Minggu, 04 November 2012

ANAK.



1.      Pengertian Anak
Kelahiran anak (bayi) karena perkawinan sedikit banyaknya menyebabkan hal-hal tertentu dalam berbagai kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Secara hukum kelahiran tersebut mempunyai/menimbulkan akibat hukum. Dalam lapangan hukum perdata akibat hukum ini berpokok kepada anak dan kewajiban seperti : kekuasaan orang tua, pengakuan sahnya anak dan penyangkalan sahnya anak, perwalian, pendewasaan, dan pengangkatan anak.
Anak dalam masyarakat yang bagaimanapun bentuk dan coraknya, merupakan pembawa bahagia. Tidak heran bila dalam upacara pernikahan pengantar dua insan ke gelanggang rumah tangga di antar petuah serta doa restu, orang tua-tua selalu berpesan, semoga kedua mempelai diberkati keturunan bukan satu, bukan dua, tetapi banyak. Pasal 91 (4) KUHP memberikan penjelasan tentang anak adalah orang yang ada dibawah kekuasaan yang sama dengan kekuasaan orang tuanya.
Dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 Tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Sedangkan dalam Undang-Undang No 4 Tahun 1979 pasal 1 ayat 2 dijelaskan tentang pengertian anak adalah seorang yang belum mencapai usia 21 tahun atau belum pernah kawin. Batasan 21 tahun ini ditetapkan oleh karena berdasarkan pertimbangan kepentingan usaha sosial, tahap kematangan sosial, kematangan pribadi dan kematangan mental seorang anak dicapai pada usia 21 tahun.
Sedangkan pengertian anak menurut pasal 45 KUHP adalah orang yang belum cukup umur, dengan belum cukup umur dimaksudkan adalah mereka yang melakukan perbuatan sebelum umur 16  tahun.
Dalam Konvensi Hak Anak menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 18 tahun, sedangkan dalam KUHP menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 17 tahun.
Dari beberapa pengertian anak di atas dapat di bedakan beberapa pengertian tentang anak, yaitu (1) Anak kandung; (2) Anak terlantar, (3) Anak yang menyandang cacat, (4) Anak yang memiliki keunggulan, dan (5) Anak angkat, serta (6) Anak asuh.
Yang dimaksud dengan anak kandung adalah anak yang dilahirkan dari dalam rahim seorang ibu; sedangkan anak terlantar adalah anak yang tidak terpelihara kebutuhannya  secara wajar, baik fisik, mental, spritual, maupun sosial; anak yang menyandang cacat adalah anak yang mengalami hambatan fisik dan/atau mental sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya secara wajar; anak yang memiliki keunggulan adalah anak yang mempunyai kecerdasan luar biasa, atau memiliki potensi dan bakat istimewa; anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang  bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan; anak asuh adalah anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga, untuk diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan, karena orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembangnya anak secara wajar.
2.   Konsep dan Batasan anak dibawah umur
Berbicara mengenai konsep dan batasan anak di bawah umur, penulis bertolak pada KUHP dan konvensi Hak-Hak Anak (KHA), dimana dalam KUHP tersebut memberikan batasan anak di bawah umur adalah lima belas tahun, sedangkan dalam KHA memberikan batasan anak di bawah umur adalah delapan belas tahun. secara fakta psikologi anak usia 17 tahun masih labil sehingga batasan umur dalam KHA dirasa lebih tepat.
Sedangkan dalam hukum Islam batasan anak di bawah umur terdapat perbedaan penentuan. Menurut hukum Islam batasan itu tidak berdasarkan hitungan usia, tetapi sejak ada tanda-tanda perubahan badania baik bagi di anak laki-laki, demikian pula  bagi anak perempuan. Sedangkan dalam masyarakat yang sudah mempunyai hukum tertulis, ditetapkan batasan umur  16 tahun atau 18 tahun ataupun usia tertentu yang menurut perhitungan pada usia itulah si anak bukan lagi tergolong anak  di bawah umur, tetapi sudah dewasa.
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak disebutkan bahwa anak sampai batas usia sebelum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin masih tergolong anak di bawah umur. sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan memberikan batasan usia anak di bawah kekuasaan orang tua atau dibawah perwalian sebelum mencapai 18 tahun masih tergolong anak di bawah umur. dalam Undang-Undang pemilu yang dikatakan anak di bawah umur adalah belum mencapai usia 17 tahun, sedangkan dalam konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak memberikan batasan anak di bawah umur adalah di bawah umur 18 tahun.

