TINJAUAN
VIKTIMOLOGI TERHADAP PERAN KORBAN DALAM TERJADINYA TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN
(
STUDI KASUS DI UNIT
PPA POLRES POHUWATO)
SKRIPSI
OLEH
:
CATUR
BAYU AJI
NIM : H.11.09.124
Untuk
Memenihi Salah Satu Syarat Ujian
Guna
Memperoleh Gelar Sarjana
Pada
Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gororntalo
PROGRAM SARJANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ICHSAN GORONTALO
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masalah
Dalam usaha mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan
masyarakat, tanggung jawab pemerintah Republik Indonesia tidaklah semudah yang
kita duga. Banyaknya gangguan yang melanda kehidupan masyarakat.
Berbagai ragam kejahatan yang dapat terjadi dan
ditemui di masyarakat pada setiap saat maupun pada semua tempat. Para pelaku
kejahatan selalu berusaha memanfaatkan waktu yang luang dan tempat yang
memungkinkan untuk menjalankan aksinya. Tujuan yang ingin mereka capai hanya
satu yaitu memperoleh benda atau uang yang diinginkan dengan kejahatannya.
Suatu kejahatan atau tindak pidana, umumnya
dilakukan pelaku kejahatan karena didorong atau dimotivasi oleh dorongan
pemenuhan kebutuhan hidup yang relative sulit dipenuhi. Kemajuan ilmu
pengetahuan dan tehnologi yang tinggi memberi peluang tindak kejahatan makin
tinggi volumenya dan meningkat kualitasnya termasuk pelanggaran pidana yang
makin bervariasi. Untuk menanggulangi kejahatan dan tindak pidana demikian itu
dibutuhkan kebijakan penindakan dan antisipasi yang menyeluruh.
Tindak pidana dan kejahatan yang semakin pelik dan
rumit dengan dampak yang luas, dewasa ini menuntut penegak hukum oleh aparat
yang berwenang menerapkan sanksi hukum dan kebijakan penegakan yang tepat guna,
sesuai hukum yang berlaku yang dampaknya diharapkan dapat mengurangi sampai
batas minimum tindak pidana dan pelanggaran hukum.
Penegakan
hukum terhadap ketentuan undang-undang hukum pidana tujuannya untuk mendukung
kesejahteraan masyarakat dengan menekan semaksimal mungkin adanya pelanggaran
hukum dan tindak pidana yang merugikan masyarakat, baik moril maupun materiil
bahkan jiwa seseorang.
Para pelaku kejahatan dapat melakukan aksinya dengan
berbagai upaya dan dengan berbagai cara. Keadaan seperti itu menyebabkan kita
sering mendengar “modus operandi” (model pelaksanaan kejahatan) yang berbeda
-beda antara kejahatan satu dengan lainnya. Dengan kemajuan teknologi dewasa
ini, modus operandi para penjahat juga mengarah kepada kemajuan ilmu dan teknologi.
Faktor-faktor yang melatarbelakangi kejahatan,
menurut Mulyana W. Kusumah pada dasarnya dapat dikelompokkan kedalam 4 (empat)
golongan faktor, yaitu:
1. Faktor
dasar atau faktor sosio-struktural, yamg secara umum mencakup aspek budaya
serta aspek pola hubungan penting didalam masyarakat.
2. Faktor interaksi sosial, yang meliputi segenap
aspek dinamik dan prosesual didalam masyarakat, yang mempunyai cara berfikir,
bersikap dan bertindak individu dalam hubungan dengan kejahatan.
3. Faktor
pencetus (precipitating factors), yang menyangkut aspek individu serta
situasional yang berkaitan langsung dengan dilakukannya kejahatan.
4. Faktor
reaksi sosial yang dalam ruang lingkupnya mencangkup keseluruhan respons dalam
bentuk sikap, tindakan dan kebijaksanaan yang dilakukan secara melembaga oleh
unsur -unsur sistem peradilan pidana khususnya dan variasi respons, yang secara
“informal” diperlihatkan oleh warga masyarakat.
Berbagai kejahatan yang ada di masyarakat memang
dapat dikategorikan sebagai tindak pidana khusus dan kejahatan umum. Walaupun
dalam prakteknya, tidak jarang pula terjadi tumpang tindih pada
ketentuan-ketentuan yang mengaturnya.
