidak ada persetujuan dari pihak korban niat dan tindakan perlakukan pelaku.
c.       Persetubuhan diluar perkawinan adalah tujuan yang ingin dicapai dengan melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap wanita tertentu (Arif Gosita, 2004 : 46).
2.4.2   Jenis-Jenis Korban Pemerkosaan
Perkembangan ilmu viktimologi selain mengajak masyarakat untuk lebih memperhatikan posisi korban juga memilah-milah jenis korban hingga kemudian muncullah berbagai jenis korban, yaitu
1.      Nonparticipating victims, yaitu mereka yang tidak peduli terhadap upaya penanggulangan kejahatan.:
2.      Latent victims, yaitu mereka yang mempunyai sifat karakter tertentu sehingga cenderung menjadi korban.
3.      Procative victims, yaitu mereka yang menimbulkan rangsangan terjadinya kejahatan
4.      Participating victims, yaitu mereka yang dengan perilakunya memudahkan dirinya menjadi korban.
5.      False victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena perbuatan yang dibuatnya sendiri.
Menurut Arif Gosita, jenis-jenis korban pemerkosaan adalah sebagai berikut:
1.      Korban murni terdiri atas
a.       Korban pemerkosaan yang belum pernah berhubungan dengan pihak pelaku sebelum pemerkosaan;
b.      Korban pemerkosaan yang pernah berhubungan dengan pihak pelaku sebelum pemerkosaan
2.      Korban ganda ( double / multiple victimization) Adalah korban pemerkosaan yang selain mengalami penderitaan selama diperkosa, juga mengalami berbagai penderitaan mental, fisik, dan sosial, misalnya: mengalami ancaman-ancaman yang mengganggu jiwanya, mendapat pelayanan yang tidak baik selama pemeriksaan Pengadilan, tidak mendapat ganti kerugian, mengeluarkan uang pengobatan, dikucilkan dari masyarakat karena sudah cacat khusus, dan lain-lain.
3.      Korban semu (pura-pura diperkosa) Adalah korban yang sebenarnya sekaligus juga pelaku. Ia berlagak diperkosa dengan tujuan mendapat sesuatu dari pihak pelaku.
a)      Ada kemungkinan ia berbuat demikian karena kehendaknya sendiri;
b)      Ada kemungkinan ia berbuat demikian karena disuruh, dipaksa untuk berbuat demikian demi kepentingan yang menyuruh. Dalam pengertian tertentu, pelaku menjadi korban tindakan jahat lain.

2.5    Modus Operandi Dalam Tindak Pidana Pemerkosaan
Modus operandi dari tindak pidana pemerkosaan yang dilakukan oleh tersangka secara individual ataupun perkelompok dalam kasus ini menunjukan adanya pemaksaan dan kekerasan terhadap korban, korban dibuat takut sehingga tidak berani melawan, dan pelaku selain melakukan penganiyayaan seksual juga melakukan berbagai kejahatan lain, seperti perampkan dan perambasan harta benda, diancam dan dipaksa, dirayu, diberi obat bius, dan tidak menutup kemungkinan apabila terjadi tindak pidana pemerkosaan kemungkinan si korban berpakaian merangsang, suka keluar malam atau berada ditempat sepi, sehingga pelaku kejahatan mempunyai kesempatan untuk melakukan aksi kejahatannya.





2.6 
Tinjauan Viktimologi Terhadap Peran Korban Dalam Terjadinya Tindak Pidana Pemerkosaan
 Kerangka Pikir
Tinjauan Yuridis Terhadap Peran Korban Dalam Terjadinya Tindak Pidana Pemerkosaan
Peranan Korban dalam terjadinya tindak pidana pemerkosaan:
1.      Berpakaian Sexi/Vulgar
2.      Berjalan ditempat sepi sendirian
Berkurangnya Tindak Pidana Pemerkosaan Di Masyarakat
KUHP

Upaya-upaya penanggulangan oleh Polres Pohuwato:
1.      Upaya Preventif atau pencegahan berupa sosialisasi atau penyuluhan hukum kepada masyarakat
2.      Upaya Represif atau Tindakan berupa penanganan tindak pidana pemerkosaan yang masuk di Polres Pohuwato sesuai prosedur.
 





















Gambar 1: Skema kerangka Pikir

2.7    Definisi Operasional
a)    Viktimologi berasal dari bahasa latin Victima yang berarti korban dan logos yang berarti ilmu. Secara terminologis, viktimologi berarti suatu studi yang mempelajari tentang korban, penyebab timbulnya korban, dan akibat-akibat penimbulan korban yang merupakan masalah manusia sebagai suatu kenyataan sosial (Rena Yulia, Viktimologi Perlindungan hukum Terhadap Korban Kejahatan, hlm 43).
b)   Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana (Undang-Undang No 13 Tahun 2006, Pasal 1 angka 2)
c)    Tindak pidana, peristiwa pidana dan perbuatan pidana merupakan beberapa istilah dari penerjemahan istilah “strafbaar feit” kedalam bahasa Indonesia. Dari segi harfiah, istilah strafbaar feit terdiri dari straf berarti hukuman (pidana), baar berarti dapat (boleh), dan feit berarti peristiwa (perbuatan). Jadi, istilah strafbaar feit adalah peristiwa yang dapat dipidana atau perbuatan yang dapat dipidana. Berikut ini adalah beberapa pengertian strafbaar feit dari para ahli (Lamintang, 1997:181) :
1.    Hazewinkel Suringa: strafbaar feit adalah suatu perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak didalam suatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat di dalam Undang-Undang.