Rabu, 31 Oktober 2012

Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana



Berbagai bentuk perlindungan terhadap korban tindak pidana merupakan upaya pemulihan kerugian yang telah di derita oleh sang korban.  Hal tersebut akan lebih termaknai apabila korban dilibatkan langsung dalam proses penyelesaian perkara pidana tersebut. Konsep  seperti inilah yang sering disebut dengan Restorative Justice. Beberapa ahli memberikan pengertian Restorative Justice dengan membedakannya dari Retributive Justice.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memberikan pengertian Restorative Justice yaitu suatu proses dimana semua pihak yang berhungungan dengan tindak pidana tertentu bersama-sama memecahkan masalah, dan memikirkan bagaimana akibatnya dimasa yang akan dating.[1]
Howar Zehr membedakan retributive justice dengan restorative justice sebagai berikut:[2]
Dalam Retributive Justice:
1.    Kejahatan adalah pelanggaran sistem
2.    Fokus pada menjatuhkan hukuman
3.    Menimbulkan rasa bersalah
4.    Korban diabaikan
5.    Pelaku pasif
6.    Pertanggung jawaban pelaku adalah hukuman
7.    Respon terpaku pada prilaku masa lalu pelaku
8.    Stigma tidak terhapuskan
9.    Tidak di dukung untuk menyesal dan dimaafkan
10. Proses  bergantung pada aparat
11. Proses sangat rasional
Dalam Restorative Justice:
1.    Kejahatan adalah perlukaan terhadap individu dan/atau masyarakat
2.    Focus pada pemecahan masalah
3.    Memperbaiki kerugian
4.    Hak dan kebutuhan korban diperhatikan
5.    Pelaku di dorong untuk bertanggung jawab
6.    Pertanggung jawaban pelaku adalah menunjukan empati dan menolong untuk memperbaiki kerugian
7.    Respon terpaku pada prilaku menyakitkan akibat prilaku-prilaku
8.    Stigma dapat hilang melalui tindakan yang tepat
9.    Didukung agar pelaku menyesal dan maaf dimungkinkan untuk diberikan oleh korban
10. Proses bergantung pada keterlibatan orang-orang yang terpengaruh oleh kejadian
11. Dimungkinkan proses menjadi emosional
Menurut Agustinus Pohan, Restorative Justice adalah sebuah pendekatan untuk membuat pemindahan dan pelembagaan menjadi sesuai dengan keadilan. Restorative Justice dibangun atas dasar nilai-nilai tradisional komunitas yang positif dan sanksi-sanksi yang dilaksanakan menghargai hak asasi manusia (HAM). Prinsip-prinsip Restorative Justice adalah, membuat pelaku bertanggung jawab untuk membuktikan kapasitas dan kualitasnya sebaik dia mengatasi rasa bersalahnya dengan cara yang konstruktif, melibatkan korban, orang tua, keluarga, sekolah atau teman bermainnya, membuat forum kerja sama, juga dalam masalah yang berhubungan dengan kejahatan untuk mengatasinya. Hal ini berbeda dengan konsep keadilan yang kita kenal dalam system hukum pidana Indonesia yang bersifat Retributive Justice.[3]
Pokok-Pokok Gagagasan Desain Pemidanaan Perspektif Restoratif.[4]
No
TEMA POKOK
KONSEP DASAR
1
Adanya Pidana (Penjara)
1.    Pidana (penjara) tidak penting / tidak perlu
2
Tujuan Pidana
1.    Pertanggung jawaban perbuatan
2.    Menyelesaikan konflik
3.    Mendamaikan
3
Pertanggungjawaban
1.    Pertanggungjawaban terhadap dampak / akibat kejahatan
2.    Dasarnya kerugian, membahayakan dan menderitakan
3.     Tidak dibatasi dalam bentuk pidana tetapi dipahami konteksnya secara keseluruhan
4
Bentuk Pidana
1.    Kewajiban meretorasi akibat kejahatan dam bentuk restitusi atau kompensasi
2.    Rekonsiliasi dan penyatuan sosial
3.    Lamanya pidana tergantung kepada besarnya kerugian yang terjadi
5
Efek
1.    Tanggung jawab sosial
2.    Preventif
3.    Menghindari stigmatisasi Kehidupan dimasa yang akan dating

Table diatas menunjukkan sebuah konsep Restorative Justice yang didasarkan pada tujuan hukum sebagai upaya dalam menyelesaikan konflik dan mendamaikan antara peelaku dan korban kejahatan. Pidana penjara bukanlah satu-satunya pidana yang dapat dijatuhkan pada pelaku kejahatan, tetapi pemulihan kerugian dan penderitaan yang dialami korban akibat kejahatanlah yang harus diutamakan. Kewajiban merestorasi akibat kejahatan dalam bentuk restitusi dan kompensasi serta rekonsiliasi dan penyatuan sosial merupakan bentuk pidana dalam konsep Restorative Justice.
