Rabu, 31 Oktober 2012

Korban (Victim)


        a. Pengertian Korban (Victim)
Menurut kamus Crime Dictionary yang dikutip seorang ahli (Abdussalam, 2010:5) bahwa Victim adalah “orang yang telah mendapat penderitaan fisik atau penderitaan mental, kerugian harta benda atau mengakibatkan mati atas perbuatan atau usaha pelanggaran ringan dilakukan oleh pelaku tindak pidana dan lainnya”. Disini jelas yang dimaksud “orang yang mendapat penderitaan fisik dan seterusnya” itu adalah korban dari pelanggaran atau tindak pidana.
Selaras dengan pendapat diatas adalah (Arif Gosita, 1989:75) menyatakan yang dimaksud dengan korban adalah:
“mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita”. Ini menggunakan istilah penderitaan jasmaniah dan rohaniah (fisik dan mental) dari korban dan juga bertentangan dengan hak asasi manusia dari korban.
Selanjutnya secara yuridis pengertian korban termaktub dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban, yang dinyatakan bahwa korban adalah “seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”. Melihat rumusan tersebut yang disebut korban adalah:
1.      Setiap orang,
2.      Mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau
3.      Kerugian ekonomi,
4.      Akibat tindak pidana.
Ternyata pengertian korban disesuaikan dengan masalah yang diatur dalam beberapa perundang-undangan tersebut. Jadi tidak ada satu pengertian yang baku, namun hakikatnya adalah sama, yaitu sebagai korban tindak pidana. Tentunya tergantung sebagai korban tindak pidana apa, misalnya kekerasan dalam rumah tangga, pelanggaran HAM yang berat dan sebagainya. Untuk pengertian umum dari korban seperti tertuang dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006.
           Menurut Peraturan Pemerintah nomor 2 Tahun 2002 tentang tata cara perlindungan terhadap korban dan saksi-saksi dalam pelanggaran HAM yang berat, korban adalah:
“orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, terror, dan kekerasan pihak mana pun”.

           Sedangkan yang disebut korban menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah:
“orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga”.