2.    Pompe: memberikan batasan pengertian strafbaar feit adalah suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku. Dimana penjatuhan hukum terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.
3.    Simons: strafbaar feit adalah suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh Undang-Undang telah dinyatakan dengan suatu tindakan yang dapat dihukum.
4.    Vos: strafbaar feit adalah suatu kelakuan (gedraging) manusia yang dilarang oleh Undang-Undang diancam dengan pidana.  
5.    Moeljatno: menterjemahkan strafbaar feit menjadi perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan dimana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pemidanaan bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Atau dapat juga dirumuskan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana.
6.    Roeslan Saleh : memberikan batasan perbuatan pidana adalah perbuatan yang bertentangan dengan tata atau ketentuan yang dikehendaki oleh hukum, syarat utama dari adanya perbuatan pidana adalah kenyataan bahwa ada aturan yang melarang.
7.    R. Tresna: memberikan batasan pengertian peristiwa pidana adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan Undang-Undang atau perundang-undangan lainnya terhadap perbuatan mana diadakan tindakan pemidanaan.
8.    Rusli Effendy: memberi batasan dengan mepergunakan istilah peristiwa pidana  adalah suatu peristiwa yang dapat dikenakan pidana oleh hukum pidana, memakai kata hukum pidana tertulis dan ada hukum pidana yang tidak tertulis (hukum pidana adat).
9.    A. Zainal Abidin Farid: mendasari pendapatnya dari para ahli hukum pidana Belanda yang memberi pengertian strafbaar feit, yakni menurut Simons bahwa strafbaar feit terjemahan peristiwa pidana adalah perbuatan melawan hukum yang berkaitan dengan kesalahan (schuld) seseorang yang mampu bertanggungjawab.
d)   Pemerkosaan adalah perbuatan seseorang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita untuk melakukan persetubuhan di luar ikatan perkawinan dengan dirinya (Lamintang dan Djisman Samosir dalam Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, 2001:41)





BAB III
MOTODE PENELITIAN
3.1  Jenis Penelitian
Bertitik tolak dari permasalahan pokok yang dikemukakan diatas, maka penulis menggunakan tipe penelitian yuridis normatif yaitu memusatkan penelitian pada sumber-sumber data skunder (Penelitian Kepustakaan). Selain itu untuk mendukung data skunder, juga dilakukan tipe penelitian yuridis empiris yaitu melakukan penelitian dengan cara mengumpulkan data primer yang didapat dari wawancara dengan beberapa narasumber terkait yang berhubunga dengan pokok masalah yang dibahas.
Adapun sifat penelitian ini adalah penelitian hukum deskriptif, yakni penelitian yang menggambarkan sekaligus menjelaskan temuan-temuan penelitian dan kemudian menganalisisnya dengan logika berfikir hukum (legal reasioning)
3.2  Lokasi Penelitian
Penelitian ini  dilaksanakan pada Unit PPA Kepolisian Resort Pohuwato, dipilihnya lokasi tersebut karena pertimbangan obyektif, antara lain agar dapat mendukung pengumpulan data-data yang dibutuhkan penulis guna menyempurnakan hasil penelitian nantinya.  
3.3  Jenis dan Sumber Data
1.      Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data skunder.
a.   Data primer adalah data yang dikumpulkan dan diolah yang diperoleh secara langsung dari responden atau informan dalam hal ini adalah dari Penyidik Unit PPA Polres Pohuwato dan beberapa tokoh masyarakat yang ada.
b.   Data skunder adalah data yang diperoleh dari penelaahan studi kepustakaan, dokumen, artikel, serta literatur yang relevan dengan penelitian ini.
2.      Sumber Data
a.       Sumber data primer pada penelitian ini adalah data lapangan yang diperoleh secara langsung yang bersumber pada responden dan informan yaitu Penyidik Unit PPA Polres Pohuwato dan beberapa tokoh masyarakat yang ada.
b.      Sumber data skunder adalah data yang dikumpulkan dan diolah yang diperoleh secara langsung dari responden atau informan sebagai sumber data dan dokumen yang relefan.
3.4  Teknik Pengumpulan Data
Data primer dan data sekunder yang bersiifat kualitatif maupun kuantitatif yang diperlukan dikumpulkan dengan menggunakan teknik sebagai berikut :
1.      Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Dalam penelitian ini wawancara dilakukan dalam bentuk Tanya jawab terhadap:
a.       Penyidik Unit PPA Polres Pohuwato,
b.      Tokoh masyarakat.
2.      Observasi
            Observasi diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian. Pengamatan dan pencatatan yang dilakukan terhadap objek ditempat terjadi atau berlangsungnya peristiwa, sehingga observer (peneliti) berada bersama objek yang diselidiki (diteliti), disebut observasi langsung. Sedangkan observasi tidak langsung adalah pengamatan yang dilakukan tidak pada saat berlangsungnya sesuatu yang akan diselidiki. Observasi dalam penelitian ini akan dilakukan secara tidak langsung maupun langsung apabila memungkinkan untuk peneliti.
3.      Dokumentasi adalah teknik pengumpulan data melalui pencatatan informasi dari dokumen-dokumen yang telah ada.
3.5    Populasi dan Sampel
1.      Populasi
Populasi adalah seluruh objek atau seluruh individu atau seluruh unit yang diteliti.