Restorative Justice diharapkan dapat memberikan rasa tanggung jawab social pada pelaku dan mencegah stigmatisasi pelaku dimasa yang akan dating. Konsep seperti ini juga diharapkan dapat mengurangi penumpukan perkara dipengadilan dan bisa dijadikan solusi dalam pencegahan kejahatan. 


[1] Melani, Opcit, hlm 223
[2] Rena Yulia, Viktimologi: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan, hlm 164-165
[3] Rena Yulia, Viktimologi: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan, hlm 165
[4] Rena Yulia, Viktimologi: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan, hlm 167

Tindak Pidana Pencabulan


.      Pengertian Tindak Pidana Pencabulan
Terdapat perbedaan definisi pencabulan pada berbagai Negara. Bila melihat definisi pencabulan yang diambil dari Amerika Serikat, maka definisi pencabulan yang diambil dari The National Center on Child Abuse and Neglect US,  sexual assault’ adalah “Kontak atau interaksi antara anak dan orang dewasa dimana anak tersebut dipergunakan untuk stimulasi seksual oleh pelaku atau orang lain yang berada dalam posisi memiliki kekuatan atau kendali atas korban”. Termasuk kontak fisik yang tidak pantas, membuat anak melihat tindakan seksual atau pornografi, menggunakan seorang anak untuk membuat pornografi atau memperlihatkan alat genital orang dewasa kepada anak. Sedangkan Belanda memberikan pengertian yang lebih umum untuk pencabulan, yaitu persetubuhan di luar perkawinan yang dilarang yang diancam pidana. Indonesia sendiri tidak memiliki pengertian kata ’pencabulan’ yang cukup jelas. Bila mengambil definisi dari buku Kejahatan Seks dan Aspek Medikolegal Gangguan Psikoseksual, maka definisi pencabulan adalah semua perbuatan yang dilakukan untuk mendapatkan kenikmatan seksual sekaligus mengganggu kehormatan kesusilaan. Namun, tidak ada definisi hukum yang jelas yang menjelaskan arti kata pencabulan itu sendiri, baik dalam KUHP, UU Perlindungan Anak maupun UU anti KDRT
2.      Jenis-Jenis Tindak Pidana Pencabulan
Dalam KUHP perbuatan cabul diatur dari pasal 289 sampai pasal 296, dimana dikategorikan sebagai berikut:
a.       Perbuatan cabul dengan Kekerasan atau ancaman kekerasan
Hal ini dirumuskan pada pasal 289 KUHP sebagai berikut:
“Barang siapa dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan padanya perbuatan cabul, dihukum karena salahnya melakukan perbuatan melanggar kesopanan dengan hukuman penjara selama-lamanya Sembilan tahun”.
      Persepsi terhadap kata “cabul” tidak di muat dalam KUHP.  Kamus Besar Bahasa Indonesia memuat artinya sebagai berikut:
“Keji dan kotor, tidak senonoh (melanggar kesopanan, kesusilaan)” 
      Dalam kamus lengkap, Prof. Dr. S. Wojowasito, Drs. Tito Wasito di muat artinya dalam bahasa inggris.
“Indecent, dissolute, pornographical”
      Umumnya cabul diterjemahkan dengan “dissolute”. Pada “The Lexicon Webster Dictionary” dimuat artinya:
“Loose in behavior and morals”.
      Mr. J.M. Van Bemmelen terhadap arti kata cabul mengutarakan antara lain:
“………………. Pembuat undang-undang sendiri tidak memberikan keterangan yang jelas tentang pengertian cabul dan perbuatan cabul dan sama sekali menyerahkan kepada hakim untuk memutuskan apakah suatu tindakan tertentu harus atau dapat dianggap sebagai cabul atau tidak”.