Kemudian menurut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang dimaksud dengan korban adalah:
orang perseorangan atau kelompok orang  yang mengalami penderitaan, baik fisik, mental maupun emosional, kerugian ekonomi atau mengalami pengabaian, pengurangan atau perampasan hak-hak dasarnya sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat  termasuk korban atau ahli warisnya”.
Secara etiologis korban adalah merupakan orang yang mengalami kerugian baik kerugian fisik, mental maupun kerugian finansial yang merupakan akibat dari suatu tindak pidana (sebagai akibat) atau merupakan sebagai salah satu faktor timbulnya tindak pidana (sebagai sebab). Korban diartikan sebagai seseorang yang telah menderita kerugian sebagai akibat tindak pidana dan rasa keadilannya secara langsung terganggu sebagai akibat pengalamannya sebagai target / sasaran tindak pidana. Konsepsi korban Tindak Pidana terumuskan juga dalam Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power, yaitu :
1. Korban tindak pidana (Victim of Crime) meliputi
a. Korban Langsung (Direct Victims)
              Yaitu korban yang langsung mengalami dan merasakan penderitaan dengan adanya tindak pidana dengan karakteristik sebagai berikut :
1)      Korban adalah orang baik secara individu atau secara kolektif.
2)      Menderita kerugian meliputi : luka fisik, luka mental, penderitaan emosional, kehilangan pendapatan dan penindasan hak-hak dasar manusia.
3)      Disebabkan adanya perbuatan atau kelalaian yang terumuskan dalam hukum pidana.
4)       Atau disebabkan oleh adanya penyalahgunaan kekuasaan.
b. Korban Tidak Langsung (Indirect Victims)
              Yaitu timbulnya korban akibat dari turut campurnya seseorang dalam membantu korban langsung (direct victims) atau turut melakukan pencegahan timbulnya korban, tetapi dia sendiri menjadi korban tindak pidana, atau mereka menggantungkan hidupnya kepada korban langsung seperti isteri / suami, anak-anak dan keluarga terdekat.
2. Victims of abuse of power
Korban adalah orang yang secara individual atau kolektif menderita kerugian, termasuk luka fisik atau mental, penderitaan emosional, kehilangan ekonomi atau pelanggaran terhadap pokokpokok hak dasar mereka, melalui perbuatan-perbuatan atau kelalaian yang belum merupakan pelanggaran undang-undang pidana Nasional tetapi norma-norma diakui secara internasional yang berhubungan dengan hak-hak asasi manusia (Bambang Djoyo Supeno, SH, Mhum, 1997 : 14)
Menurut Arif Gosita (2004 : 222) yang dimaksud dengan korban adalah:
“Mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang berhubungan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita”.
Pengertian dan ruang lingkup korban menurut Resolosi Majelis Umum PBB No. 40/34 Tahun 1985 adalah orang-orang, baik secara individual maupun kolektif, yang menderita kerugian akibat perbuatan atau tidak berbuat yang menlanggar hukum pidana yang berlaku disuatu negara, termasuk peraturan yang melarang penyalahgunaan kekuasaan. Dalam bagian lain terutama mengenai pengertian “Victims of Power” bahwa orang-orang yang menjadi korban dari perbuatan-perbuatan atau tidak berbuat yang walaupun belum merupakan pelanggaran Menurut norma HAM yang diakui secara internasional juga termasuk dalam pengertian “Korban”
b. Ciri-Ciri Korban (Victim)
Dilihat dari peranan korban dalam terjadinya tindak pidana, Stephen Schafer mengatakan pada prinsipnya terdapat 4 (empat) tipe / ciri-ciri korban:
1.      Orang yang tidak mempunyai kesalahan apa-apa, tetapi tetap menjadi korban. Untuk tipe ini, kesalahan ada pada pelaku
2.      Korban secara sadar atau tidak sadar telah melakukan sesuatu yang merangsang orang lain untuk melakukan kejahatan. Untuk tipe ini, korban dinyatakan turut mempunyai andil dalam terjadinya kejahatan sehingga kesalahan terletak pada pelaku dan korban.
3.      Mereka yang secara biologis dan sosial potensial menjadi korban. Anak-anak, orang tua, orang yang cacat fisik atau mental, orang miskin, golongan minotitas dan sebagainya merupakan orang-orang yang mudah menjadi korban. korban dalam hal ini tidak dapat disalahkan tetapi masyarakatlah yang harus bertanggung jawab.
4.      Korban karena ia sendiri merupakan pelaku. inilah yang dikatakan sebagai kejahatan tanpa korban. Pelacuran, perjudian, zina, merupakan beberapa kejahatan yang tergolong kejahatan tanpa korban. pihak yang bersalah adalah korban karena ia juga sebagai pelaku.
c. Lingkup Korban ( Victim )
            Berbicara mengenai korban kejahatan pada awalnya tentu korban orang per seorangan atau individu. Pandangan begini tidak salah, karena untuk kejahatan yang lazim terjadi dimasyarakat memang demikian. Misalnya pembunuhan, penganiyayaan, perkosaan, pencurian dan sebagainya.