Seperti dapat kita lihat pada kejahatan korupsi,
kejahatan ekonomi, dan kejahatan subversi. Di mana ketiganya sebenarnya juga
mengacaukan perekonomian Negara. Dalam kejahatan korupsi memang ditegaskan
unsur “ mengacaukan perekonomian dan keuangan Negara”, demikian pula pada
tindak pidana ekonomi. Sementara itu, pada tindak pidana subversi terdapat
unsure perbuatan yang “menghambat industri dan distribusi” yang dilakukan oleh
Negara.
Selanjutnya pada tindak pidana umum, juga kita
dapatkan beraneka ragam atau macamnya, di mana salah satunya adalah tindak
pidana pemerkosaan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ( KBBI v 1,3 ) “Perkosa berarti
menundukkan dengan kekerasan; memaksa dengan
kekerasan; menggagahi, sedang pemerkosaan adalah proses, perbuatan, cara
memerkosa”.
Tindak pidana pemerkosaan yang ada dalam KUHP (Kitab
Undang-undang Hukum Pidana) diatur dalam Pasal 285 yang berbunyi “Barang siapa
dengan kekersan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan
dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan pemerkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas
tahun”.
Didalam penulisan ini, fokus masalah akan diarahkan
kepada pemerkosaan yang diatur dalam Pasal
285 KUHP.
Di kabupaten pohuwato pada tahun 2012 ini sudah ada 4
(empat) kasus pemerkosaan yang masuk di Polres Pohuwato. Dan dari ketiga kasus
tersebut satu diantaranya sudah sampai pada proses peradilan (Sumber: Satuan
Resosrt Kriminal polres Pohuwato).
Di samping pelaku (ke jahatan pemerkosaan) pokok
masalah utama yang akan dibicarakan adalah peranan korbannya. Menurut Arief
Gosita, dalam menghadapi suatu kejahatan, kita tidak hanya menyalahkan atau
memperhatikan pelakunya saja, akan tetapi juga harus memperhatikan dan
menyalahkan korbannya. Walaupun secara eksplisit tidak dinampakkan dengan
jelas.
Dalam tindak pidana “perampokan” (istilah umum
pencurian dengan kekerasan sesuai dengan ketentuan Pasal 365 KUHP) misalnya:,
dimungkinkan korbannya lebih suka menyimpan uang atau perhiasan dalam jumlah
besar, tempat tinggalnya yang terpencil dalam arti jarang dikunjungi atau
diperhatikan orang yang lewat atau ada di sekitarnya.
Tidak menutup kemungkinan apabila terjadi Tindak
pidana pemerkosaan kemungkinan hobby korban yang suka berpakaian “merangsang
(minim)”, suka keluar malam atau berada di tempat sepi, dan sebagainya. Hal ini
tentunya dapat memancing para lelaki yang tidak bertanggung jawab untuk
melakukan tindakan-tindakan yang tidak senonoh bahkan melakukan tindak pidana pemerkosaan
terhadap korban. Semua keadaan di atas,menyebabkan penulis ingin mengetahui
peranan korban, terutama korban tindak pidana pemerkosaan. Oleh karena itu
penulis menyusun skripsi ini yang berjudul “TINJAUAN VIKTIMOLOGI TERHADAP PERAN KORBAN
DALAM TERJADINYA TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN (Studi Kasus Di Unit PPA Polres
Pohuwato)”.
1.2
Rumusan Masalah
Masih berpegang pada latar belakang permasalahan di
atas, maka rumusan masalah yang penulis ajukan, adalah :
1. Sejauhmana
peran korban dalam terjadinya tindak pidana pemerkosaan yang terjadi di Pohuwato?
2. Bagaimana
upaya-upaya penanggulangan yang dilakukan Kepolisian Resort Pohuwato untuk
mencegah peningkatan tindak pidana pemerkosaan?
1.3
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian yang ingin penulis peroleh
dengan penelitian ini adalah :
1.
Untuk mengetahui sejauh
mana korban dapat dianggap berperan didalam menunjang keberhasilan pelaku
kejahatan dimaksud dalam melakukan tindakannya.
2. Ingin
diketahui pula upaya -upaya yang selama ini dilakukan oleh penegak hukum,
masyarakat maupun pelaku kejahatan itu sendiri, di dalam mengurangi atau
menentukan kuantitas kejahatan di maksud.
1.4
Manfaat Penelitian
1.
Manfaat Teoritis
a. Memberikan
sumbangan pemikiran di bidang hukum pada umumnya dan dalam bidang hukum pidana
pada khususnya.
b. Memberikan
suatu gambaran yang lebih nyata mengenai masalah-masalah yang ada dalam tindak
pidana pemerkosaan sebagai bahan pengetahuan tambahan untuk dapat dibaca dan
dipelajari lebih lanjut, khususnya bagi mahasiswa fakultas hukum.