2.      Sampel
Sampel penelitian yakni sebagian dari populasi yang dipilih melalui teknik pengambilan sampel purposif (teknik purposif sampling) terhadap responden, yang meliputi :
a.       Tiga  orang Penyidik Unit PPA Polres Pohuwato:
1.    KANIT PPA
2.    Dua orang Penyidik Pembantu Unit PPA   
b.      Lima orang Tokoh masyarakat.
3.6  Tekhnik Analisis Data
            Analisis merupakan langkah terakhir dalam kegiatan penelitian ini. Data yang terkumpul di analisis untuk mendapatkan kejelasan masalah yang akan di bahas. Analisis data ini dilakukan secara “Kualitatif”, yaitu: penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain. Data yang telah diperoleh secara langsung melalui wawancara disusun secara sistematis untuk selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk menguraikan kenyataan-kenyataan yang ada didalam masyarakat.




BAB IV
HASIL PENELITIAN

4.1  Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) adalah suatu unit yang bertugas menangani kasus yang terkait dengan  perempuan dan anak, baik sebagai korban maupun pelaku kejahatan.
Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) di tingkat Polres Pohuwato merupakan Unit dibawah Kasat Reskrim Polres Pohuwato yabg berdiri berdasarkan Surat Keputusan Kapolri No 23 tahun 2010 Tanggal 30 September 2010.
4.1.1 Tugas Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA)
Unit Pelayanan Perempuan dan Anak bertugas untuk memberikan pelayanan dalam bentuk perlindungan terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban kejahatan atau kekerasan dan penegakan hukum terhadap pelakunya. Tugas ini meliputi:
1.    Menerima laporan/pengaduan tentang tindak pidana.
2.    Membuat laporan polisi.
3.    Memberikan konseling.
4.    Mengirimkan korban ke PPT atau RS terdekat atau puskesmas.
5.    Mengeluarkan Surat Permintaan Visum (SPV)
6.    Melaksanakan penyidikan perkara.
7.    Memberikan penjelasan kepada pelapor tentang posisi kasus, hak-hak dan kewajibannya.
8.    Menjamin kerahasiaan informasi yang diperoleh.
9.    Menjamin keamanan dan keselamatan korban.
10.     Merujuk korban ke lembaga Bantuan Hukum (LBH)
11.     Mengadakan koordinasi dan kerja sama dengan lintas sektoral.
12.     Member tahu perkembangan penanganan kasus kepada pelapor dalam bentuk Surat Pemberitahuan Hasil Penyidikan (SP2HP).
13.     Menyelesaikan dan menyerahkan berkas perkara kepada jaksa penuntut umum (JPU)
4.1.2 Wewenang Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA)
Dalam melaksanakan tugasnya Unit pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) berwewenang melaksanakan proses penyelidikan, penyidikan, Koordinasi dan kerjasama, penyelesaian dan penyerahan berkas perkara kekerasan terhadap perempuan dan anak  ke Kejaksaan.





4.1.3 Struktur Organisasi Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA)
KAPOLRES
SUHERU S.Ik
AKBP
KASAT RESKRIM
ZAINAL A. HAMZAH
AKP
KANIT PPA
JABRIN KADIR, S.H
BRIPKA
UNIT IDIK
MOUDY GOSAL
BRIGADIR
UNIT LINDUNG
MARKUS PUSUT
BRIGADIR
 













Gambar 2 : Bagan Struktur Organisasi Unit PPA Polres Pohuwato


4.2 Peranan Korban Dalam Terjadinya Tindak Pidana Pemerkosaan Di Kabupaten Pohuwato
Tindak pidana pemerkosaan merupakan suatu tindak pidana yang sangat merugikan bagi korbannya,  tindak pidana ini berdampak tidak hanya pada fisik si korban saja namun berdampak pada psikologis si korban dan berefek sangat panjang.
Seiring dengan perkembangan jaman yang semakin modern, semakin banyak juga ragam kejahatan yang muncul dimasyarakat, disamping itu kejahatan-kejahatan pun semakin kian meningkat, dan hal itu tidak hanya terjadi di kota-kota besar saja, namun menyebar luas diseluruh pelosok penjuru nusantara.
Tidak terkecuali dengan tindak pidana pemerkosaan, di Kabupaten pohuwato selama dua tahun terakhir ini mengalami peningkatan yang signifikan. Hal ini dapat kita lihat dari tabel berikut:
Gambar 3: Tabel Jumlah Tindak Pidana Pemerkosaan di Kabupaten Pohuwato Tahun 2011-2012
TAHUN
JUMLAH
2011
1
2012
4
Sumber: Unit PPA Polres Pohuwato
Peningkatan tindak pidana pemerkosaan diatas tentunya disebabkan oleh banyak faktor. Yang diantaranya :  faktor korban mempunyai hubungan dengan pelaku, faktor lingkungan, pengaruh video atapun gambar-gambar porno dan faktor korban itu sendiri (Wawancara dengan Bapak Jabrin Kadir, S.H). Dan dalam pembahasan ini kita akan membahas lebih mendalam mengenai faktor korban atau peranan korban dalam menyebabkan tindak pidana pemerkosaan terjadi.
Masalah korban sebetulnya bukanlah masalah yang baru, hanya karena hal-hal tertentu kurang diperhatikan, bahkan diabaikan. Apabila mengamati masalah kejahatan menurut proporsi yang sebenarnya secara dimensional, maka mau tidak mau kita harus memperhitungkan peranan korban dalam timbulnya suatu kejahatan.