            Pada tahap perkembangannya, korban kejahatan bukan saja orang perorangan, tetapi meluas dan kompleks. Persepsinya tidah hanya banyaknya jumlah korban (orang), namun juga korporasi, institusi, pemerintah, bangsa dan Negara. Hal ini juga dinyatakan (Arif Gosita, 1989: 75-76) bahwa korban dapat berarti “ individu atau kelompok baik swasta maupun pemerintah”.
            Lebih luas dijabarkan (Abdussalam, 2010: 6-7) mengenai korban perseorangan, institusi, lingkungan hidup, masyarakat, bangsa, dan Negara sebagai berikut:
1.      Korban perseorangan adalah setiap orang sebagai individu mendapat penderitaan baik jiwa, fisik, materil, maupun nonmaterial.
2.      Korban institusi adalah setiap institusi mengalami penderitaan kerugian dalam menjalankan fungsinya yang menimbulkan kerugian berkepanjangan akibat dari keijakan pemerintah, kebijakan swasta, maupun bencana alam.
3.      Korban lingkungan hidup adalah  setiap  lingkungan alam yang didalamnya berisikan kehidupan tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia dan masyarakat serta semua jasad hidup yang tumbuh berkembang dan kelestariannya sangat tergantung pada lingkungan alam tersebut yang telah mengalami gundul, longsor, banjir, dan kebakaran yang ditimbulkan oleh kebijakan pemerintah yang salah dan perbuatan manusia baik individu maupun masyarakat yang tidak bertanggung jawab.
4.      Korban masyarakat, bangsa, dan Negara adalah masyarakat yang diberlakukan secara diskriminatif tidak adil, tumpang tindih pembagian hasil pembangunan serta hak sipil, hak politik, hak ekonomi, hak sosial, hak budaya tidak lebih baik setiap tahun.
Selain yang disebut itu, kiranya untuk korban institusi, masyarakat, bangsa, dan Negara dikaitkan maraknya kejahatan baik kualits maupun kuantitas dapat ditambahkan, antara lain sebagai berikut:
1.       Dalam perkara korupsi dapat menjadi korban tindak pidana korupsi berupa kerugian keuangan Negara dan perekonomian Negara, kualitas kehidupan, ruaknya insfrasturktur dan sebagainya.
2.       Dalam tindak pidana terorisme, dapat mengalami korban jiwa masyarakat, keresahan masyarakat, kerusakan infrastuktur, terusiknya ketenangan, kerugian materiil, dan imateriil lainnya.
3.       Dalam tindak pidana narkotika, dapat menjadi korban rusaknya generasi muda, menurunya kualitas hidup masyarakat, dan sebagainya.
4.       Dalam tindak pidana perusakan lingkungan hidup, pembabatan hutan dan illegal logging, dapat menyebabkan rusaknya, lingkungan, tanah tandus, banjir bandang, serta merusak infrastuktur dan penderitaan  rakyat yang berkepanjangan.
Diluar uraian diatas, masih banyak kerugian yang diderita masyarakat, bangsa dan Negara akibat tindak pidana. Misalnya kerugian pendapatan Negara jika terjadi tindak pdana penyelundupan, kepabenan, perpajakan, pencucian uang, dan tindak pidana perekonomian lainnya. Pada prinsipnya bila terjadi tindak pidana apalagi semakin meningkat sangat merugikan masyarakat, bangsa, dan Negara. Kerugian-kerugian dapat membawa dampak negatif di bidang politik, ekonomi, social, budaya, hukum, rendahnya moralitas, dan kerugian-kerugian dibidang lainnya.
Perlu ditambahkan bahwa korban perseorangan bukan hanya seperti tersebut diatas. Adakala korban juga sebagai pelaku, misalnya pengguna narkotika, anak nakal dan sebagainya. Lebih lanjut dinyatakan seorang ahli (Romli  Atmasasmita, 1992: 7) bahwa “untuk perbuatan pelanggaran hukum tertentu, mungkin terjadi apa yang sering dikenal dalam kepustakaan kriminologi, sebagai victimless crime (Schur, 1965) atau kejahatan “tanpa korban”. Bahkan korban dan pelaku adalah tunggal atau satu, bahwa pengertian bahwa pelaku adalah korban dan korban adalah pelaku juga. Sebagai contoh pelacuran, perjudian, tindak pidana narkotika sebagai pemakai atau drug-users. Jenis pelanggaran hukum tidak dapat membedakan secara tegas antara siapa korban dan siapa pelaku.
d. Hubungan Korban Dengan Kejahatan
Pada umumnya dikatakan hubungan korban dengan kejahatan adalah pihak yang menjadi korban sebagai akibat kejahatan.tentu ada asap pasti ada api. Pihak tersebut menjadi korban karena ada pihak lain yang melakukan kejahatan. Memang demikianlah pendapat yang kuat selama ini yang didukung dengan fakta yang ada, meskipun dalam praktik ada dinamika yang berkembang.
Hal lain yang disepakati dalam hubungan ini, terpenting pihak korban adalah pihak yang dirugikan. Pelaku merupakan pihak yang mengambil untung atau merugikan korban. Kerugian yang sering diterima atau diderita korban (lihat pengertian-pengertian korban) misalnya fisik, mental, ekonomi, harga diri dan sebagainya. Ini berkaitan dengan status, kedudukan, posisi , tipologi korban dan sebagainya.