      Pada RUU KUHP, pasal 289 KUHP diambil alih pada pasal 390 (14.14) yang pada penjelasan resmi berbunyi sebagai berikut:
“Pasal ini sama dengan pasal 289 KUHP.
Disini tindak pidananya adalah dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul. Yang dimaksud dengan perbuatan cabul ialah segala perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan, atau perbuatan lain yang keji dan semuanya dalam lingkungan nafsu birahi kelamin.
Sebagai tindak pidana menurut pasal ini tidaklah hanya memaksa seseorang melakukan perbuatan cabul, tetapi juga memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul, dikarenakan untuk menunjukan sifat berat dari tindak pidana sebagai perbuatan yang sangat tercela, maka diadakan minimum khusus dalam ancaman pidananya”.
      Ancaman pidana dalam KUHP maupun pada RUU KUHP adalah sama yakni Sembilan tahun penjara.
      Sebagaimana pada “perkosaan”, kekerasan atau ancaman kekerasan tersebut, harus dapat dibuktikan.
      Perbuatan cabul sebagaimana dijelaskan pada RUU KUHP adalah dalam lingkungan nafsu birahi kelamin misalnnya:
-          Seorang laki-laki dengan paksa menarik tangan seorang wanita dan menyentuhkan pada alat kelaminnya.
-          Seorang laki-laki merabai badan seorang anak laki-laki dan kemudian membuka kancing baju asank tersebut  untuk dapat mengelus dan menciuminya. Pelaku melakukan hal tersebut untuk memuaskan nafsu seksualnya.
b.      Perbuatan cabul dengan orang pingsan
Hal ini dimuat pada pasal 290 ayat (1) KUHP yang rumusannya sebagai berikut:
“Di hukum dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun:
1.      barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang yang diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya.”
      Kata “pingsan” di sinonimkan dengan kata-kata “tidak sadar”, “tidak ingat”, sedang kata “tidak berdaya” adalah “tidak bertenaga” atau sangat lemah.
      Kata “diketahuinya” adalah rumusan dolus atau sengaja. Dengan demikian si pelaku mengetahui bahwa yang dicabulinya tersebut dalam keadaan pingsan atau tidak sadar.
      Pada RUU KUHP, pasal 290 KUHP diambil alih menjadi 391 (14.15). Hal ini jelas dari penjelasan pasal tersebut yang rumusannya antara lain:
“Pasal ini sama dengan pasal 290 KUHP
Menurut pasal melakukan perbuatan cabul itu adalah dengan seseorang yang diketahuinya orang itu pingsan atau tidak berdaya; …………..”
      Ancaman pidana berdasarkan RUU KUHP menjadi Sembilan tahun. Dipandang dari segi kemanusiaan dimana orang pingsan atau tidak berdaya memerlukan pertolongan tetapi keadaan tersebut dimanfaatkannya, prilaku demikian sangat tercela. Dengan demikian wajar ancaman pidananya diperberat. 
c.       Perbuatan cabul dengan orang yang belum 15 tahun
Hal ini di muat pada pasal 290 ayat (2) KUHP yang bunyinya sebagai berikut:
“Dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun:
1.       ……………………………………………………………….
2.      Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang sedang diketahuinya atau patut dapat disangkanya, bahwa umur orang itu belum cukup lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas, bahwa orang itu belum pantas untuk dikawin.”
Pasal ini merupakan perlindungan terhadap anak / remaja. Perlu diperhatikan bahwa pada pasal tersebut tidak ada kata “wanita” melainkan kata “orang”. Dengan demikian, meskipun dilakukan terhadap anak / remaja pria, misalnya oleh homoseks atau yang disebut sehari-hari oleh “tante girang” maka pasal ini dapat diterapkan. Tetapi jika sejenis maka hal itu di atur pasal 292.
Kata “diketahuinya atau patut disangka” merupakan unsure kesalahan (dolus atau culpa) terhadap umur yakni pelaku dapat mendugabahwa umur anak / remaja tersebut belum lima belas tahun.
Sebagaimana diutarakan sebelumnya, pasal 290 KUHP  di ambil alih oleh RUU KUHP. Seyogyanya pada RUU KUHP tersebut dimuat “umur 16 tahun” agar dengan demikian sinkron dengan undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
b.      Membujuk orang yang belum 15 tahun untuk dicabuli
Hal ini di atur pada pasal 290 ayat (3) yang rumusannya sebagai berikut:
“Dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun:
1.      ……………………………………………………………….