Peran yang dimaksud adalah sebagai sikap dan keadaan diri seseorang yang akan menjadi calon korban ataupun sikap dan keadaan yang dapat memicu seseorang untuk berbuat kejahatan.
Korban mempunyai peranan yang fungsional dalam terjadinya suatu kejahatan. Pada kenyataanya dapat dikatakan bahwa tidak mungkin timbul suatu kejahatan kalau tidak ada korban kejahatan, yang merupakan peserta utama dari penjahat dalam hal terjadi nya suatu kejahatan dan hal pemenuhan kepentingan sipenjahat yang berakibat penderitaan korban.
Dalam studi tentang kejahatan dapat dikatakan bahwa tidak ada kejahatan tanpa menimbulkan korban. Dengan demikian, korban adalah partisipan utama, meskipun pada sisi lain dikenal pula kejahatan tanpa korban (Crime without victim), akan tetapi harus diartikan kejahatan yang tidak menimbulkan korban dipihak lain, misalnya penyalahgunaan obat terlarang, perjudian, aborsi, dimana korban menyatu sebagai pelaku.
Dikatakan tanpa korban tidak mungkin terjadi suatu kejahatan. Jadi jelas bahwa, pihak korban sebagai partisipan utama memainkan peranan penting. Bahkan setelah kejahatan dilaksanakan. Dalam masalah penyelesaian konflik dan penentuan hukuman bagi pihak pelaku, dapat juga terjadi suatu  kejahatan yang dilakukan oleh pihak korban apabila dirasakan ada tindak lanjut yang tidak adil dan merugikan korban.
Pihak korban yang mempunyai status sebagai partisipan pasif maupun aktif dalam suatu kejahatan, memainkan berbagai macam peranan yang mempengaruhi terjadinya kejahatan tersebut. Pelaksana peran-peran pihak korban dipengaruhi oleh situasi dan kondisi tertentu langsung atau tidak langsung. Pengaruh tersebut hasilnya tidak selalu sama pada korban.
Peranan korban kejahatan ini antara lain berhubungan dengan apa yang dilakukan pihak korban, bilamana dilakukan sesuatu, dimana hal tersebut dilakukan. Peranan korban ini mempunyai akibat dan pengaruh bagi diri korban serta pihak-pihak lain dan lingkungannya. Antara pihak korban dan pihak pelaku terdapat hubungan fungsional. Bahkan dalam terjadinya kejahatan tertentu pihak korban dikatakan bertanggung jawab.
Pihak korban dapat berperan dalam keadaan sadar atau tidak sadar, secara langsung atau tidak langsung, sendiri atau bersama-sama, bertanggung jawab atau tidak, secara aktif atau pasif, dengan motivasi positif maupun negatif. Semuanya bergantung pada situasi dan kondisi pada saat kejahatan tersebut berlangsung.
Piihak korban sebagai partisipan utama dalam terjadinya kejahatan memainkan berbagai macam peranan yang dibatasi situasi dan kondisi tertentu, dalam kenyataan, tidak mudah membedakan secara tajam setiap peranan yang dimainkan pihak korban.
Situasi dan kondisi pihak korban dapat merangsang pihak pelaku untuk melakukan suatu kejahatan terhadap pihak korban.  Pihak korban sendiri dapat tidak melakukan suatu tindakan, tidak berkemauan  atau rela untuk menjadi korban. Situasi atau kondisi yang ada pada dirinyalah yang merangsang, mendorong pihak lain melakukan suatu kejahatan, karena kerap kali antara pihak pelaku dan pihak korban tidak terdapat hubungan terlebih dahulu. Situasi dan kondisi tersebut antara lain berkaitan dengan kelemahan fisik, dan mental pihak korban.
Dalam mengkaji masalah kejahatan, maka pada hakikatnya ada beberapa komponen yang perlu diperhatikan. Lazimnya orang Cuma memperhatikan dalam analisis kejahatan hanya komponen penjahat, undang-undang, dan penegak hukum serta interaksi antara ketiga komponen itu. Masalah konstelasi masyarakat dan faktor lainnya, kalaupun dikaji, lebih banyak disoroti oleh sosiologi dan kriminologi. Selain dari pada itu, komponen korban hampir terlupakan dalam analisis ilmiah. Kalaupun dipersoalkan faktor korban, analisisnya belum dikupas secara bulat dan tuntas.
Masalah korban ini sebetulnya bukanlah masalah yang baru, karena hal-hal tertentu kurang diperhatikan, bahkan diabaikan. Apabila mengamati masalah kejahatan menurut proporsi yang sebenarnya secara dimensional, maka perhatian kita tidak akan lepas dari peranan si korban dalam timbulnya suatu kejahatan. Korban mempunyai peranan yang fungsional dalam terjadinya suatu kejahatan. Pada kenyataanya dapat dikatakan bahwa tidak mungkin timbul suatu kejahatan kalau tidak ada si korban kejahatan, yang merupakan peserta utama dari si penjahat dalam hal terjadinya suatu kejahatan dan hal pemenuhan kepentingan si penjahat yang berakibat penderitaan sikorban.
Walaupun korban berperan dalam terjadinya kejahatan, tetapi korban juga tetap memiliki hak-hak yang harus dipenuhi dalam implementasinya. Dengan melihat beberapa hak-hak korban diharapkan masyarakat memahami, bahwa korban juga mempunyai hak-hak yang harus dihormati seperti layaknya manusia yang merupakan bagian dari anggota masyarakat. Begitu juga dengan  pelaku tindak pidana yang menjadi korban tindak main hakim sendiri adalah sama dengan korban yang lain, mereka mempunyai hak-hak korban yang dimiliki oleh korban kejahatan lain karena mereka juga merupakan korban kejahatan.  