2.
Manfaat Praktis
Sebagai bahan masukan bagi aparat penegak hukum
dalam menangani kasus-kasus pemerkosaan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Tinjauan Umum Tentang Korban (Victim)
2.1.1
Pengertian Korban
Menurut
kamus Crime Dictionary yang dikutip seorang ahli (Abdussalam, 2010:5) bahwa
Victim adalah “orang yang telah mendapat penderitaan fisik atau penderitaan
mental, kerugian harta benda atau mengakibatkan mati atas perbuatan atau usaha
pelanggaran ringan dilakukan oleh pelaku tindak pidana dan lainnya”. Disini
jelas yang dimaksud “orang yang mendapat penderitaan fisik dan seterusnya” itu
adalah korban dari pelanggaran atau tindak pidana.
Selaras
dengan pendapat diatas adalah (Arif Gosita, 1989:75) menyatakan yang dimaksud
dengan korban adalah:
“mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat
tindakan orang lain yang mencari pemenuhan diri sendiri atau orang lain yang
bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita”. Ini menggunakan
istilah penderitaan jasmaniah dan rohaniah (fisik dan mental) dari korban dan
juga bertentangan dengan hak asasi manusia dari korban.
Selanjutnya
secara yuridis pengertian korban termaktub dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun
2006 tentang perlindungan saksi dan korban, yang dinyatakan bahwa korban adalah
“seseorang yang mengalami penderitaan
fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak
pidana”. Melihat rumusan tersebut yang disebut korban adalah:
1. Setiap orang,
2. Mengalami penderitaan fisik, mental,
dan/atau
3. Kerugian ekonomi,
4. Akibat tindak pidana.
Ternyata pengertian korban
disesuaikan dengan masalah yang diatur dalam beberapa perundang-undangan
tersebut. Jadi tidak ada satu pengertian yang baku, namun hakikatnya adalah
sama, yaitu sebagai korban tindak pidana. Tentunya tergantung sebagai korban
tindak pidana apa, misalnya kekerasan dalam rumah tangga, pelanggaran HAM yang
berat dan sebagainya. Untuk pengertian umum dari korban seperti tertuang dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006.
Menurut
Peraturan Pemerintah nomor 2 Tahun 2002 tentang tata cara perlindungan terhadap
korban dan saksi-saksi dalam pelanggaran HAM yang berat, korban adalah:
“orang perseorangan atau kelompok
orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia
yang berat yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman,
gangguan, terror, dan kekerasan pihak mana pun”.
Sedangkan yang
disebut korban menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah:
“orang yang mengalami kekerasan
dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga”.
Kemudian menurut Undang-Undang Nomor
27 Tahun 2004 tentang komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang dimaksud dengan
korban adalah:
“orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan, baik fisik,
mental maupun emosional, kerugian ekonomi atau mengalami pengabaian,
pengurangan atau perampasan hak-hak dasarnya sebagai akibat pelanggaran hak
asasi manusia yang berat termasuk korban
atau ahli warisnya”.
Secara
etiologis korban adalah merupakan orang yang mengalami kerugian baik kerugian
fisik, mental maupun kerugian finansial yang merupakan akibat dari suatu tindak
pidana (sebagai akibat) atau merupakan sebagai salah satu faktor timbulnya
tindak pidana (sebagai sebab). Korban diartikan sebagai seseorang yang telah
menderita kerugian sebagai akibat tindak pidana dan rasa keadilannya secara
langsung terganggu sebagai akibat pengalamannya sebagai target / sasaran tindak
pidana. Konsepsi korban Tindak Pidana terumuskan juga dalam Declaration of Basic Principles of Justice
for Victims of Crime and Abuse of Power, yaitu :
1. Korban
tindak pidana (Victim of Crime)
meliputi
a. Korban
Langsung (Direct Victims)
Yaitu korban yang
langsung mengalami dan merasakan penderitaan dengan adanya tindak pidana dengan
karakteristik sebagai berikut :
1) Korban adalah orang baik secara
individu atau secara kolektif.
2) Menderita kerugian meliputi : luka
fisik, luka mental, penderitaan emosional, kehilangan pendapatan dan penindasan
hak-hak dasar manusia.
3) Disebabkan adanya perbuatan atau
kelalaian yang terumuskan dalam hukum pidana.