2.      ……………………………………………………………….
3.      Barang siapa yang membujuk seseorang, yang diketahui atau patut disangkanya bahwa umur orang itu belum cukup lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan padanya perbuatan cabul ………………………………………………………..”
      Hal ini tidak ada perbedaan dengan penjelasan sebelumnya kecuali “pelaku”. Pelaku pada pasal 290 ayat (3) bukan pelaku cabul tetapi “yang membujuk”.
c.       Perbuatan cabul dengan orang yang belum dewasa yang sejenis
Hal ini diatur pada pasal 292 KUHP yang bunyinya sebagai berikut:
“ orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan seseorang yang belum dewasa, yang sejenis kelamin dengan dia, yang diketahuinya atau patut disangkanya belum dewasa dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun.”
      Pasal ini melindungi orang yang belum dewasa dari orang yang dikenal sebagai “homoseks” atau “Lesbian”. Dalam kamus besar bahasa Indonesia di muat arti homoseksual” dan “lesbian”:
“Dalam keadaan tertarik terhadap orang dari jenis kelamin yang sama (homoseksual), sedang “lesbian”: wanita yang cinta birahi kepada sesama jenisnya; wanita homoseks.”
      Pada umumnya pengertian sehari-hari, homoseks dimaksudkan bagi pria sedang lesbian dimaksudkan bagi wanita. Kurang jelas kenapa terjadi hal ini karena dari arti sebenarnya “homoseksual” adalah perhubungan kelamin antara jenis kelamin yang sama. Kemungkinan karena untuk wanita disebut lesbian maka untuk pria disebut homo seksual.
      Bagi orang dibawah umur, perlu dilindungi dari orang dewasa yang homoseks / lesbian, karena sangat berbahaya bagi perkembangannya.
      Pada RUU KUHP pasal 292 KUHP di ambil alih dengan perubahan mengenai ancaman pidana yang menjadi “paling lama tujuh tahun dan paling rendah satu tahun” (pasal 393/14.17 RUU KUHP)
d.      Dengan pemberian menggerakkan orang belum dewasa berbuat cabul
Hal ini diatur pada pasal 293 KUHP yang rumusannya sebagai berikut:
(1)   Barang siapa dengan hadiah atau perjanjian akan member uang atau barang, dengan salah memakai keuasaas yang timbul dari pergaulan atau denga memperdayakan, dengan sengaja mengajak orang dibawah umur yang tidak bercacat kelakuanya, yang diketahuinya atau patut dapat disangkanya dibawah umur, mengerjakan perbuatan cabul dengan dia atau membiarkan perbuatan cabul itu dengan dia, di hukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun.
(2)   Penuntutan tidak dilakukan melainkan atas pengaduan orang yang terhadapnya kejahatan itu dilakukan.
(3)   Tenggang tersebut dalam pasal 74 bagi pengaduan ini lamanya masing-masing Sembilan bulan dan dua belas bulan.”
      Ayat (1) pasal ini, di ambil alih oleh pasal 394 (14.18) RUU KUHP dengan tambahan “atau persetubuhan”.
Penjelasan resmi RUU KUHP terhadap pasal tersebut dirumusakan sebagai berikut:
“Pasal ini hamper sama dengan pasal 293 KUHP lama. Tindak pidana menurut pasal ini adalah menggerakkan seseorang yang belum dewasa dan berkelakuan baik untuk melakukan perbuatan cabul ataupersetubuhan dengannya atau membiarkan terhadap dirinya dilakukan perbuatan cabul. Sebagai alat untuk tindak pidana mennggerakkan seseorang itu adalah member hadiah atau berjanji akan memberi uang atau barang dan dengan jalan demikian pelaku lalu menyalahgunakan wibawa yang timbul dari hubungan keadaan atau dengan demikian menyesatkan orang tersebut. Orang disesatkan atau digerakkan itu haruslah belum dewasa atau diketahuinya belum dewasa atau patut harus di duganya bahwa orang itu belum dewasa. Sementara itu seseorang yang belum dewasa atau yang diketahuinya belum dewasa atau yang patut harus diduga bahwa ia belum dewasa tersebut adalah berkelakuan baik.”
RUU KUHP tersebut terhadap kejahatan 293 KUHP, lebih tepat karena lebih dapat diterima akal sehat bahwa kejahatan terhadap orang yang belum dewasa merupakan tindak pidana biasa.