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Jabrin Kadir SH, Salah seorang penyidik yang ada di Kepolisian Resort Pohuwato yang menjabat sebagai Kepala Unit Pelayanan Perempuan dan Anak pada tanggal 04 Desember 2012, beliau mengatakan bahwa ada banyak hal yang menjadi faktor  penyebab terjadinya tindak pidana pemerkosaan, diantaranya:  korban mempunyai hubungan dengan pelaku, faktor lingkungan, pengaruh video atapun gambar-gambar porno dan faktor korban itu sendiri.
Dikatakan korban mempunyai hubungan dengan pelaku artinya sudah ada relasi terlebih dahulu (dalam ukuran intensitas tertentu) antara korban dengan pelakunya. Dimana dalam beberapa kasus yang ada selalu tersangka terlebih dahulu sudah mengenal atau mempunyai hubungan dengan korban. Misalnya, pembantu rumah tangga yang diperkosa oleh majikannya, seorang wanita yang diperkosa oleh pacarnya, dan lain-lain.
Faktor lingkungan yang dimaksud adalah faktor eksternal yang berasal dari luar diri pelaku tindak pidana, misalnya situasi dan kondisi yang sepi, sehingga memungkinkan bagi pelaku untuk melancarkan aksinya kepada korban.
Pengaruh video ataupun gambar-gambar porno ini merupakan faktor internal yang berasal dari diri pelaku tindak pidana. Kebiasaan pelaku yang sering menonton video ataupun melihat gambar-gambar porno dapat menimbulkan dampak negative pada diri pelaku, sehingga ia mempunyai keinginan untuk menyalurkan nafsu birahinya dengan  cara melakukan tindak pidana pemerkosaan.
Sedangkan yang dimaksud dengan faktor korban disini adalah kebiasaan atau tingkah laku korban yang cenderung menjadi penyebab dilakukannya tindak pidana pemerkosaan oleh pelaku. Kebiasaan atau tingkah laku korban ini antara lain: cara berpakaian korban yang selalu menggunakan pakaian yang fulgar/minim, tingkah laku korban yang merangsang pelaku melakukan tindak pidana pemerkosaan, tutur bicara korban yang merangsang pelaku sehingga melakukan tindak pidana pemerkosaan, ataupun kebiasaan-kebiasaan korban yang suka berjalan ditempat-tempat sepi tanpa didampingi suami, orang tua atau unsure keluarga dekatnya.
Pendapat itu dipertegas oleh Eko Prasetyo Dan Suparman Marzuki yang dikutip oleh Abdul Wahid dan Muhammad Irfan dalam bukunya yang berjudul Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan yang menyatakan bahwa “Dalam setiap kasus perkosaan paling tidak melibatkan tiga hal, yakni: pelaku, korban dan situasi serta kondisi. Ketiga hal tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Masing-masing mempunyai andil sendiri-sendiri dalam mendorong timbulnya suatu tindak pidana perkosaan.
Pendapat itu menunjukan bahwa pemerkosaan dapat terjadi bukan semata-mata disebabkan oleh dorongan seksual yang tidak bisa dikendalikan dan membutuhkan pelampiasan, namun juga di dukung oleh peran pelaku, posisi korban dan pengaruh lingkungan.
Pelaku menjadi gambaran sosok manusia yang gagal mengendalikan emosi dan naluri seksualnya secara wajar, sementara korban juga memerankan dirinya sebagai faktor kriminogen, artinya sebagai pendorong langsung maupun tidak langsung terhadap terjadinya tindak pidana pemerkosaan. Posisi pelaku dengan korban ini pun di dukung oleh peran lingkungan (seperti jauh dari keramaian, sepi dan ruang tertutup) yang memungkinkan pelaku dapat leluasa menjalankan aksi-aksi jahatnya.
Hal senada disampaikan oleh Brigadir Markus Pusut (Wawancara Tanggal 19 Desember 2012) salah satu penyidik di Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Resort Kriminal Polres Pohuwato, beliau mengatakan bahwa “dalam setiap tindak pidana pemerkosaan yang terjadi, secara tidak langsung korban pasti mempunyai peranan sebagai penyebab terjadinya tindak pidana tersebut meskipun hanya kecil, dan hal ini sangat jarang dibicarakan karena mengingat korban adalah pihak yang dirugikan”.
Dari keterangan beliau diatas, dapat ditarik satu kesimpulan bahwa dala setiap tindak pidana pemerkosaan terjadi, secara tidak langsung korban mempunyai peran yang tak bisa dipisahkan dan menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya tindak pidana pemerkosaan.
Peranan tersebut dapat berupa: kebiasaan seorang wanita berjalan sendiri ditempat-tempat sepi, cara korban berpakaian yang dapat merangsang seseorang untuk melakukan kejahatan pemerkosaan ataupun sikap dan tutur kata korban yang merangsang pelaku melakukan tindak idana tersebut.
Hal ini sejalan dengan pendapat Made Darma Weda yang dikutip oleh Abdul Wahid dan Muhammad Irfan dalam bukunya yang berjudul Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan, yang menyatakan bahwa “Studi tentang korban kejahatan mencatat adanya peranan korban yang disebut “victim precipitation”. Dalam hal ini prilaku sikorban, disadari atau tidak , merangsang timbulnya perkosaan. Sebagai contoh, seorang wanita berjalan sendiri di tempat yang sepi, cara korban berpakaian yang dapat merangsang seseorang untuk melakukan kejahatan perkosaan”.