Uraian tersebut menegaskan yang bersangkutan sebagai korban “murni” dari kejahatan. Artinya korban memang korban yang sebenar-benarnya/senyatanya. Korban tidak bersalah hanya semata-mata hanya sebagai korban. Mengapa menjadi korban, kemungkinan penyebabnya; kealpaan, ketidak tauan, kurang hati-hati, kelemahan korban atau mungkin  kesialan korban. Dapat juga terjadi akibat kelalaian Negara untuk melindungi warganya. Perkembangan global, factor ekonomi, politik, sosiologis, ataupun factor-faktor negatif lain, memungkinkan adanya korban yang tidak “murni”. Disini korban tersangkut atau menjadi bagian dari pelaku kejahatan, bahkan sekaligus menjadi pelakunya. Lebih mendalam tentang masalah ini, Hentig seperti dikutip (Rena Yulia,2012: 81) beranggapan bahwa peranan korban dalam menimbulkan kejahatan adalah:
a.       tindakan kejahatan memang dikehendaki oleh si korban untuk terjadi;
b.      kerugian akibat tindak kejahatan mungkin dijadikan si korban untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar;
c.       akibat yang merugikan si korban mungkin merupakan kerja sama antara si pelaku dengan si korban;
d.      kerugian akibat tindak kejahatan sebenarnya tidak terjadi bila tidak ada provokasi si korban.
Selanjutnya hubungan korban dengan pelaku dapat dilihat dari tingkat kesalahannya. Menurut Mendelsohn (ibid.:80), berdasarkan derajat kesalahannya korban dibedakan menjadi 5 (lima) macam, yaitu:
a.       yang sama sekali tidak bersalah
b.      yang jadi korban karena kelalaian
c.       yang sama salahnya dengan pelaku
d.      yang lebih bersalah dari pelaku
e.       yang korban adalah satu-satunya yang bersalah (dalam hal ini pelaku dibebaskan)
Sebenarnya banyak hubungan korban dengan pelaku, diantaranya juga dapat dikaji melalui hubungan darah, persaudaraan, family, ataupun kekeluargaan. Misalnya pencurian dalam keluarga, pelecehan seksual dan bahkan penganiyayaan atau pembunuhan untuk memperebutkan harta waris serta kekuasaan/dalam pengaruh keluarga. Sejenis hubungan ini atu hubungan orang-orang dekat pelaku ataupun korban seperti teman, sahabat, pacar, rekan bisnis dan sebagainya. Ada lagi hubungan berdasarkan hubungan sengan sasaran tindakan pelaku (G.Widiartana, 2009:22), yaitu sebagai berikut:
a.       korban langsung, yaitu mereka yang secara langsung menjadi sasaran atu objek perbuatan pelaku.
b.      Korban tidak langsung, yaitu mereka yang meskipun tidak secara langsung menjadi sasaran perbuatan pelaku, tetapi juga mengalami penderitaan atau nestapa. Pada kasus pembunhan terhadap seorang laki-laki yang mempunyai tanggung jawab menghidupi istri dan anak-anaknya, meninggalnya laki-laki tersebut merupakan korban langsung. Sedangkan istri dan anaknya itu merupakan korban tidak langsung.
Fakta menunjukan bahwa sebagian besar korban merupakan korban yang murni atau senyatanya. Korban-korban dimaksud terjadi dalam tindak pidana misalnya terorisme, pencurian (bisa pemberatan dan kekerasan), dan tindak pidana lain yang sering terjadi dimasyarakat. Koban disini dalam posisi pasif, tidak menjadi faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana. Pihak pelaku yang mengendaki penuh kejahatannya dan korban korban yang menjadi sasaran atau tujuan kejahatan tersebut. Menurut Medelsohn, derajat kesalahan korban adalah “yang sama sekali tidak bersalah”.
Memang banyak juga korban ikut andil dalam terjadinya kejahatan. Derajat kecilnya peran korban, misalnya korban lalai, sehingga munc ul atau terjadi tindak pidana. Dapat terjadi pula dalam hal korban menarik perhatian pelaku, misalnya korban menyukai memperlihatkan kekayaannya, overacting, atau perilaku lain yang  dapat menggugah pelaku melakukan tindak pidana. Dapat terjadi pula bila korban seorang perempuan sering berpakaian atau berprilaku seksi dan merangsang atau tidak sopan. Bukan saja ikut andil, sering terjadi korban “sama salahnya dengan pelaku”. Disini korban berpura-pura menjadi korban, padahal ia pelaku. Misalnya pelaku bom bunuh diri, seorang penjaga barang atau uang yang melaporkan terjadi kejahatan padahal yang bersangkutan turut serta dalam kejahatan itu dan sebaginya.
Kehidupan banyak dinamika antara korban dan kejahatan, akibat dorongan ekonomi, politis dan psikis. Idealnya selalu berkurang jumlah korban dan pelaku. Jika terjadi semakin bertambah korban, maka yang terpenting adalah pemberian hak dan perlindungan terhadap korban semaksimal mungkin. Demikian pula bila pelaku bertambah, hendaklah diperlakukan sesuai hak-haknya. Selanjutnya bila menjadi terpidana atau narapidana hendaknya diterapkan system pemasyarakatan. Juga tidak kalah pentingnya bagi pelaku untuk dapat memmberi ganti kerugian atau restitusi kepada  korban.
Diluar itu, ada kondisi diantar korban dan pelaku. Dalam hal ini “hubungan korban dan pelaku merupakan dwi tunggal”(Romli Atmasasmita, 1992:7). Lebih lanjut dnyatakan bahwa “korban dan pelaku adalah tunggal atau satu, dalam pengertian bahwa pelaku adalah korban dan korban pemakai atau drug users. Jenis pelanggaran hukum tersebut tidak dapat membedakan secara tegas antara siapa korban dan siapa pelaku”. 

1 komentar:

  1. tolong list referensi yang digunakan dicantumkan kak sebagai daftar pustaka

    BalasHapus