e.       Perbuatan cabul dengan orang yang belum dewasa yang dilakukan orang tua atau yang mempunyai hubungan
Hal ini di atur pada pasal 294 KUHP yang rumusannya sebagai berikut:
(1)   “barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, anak dibawah pengawasannya, yang belum dewasa atau dengan orang yang belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya atau pun  dengan bujangnya atau bawahannya yang belum dewasa, di ancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.”
(2)   Di ancam dengan pidana yang sama:
1.      Pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dibawahnya atau orang yang dipercayakan atau diserahkan padanya.
2.      Pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas atau pesuruh dalam penjara, tempat bekerja kepunyaan Negara, tempat pendidikan, rumah piatu, rumah sakit gila, lembaga social, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dimasukan kedalamnya.
Pada kasus “pelecehan seksual” yang selalu diributkan terutama antara atasan dengan bawahan pada hakikatnya dilindungi dengan pasal ini. Namun perlu disadari bahwa pembuktiannya bukan hal yang tidak rumit. Misalnya sorang direktur, pada suatu hari karena melihat pakaian sekretarisnya mencolok, akhirnya menimbulkan keinginan baginya untuk mengelus-elus pantat dan payudaranya. Karena tidak ada saksi lain atau alat bukti lain, bukan mustahil direktur tersebut menjadikan sekretaris tersebut sebagai tersangka.
Pasal 294 KUHP, pada RUU KUHP diambil alih sebagaimana dimuat pada penjelasan resmi pasal 395 (14.19) yang bunyinya sebagai berikut:
“Pasal ini sama dengan pasal 294 KUHP lama
Tindak pidana yang disebutkan dalam pasal ini adalah melakukan perbuatan cabul atau persetubuhan, yang telah disebut juga dalam pasal-pasal sebelumnya.
Menurut pasal ini perbuatan cabul atau persetubuhan dilakukan dengan mereka yang dikategorikan khusus yaitu yang dipercayakan padanya untuk diasuh, dididik atau dijaga. Demikian juga jika yang melakukan perbuatan cabul atau persetubuhan adalah pegawai negri dan dilakukan  dengan orang yang dalam pekerjaannya adalah bawahannya, atau dengan orang yang dipercayakan atau diserahkan padanya untuk dijaga.
Menurut pasal ini maka perbuatan-perbuatan cabul atau persetubuhan adalah suatu tindak pidana biasa.”
      Rumusan pasal 294 KUHP dengan pasal 395 (14.19) RUU KUHP sebenarnya tidak sama. Ketidaksamaannya adalah penambahan ancaman pidana yakni pada RUU KUHP menjadi dua belas tahun penjara dan penambahan kata “atau persetubuhan”. Pada pasal 294 KUHP tidak ada kata “persetubuhan”. Tampaknya masih dicampur baurkan antara “cabul” dengan “persetubuhan”. Perbuatan cabul tidak menimbulkan kehamilan tetapi persetubuhan dapat menimbulkan kehamilan.
f.       Memudahkan anak dibawah umur untuk berbuat cabul
Hal ini di atur pada pasal 295 KUHP yang bunyinya sebagai berikut:
(1)   Di hukum:
1.      Dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan anaknya, anak tirinya atau anak piaraanya, anak yang dibawah pengawasannya semuanya dibawah umur yang diserahkan padanya supaya dipeliharanya, dididik atau dijaganya, atau bujangnya atau orang bawahannya, keduanya dibawah umur yakni semua orang tersebut itu melakukan perbuatan cabul dengan orang lain;
2.      Dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun barang siapa ddengan sengaja menyebabkan atau memudahkan dalam hal di luar yang di sebut pada butir 1 orang yang dibawah umur, yang diketahui atau patut dapat disangkanya bahwa ia dibawah umur, melakukan perbuatan cabul dengan orang lain.
(2)   Kalau melakukan kejahatan itu oleh yang bersalah dijadikan pekerjaan atau kebiasaan, maka hukuman itu boleh ditambah sepertiganya.
Menyebabkan atau memudahkan itu harus dilakukan dengan sengaja, misalnya:
-          Seorang ibu membiarkan anaknya yang masih dibawah umur tanpa orang lain berduaan dengan seorang laki-laki dalam sebuah kamar.