Pendapat itu menunjukan mengenai posisi korban yang secara tidak langsung turut ambil bagian terhadap terjadinya pemerkosaan. Artinya, ada sikap, prilaku, cara menempatkan diri, cara bergaul, dan hadir pada suasana yang menurut pandangan umum tidak lazim, yang dapatt mendorong emosi dan nafsu laki-laki untuk berbuat tidak senonoh dan memperkosanya. Korban telah menempatkan dirinya sebagai “pelaku secara tidak langsung, karena apa yang diperbuatnya telah mendorong terjadinya kriminalitas”.
Pendapat itu dipertegas oleh Anton Tabah (Dalam Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan terhadap korban kekerasan seksual Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan, Hlm:71), beliau mengatakan “meningkatnya kasus perkosaan terkait erat dengan aspek sosial-budaya. Budaya yang semakin terbuka, pergaulan yang semakin bebas, cara berpakaian kaum hawa yang semakin merangsang dan kadang-kadang dengan  berbagai perhiasan mahal, kebiasaan bepergian jauh sendirian, adalah faktor-faktor dominan  yang mempengaruhi tingginya frekuensi kasus perkosaan.
Begitu pula dengan beberapa tokoh masyarakat yang sempat diwawancarai secara terpisah (Bapak Suharto (Taluditi) Pada tanggal 28 Desember 2012, Bapak Bambang Hari Utomo (Randangan) Pada tanggal 5 Januari 2013, Bapak Kahar Sabu (Buntulia Jaya) pada tanggal 7 Januari 2013, Ibu Sartin Pakaya (Buntulia Selatan) Pada tanggal 10 Januari 2013 dan Bapak Riadi S.Pdi (Makarti Jaya) pada tanggal 19 Januari 2013), mereka mengatakan yang pada intinya bahwa selain kebiasaan pelaku yang suka menonton atau melihat gambar-gambar porno, kebiasaan korban yang sering berpakaian fulgar dan berjalan ditempat-tempat sepi sendirian juga menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya tindak pidana pemerkosaan dimasyarakat.
4.3 Upaya Kepolisian Resort Pohuwato Untuk Mencegah Peningkatan Tindak Pidana Pemerkosaan Di Kabupaten Pohuwato
Kejahatan adalah masalah sosial yang dihadapi oleh masyarakat di seluruh negara semenjak dahulu dan pada hakikatnya merupakan produk dari masyarakat sendiri. Kejahatan dalam arti luas, menyangkut pelanggaran dari norma-norma yang dikenal masyarakat, seperti norma-norma agama, norma moral dan norma hukum. Norma hukum pada umumnya dirumuskan dalam undang-undang yang dipertanggungjawabkan aparat pemerintah untuk menegakkannya, terutama kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Namun, karena kejahatan langsung mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat, maka wajarlah bila semua pihak baik pemerintah maupun warga masyarakat ikut mempertanggung jawabkannya , karena setiap orang mendambakan kehidupan bermasyarakat yang tenang dan damai.
Menyadari tingginya tingkat kejahatan, maka secara langsung atau tidak langsung mendorong pula perkembangan dari pemberian reaksi terhadap kejahatan dan pelaku kejahatan yang pada hakikatnya berkaitan dengan maksud dan tujuan dari usaha penanggulangan kejahatan tersebut.
Upaya penanggulangan kejahatan telah dilakukan oleh semua pihak ,baik pemerintah maupun masyarakat pada umumnya. Berbagai program serta kegiatan yang telah dilakukan sambil terus mencari cara yang paling tepat dan efektif dalam mengatasi masalah tersebut.
Seperti yang dikemukakan oleh E.H.Sutherland dan Cressey (Ramli Atmasasmita 1983:66) yang mengemukakan bahwa dalam crime prevention dalam pelaksanaannya ada dua buah metode yang dipakai untuk mengurangi frekuensi dari kejahatan, yaitu  sebagai berikut berikut ( Dalam http:// raypratama.blogspot.com/2012/02/ upaya-penanggulangan-kejahatan.html):
  1. Metode untuk mengurangi pengulangan dari kejahatan
Merupakan suatu cara yang ditujukan kepada pengurangan jumlah residivis (pengulangan kejahatan) dengan suatu pembinaan yang dilakukan secara konseptual.
2.    Metode untuk mencegah the first crime
Merupakan satu cara yang ditujukan untuk mencegah terjadinya kejahatan yang pertama kali (the first crime) yang akan dilakukan oleh seseorang dan metode ini juga dikenal sebagai metode prevention (preventif).
Berdasarkan uraian di atas dapat dilihat bahwa upaya penanggulangan kejahatan mencakup aktivitas preventif dan sekaligus berupaya untuk memperbaiki perilaku seseorang yang telah dinyatakan bersalah (sebagai seorang narapidana) di lembaga pemasyarakatan. Dengan kata lain upaya penanggulangan kejahatan dapat dilakukan secara preventif dan represif.
a.    Upaya preventif
Penanggulangan kejahatan secara preventif dilakukan untuk mencegah terjadinya atau timbulnya kejahatan yang pertama kali . Mencegah kejahatan lebih baik daripada mencoba untuk mendidik penjahat menjadi lebih baik kembali, sebagaimana semboyan dalam kriminologi yaitu usaha-usaha memperbaiki penjahat perlu diperhatikan dan diarahkan agar tidak terjadi lagi kejahatan ulangan.
Hal ini seperti diampaikan oleh Brigadir Moudy Gosal salah satu penyidik di Unit PPA Polres Pohuwato (Wawancara Tanggal 19 Desember 2012) bahwa Pihak Polres Pohuwato sudah melakukan upaya-upaya preventif atau pencegahan peningkatan tindak pidana melalui penyuluhan-penyuluhan maupun sosialisasi-sosialisasi mengenai tindak pidana pada umumnya kepada masyarakat.
Sangat beralasan bila upaya preventif diutamakan karena upaya preventif dapat dilakukan oleh siapa saja tanpa suatu keahlian khusus dan ekonomis.
Menurut Bapak Riadi S.Pdi salah satu tokoh masyarakat di Kecamatan Taluditi, bahwa sudah beberapa kali pihak dari kepolisian baik Polsek Taluditi maupun Polres Pohuwato mengadakan penyuluhan-penyuluhan hukum di kecamatan Taluditi sebagai salah satu antisipasi untuk mencegah peningkatan tindak pidana yang ada di kabupaten pohuwato.
Barnest dan Teeters (http://raypratama.blogspot.com/2012/02/upaya-penanggulangan-kejahatan.html) menunjukkan beberapa cara untuk menanggulangi kejahatan yaitu:
1)   Menyadari bahwa akan adanya kebutuhan-kebutuhan untuk mengembangkan dorongan-dorongan sosial atau tekanan-tekanan sosial dan tekanan ekonomi yang dapat mempengaruhi tingkah laku seseorang ke arah perbuatan jahat.
2)    Memusatkan perhatian kepada individu-individu yang menunjukkan potensialitas kriminal atau sosial, sekalipun potensialitas tersebut disebabkan gangguan-gangguan biologis dan psikologis atau kurang mendapat kesempatan sosial ekonomis yang cukup baik sehingga dapat merupakan suatu kesatuan yang harmonis.

Dari pendapat Barnest dan Teeters tersebut di atas menunjukkan bahwa kejahatan dapat kita tanggulangi apabila keadaan ekonomi atau keadaan lingkungan sosial yang mempengaruhi seseorang ke arah tingkah laku kriminal dapat dikembalikan pada keadaan baik. Dengan kata lain perbaikan keadaan ekonomi mutlak dilakukan. Sedangkan faktor-faktor biologis, psikologis, merupakan faktor yang sekunder saja.
  Jadi dalam upaya preventif itu adalah bagaimana kita melakukan suatu usaha yang positif, serta bagaimana kita menciptakan suatu kondisi seperti keadaan ekonomi, lingkungan, juga kultur masyarakat yang menjadi suatu daya dinamika dalam pembangunan dan bukan sebaliknya seperti menimbulkan ketegangan-ketegangan sosial yang mendorong timbulnya perbuatan menyimpang juga disamping itu bagaimana meningkatkan kesadaran dan patisipasi masyarakat bahwa keamanan dan ketertiban merupakan tanggung jawab bersama.
b.  Upaya represif
Upaya represif adalah suatu upaya penanggulangan kejahatan secara konsepsional yang ditempuh setelah terjadinya kejahatan. Penanggulangan dengan upaya represif dimaksudkan untuk menindak para pelaku kejahatan sesuai dengan perbuatannya serta memperbaikinya kembali agar mereka sadar bahwa perbuatan yang dilakukannya merupakan perbuatan yang melanggar hukum dan merugikan masyarakat, sehingga tidak akan mengulanginya dan orang lain juga tidak akan melakukannya mengingat sanksi yang akan ditanggungnya sangat berat.
Menurut Bapak Jabrin Kadir, S.H, Kanit PPA Polres Pohuwato, unit Pelayanan Perempuan dan Anak sudah melakukan upaya-upaya represif berupa penanganan-penanganan tindak pidana terhadap perempuan dan anak yang dilaporkan oleh pelapor kepada unit PPA. Penanganan-penanganan ini dilakukan sesuai standar penanganan yang ada di unit tersebut hingga dilimpahkan ke kejaksaan untuk dipersidangkan dipengadilan.
Dalam membahas sistem represif, tentunya tidak terlepas dari sistem peradilan pidana kita, dimana dalam sistem peradilan pidana paling sedikit terdapat 5 (lima) sub-sistem yaitu sub-sistem kehakiman, kejaksaan, kepolisian, pemasyarakatan, dan kepengacaraan, yang merupakan suatu keseluruhan yang terangkai  dan berhubungan secara fungsional.
Upaya represif dalam pelaksanaannya dilakukan pula dengan metode perlakuan (treatment) dan penghukuman (punishment). Lebih jelasnya uraiannya sebagai berikut ini :
1)    Perlakuan ( treatment )
Dalam penggolongan perlakuan, penulis tidak membicarakan perlakuan yang pasti terhadap pelanggar hukum, tetapi lebih menitikberatkan pada berbagai kemungkinan dan bermacam-macam bentuk perlakuan terhadap pelanggar hukum sesuai dengan akibat yang ditimbulkannya.
Perlakuan berdasarkan penerapan hukum, menurut Abdul Syani (1987:139) yang membedakan dari segi jenjang berat dan ringannya suatu perlakuan,yaitu :
(1)      Perlakuan yang tidak menerapkan sanksi-sanksi pidana, artinya perlakuan yang paling ringan diberikan kepada orang yang belum telanjur melakukan kejahatan. Dalam perlakuan ini, suatu penyimpangan dianggap belum begitu berbahaya sebagai usaha pencegahan.