RUU KUHP pada pasal 397 (1421) mengambil alih Pasal 295 KUHP dengan perubahan ancaman pidana yakni menjadi dua belas tahun penjara. Penjelasan Pasal RUU KUHP tersebut berbunyi sebagai berikut :
“Pasal ini hampir sama dengan Pasal 295 KUHP lama.
Tindak pidana ini terdiri atas menghubungkan atau memudahkan orang lain melakukan perbuatan cabul atau persetubuhan dengan orang-orang tertentu yang tersebut dalam pasal ini dalam ke-2 orang lain yang disebut dalam ke-1 dirumuskan secara umum yaitu mereka yang diketahuinya atau patut harus menduganya belum dewasa. Menurut ayat kedua dari pasal ini tindak pidana tersebut ancamannya diperberat secara khusus jika dilakukan sebagai pekerjaan atau kebiasaan.”
g.      Mata pencaharian  mengadakan / memudahkan perbuatan cabul
Hal ini diatur pasal 296 KUHP yang bunyinya sebagai berikut.
“barang siapa yang pekerjaanya atau kebiasaanya dengan sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya seribu rupiah.”
      Kata “pekerjaanya” juga pada teks lain dipakai “pencahariannya”. Dimaksudkan bahwa yang bersangkutan menerima bayaran. Kata “sengaja” ditunjukan pada mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul. Kata “kebiasaan” berarti telah berulang-ulang dan hal ini harus dibuktikan.
      Dahulu, Hoge Raad (6 oktober 1942) menafsirkan bahwa menyewakan kamar untuk memberi  kesempatan melakukan perbuatan cabul dengan orang lain. Telah termasuk pengertian memudahkan. Pendapat demikian itu, pada saat ini sulit diterima. Karena dengan perkembangan dan kemajuan dunia, dunia bisnis telah pula berkembang dengan pesat. Sehingga persaingan semakin ketat dan upaya menngkatkan pelayanan juga tidak terlepas dari persaingan. Usaha / bisnis hotel, motel maupun penginapan. Sudah enggan menanyakan identitas tamunya. Telah dirasa cukup bila tamu tersebut mengisi formulir atau mengisi buku tamu, tetapi bagi motel hal yang demikian telah jarang diperlakukan, cukup kalau tamu tersebut telah membayar, selanjutnya yang menyewa kamar tersebut apa dia sendiri atau dengan orang lain menemaninya, tidak menjadi persoalan baginya. Pada umumnya bisnis motel dimana-mana memang demikian. Bahkan penyewa telah dapat langsung dengan kendaraannya kegarasi sehingga siapa yang berada dalam mobil, tidak ada yang mengetahui. Seadangkan pembayaran langsung ditagih pegawai motel tersebut.
      Selain dari hal yang diutarakan diatas, tampaknya pasal ini tidak dapat diterapkan pada lokalisasi wanita tuna susila (wts). Bahwa tampaknya masyarakat telah dapat menerima adanya tempat lokalisasi WTS dari pada tersebar dimana-mana.
      Berdasarkan kenyataan tersebut, maka pasal 296 KUHP tidak dapat diperlakukan terhadap areal lokalisasi WTS.
                        RUU KUHP masih mempertahankan pasal 296 KUHP yang diambil alih pada pasal 398 (14.22) bahkan meningkatkan sangsi pidana menjadi “dua belas tahun penjara”. Hal ini jelas di muat pada penjelasan resmi pasal 398 (14,22) yang bunyinya sebagai berikut:
“pasal ini hamper sama dengan pasal 296 KUHP lama.
Pasal ini diadakan untuk memberantas bordil-bordil atau tempat-tempat pelacuran yang banyak terdapat di kota-kota di Indonesia. Disini dijadikan pula sebagai unsur-unsur “menjadikan sebagai pekerjaan atau kebiasaan”, dengan pekerjaan dimaksudkan bilamana dalam usaha itu dilakukan pembayaran-pembayaran, sedangkan dalam pengertian kebiasaan termasuk bahwa orang tersebut melakukannya lebih dari satu kali. Ancaman pidana penjara minimum adalah untuk menunjukan sifat berat tindak pidananya.”
      Persepsi tentang “kebiasaan” pada penjelasan tersebut, tidak tepat. Lebih dari satu kali, dapat menjadi dua kali sedang jika dua kali saja umumnya belum dapat disebut berulang-ulang. Dua kali baru dapat dikatakan berulang.