(2)      Perlakuan dengan sanksi-sanksi pidana secara tidak langsung, artinya tidak berdasarkan putusan yang menyatakan suatu hukum terhadap si pelaku kejahatan.
Adapun yang diharapkan dari penerapan perlakuan-perlakuan ini ialah tanggapan baik dari pelanggar hukum terhadap perlakuan yang diterimanya. Perlakuan ini dititikberatkan pada usaha pelaku kejahatan agar dapat kembali sadar akan kekeliruannya dan kesalahannya, dan dapat kembali bergaul di dalam masyarakat seperti sedia kala .
Jadi dapat disimpulkan bahwa perlakuan ini mengandung dua tujuan pokok, yaitu sebagai upaya pencegahan dan penyadaran terhadap pelaku kejahatan agar tidak melakukan hal-hal yang lebih buruk lagi dimaksudkan agar si pelaku kejahatan ini di kemudian hari tidak lagi melakukan pelanggaran hukum, baik dari pelanggaran-pelanggaran yang mungkin lebih besar merugikan masyarakat dan pemerintah.
2)    Penghukuman (punishment)
Jika ada pelanggar hukum yang tidak memungkinkan untuk diberikan perlakuan (treatment), mungkin karena kronisnya atau terlalu beratnya kesalahan yang telah dilakukan, maka perlu diberikan penghukuman yang sesuai dengan perundang-undangan dalam hukum pidana.
Oleh karena Indonesia sudah menganut sistem pemasyarakatan, bukan lagi sistem kepenjaraan yang penuh dengan penderitaan, maka dengan sistem pemasyarakatan hukuman dijatuhkan kepada pelanggar hukum adalah hukuman yang semaksimal mungkin (bukan pembalasan) dengan berorientasi pada pembinaan dan perbaikan pelaku kejahatan.
Seiring dengan tujuan dari pidana penjara sekarang, Sahardjo mengemukakan seperti yang dikutip oleh Abdulsyani (1987:141) sebagai berikut (Dalam http://raypratama.com/2012/02.upaya-penanggulangan-kejahatan.html) :
Menyatakan bahwa tujuan dari pemasyarakatan yang mengandung makna bahwa tidak hanya masyarakat yang diayomi terhadap diulanginya perbuatan jahat oleh terpidana, tetapi juga orang-orang yang menurut Sahardjo telah tersesat diayomi oleh pohon beringin dan diberikan bekal hidup sehingga menjadi kaula yang berfaedah di dalam masyarakat Indonesia .  
   Jadi dengan sistem pemasyarakatan, disamping narapidana harus menjalani hukumannya di lembaga pemasyarakatan, mereka pun dididik dan dibina serta dibekali oleh suatu keterampilan agar kelak setelah keluar menjadi orang yang berguna di dalam masyarakat dan bukan lagi menjadi seorang narapidana yang meresahkan masyarakat karena segala perbuatan jahat mereka di masa lalu yang sudah banyak merugikan masyarakat, sehingga kehidupan yang mereka jalani setelah mereka keluar dari penjara menjadi lebih baik karena kesadaran mereka untuk melakukan perubahan didalam dirinya maupun bersama dengan masyarakat di sekitar tempat dia bertempat tinggal.


BAB V
PENUTUP
5.1  Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisa dari pembahasan pada bab sebelumnya, penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1.      Dalam terjadinya tindak pidana pemerkosaan dikabupaten pohuwato ternyata korban mempunyai peranan dalam menyebabkan tindak pidana tersebut terjadi. Peranan ini berupa tindakan-tindakan korban yang dapat menyebabkan terjadinya tindak pidana pemerkosaan, seperti kebiasaan korban yang sering berpakaian minim/vulgar, kebiasan-kebiasaan korban yang suka berjalan ditempat-tempat sepi sendirian tanpa didampingi suami, orang tua atau keluarga-keluarga terdekatnya dan kebiasaan-kebiasaan lain korban yang dapat merangsang pelaku untuk melakukan tindak pidana pemerkosaan.
2.      Pihak polres pohuwato sudah melakukan upaya-upaya penanggulangan terhadap peningkatan tindak pidana pemerkosaan  berupa upaya preventif seperti melakukan sosialisasi-sosialisasi atau penyuluhan-penyuluhan kepada masyarakat, dan upaya represif berupa penanganan-penanganan tindak pidana pemerkosaan yang masuk di Unit PPA sesuai dengan standar penanganan yang ada ditingkat polres.

5.2   Saran
1.      Untuk masyarakat
Diharapkan kepada orang tua yang memiliki anak perempuan, agar supaya membiasakan anaknya untuk menggunakan pakaian-pakaian yang menutup aurat, agar bisa mencegah atau meminimalisir peningkatan tindak pidana khususnya pemerkosaan.
2.      Untuk aparat penegak hukum
Agar kiranya dapat lebih meningkatkan upaya-upaya preventif maupun represif  untuk mencegah peningkatan frekuensi tindak pidana pemerkosaan, seperti lebih banyak melakukan sosialisasi-sosialisasi atau penyuluhan-penyuluhan hukum kepada masyarakat.
3.    Untuk pemerintah
Agar kiranya pemerintah dapat dapat membuat suatu aturan untuk mencegah peningkatan tindak pidana pemerkosaan  dimasa mendatang. Seperti larangan kepada perempuan  untuk keluar lewat dari tengah malam atau kewajiban bagi perempuan muslim untuk memakai jilbab dan menggunakan pakaian yang menutup aurat bagi yang non muslim.