4) Atau disebabkan oleh adanya penyalahgunaan
kekuasaan.
b. Korban
Tidak Langsung (Indirect Victims)
Yaitu timbulnya korban akibat dari
turut campurnya seseorang dalam membantu korban langsung (direct victims) atau turut melakukan pencegahan timbulnya korban,
tetapi dia sendiri menjadi korban tindak pidana, atau mereka menggantungkan
hidupnya kepada korban langsung seperti isteri / suami, anak-anak dan keluarga
terdekat.
2. Victims of abuse of power
Korban
adalah orang yang secara individual atau kolektif menderita kerugian, termasuk
luka fisik atau mental, penderitaan emosional, kehilangan ekonomi atau
pelanggaran terhadap pokokpokok hak dasar mereka, melalui perbuatan-perbuatan
atau kelalaian yang belum merupakan pelanggaran undang-undang pidana Nasional
tetapi norma-norma diakui secara internasional yang berhubungan dengan hak-hak
asasi manusia (Bambang Djoyo Supeno, SH, Mhum, 1997 : 14)
Menurut
Arif Gosita (2004 : 222) yang dimaksud dengan korban adalah:
“Mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat
tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang
lain yang berhubungan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita”.
Pengertian
dan ruang lingkup korban menurut Resolosi Majelis Umum PBB No. 40/34 Tahun 1985
adalah orang-orang, baik secara individual maupun kolektif, yang menderita
kerugian akibat perbuatan atau tidak berbuat yang menlanggar hukum pidana yang
berlaku disuatu negara, termasuk peraturan yang melarang penyalahgunaan
kekuasaan. Dalam bagian lain terutama mengenai pengertian “Victims of Power” bahwa orang-orang yang menjadi korban dari
perbuatan-perbuatan atau tidak berbuat yang walaupun belum merupakan
pelanggaran Menurut norma HAM yang diakui secara internasional juga termasuk
dalam pengertian “Korban”
2.1.2 Ciri-Ciri Korban (Victim)
Dilihat
dari peranan korban dalam terjadinya tindak pidana, Stephen Schafer mengatakan
pada prinsipnya terdapat 4 (empat) tipe / ciri-ciri korban:
1.
Orang yang tidak mempunyai kesalahan apa-apa, tetapi tetap
menjadi korban. Untuk tipe ini, kesalahan ada pada pelaku
2.
Korban secara sadar atau tidak sadar telah melakukan sesuatu
yang merangsang orang lain untuk melakukan kejahatan. Untuk tipe ini, korban
dinyatakan turut mempunyai andil dalam terjadinya kejahatan sehingga kesalahan
terletak pada pelaku dan korban.
3.
Mereka yang secara biologis dan sosial potensial menjadi
korban. Anak-anak, orang tua, orang yang cacat fisik atau mental, orang miskin,
golongan minotitas dan sebagainya merupakan orang-orang yang mudah menjadi
korban. korban dalam hal ini tidak dapat disalahkan tetapi masyarakatlah yang
harus bertanggung jawab.
4.
Korban karena ia sendiri merupakan pelaku. inilah yang
dikatakan sebagai kejahatan tanpa korban. Pelacuran, perjudian, zina, merupakan
beberapa kejahatan yang tergolong kejahatan tanpa korban. pihak yang bersalah
adalah korban karena ia juga sebagai pelaku.
2.1.3 Lingkup Korban ( Victim
)
Berbicara mengenai korban kejahatan
pada awalnya tentu korban orang per seorangan atau individu. Pandangan begini
tidak salah, karena untuk kejahatan yang lazim terjadi dimasyarakat memang
demikian. Misalnya pembunuhan, penganiyayaan, pemerkosaan, pencurian dan
sebagainya.
Pada tahap perkembangannya, korban
kejahatan bukan saja orang perorangan, tetapi meluas dan kompleks. Persepsinya
tidah hanya banyaknya jumlah korban (orang), namun juga korporasi, institusi,
pemerintah, bangsa dan Negara. Hal ini juga dinyatakan (Arif Gosita, 1989:
75-76) bahwa korban dapat berarti “ individu atau kelompok baik swasta maupun
pemerintah”.
Lebih luas dijabarkan (Abdussalam, 2010:
6-7) mengenai korban perseorangan, institusi, lingkungan hidup, masyarakat,
bangsa, dan Negara sebagai berikut:
1.
Korban perseorangan adalah setiap orang sebagai individu
mendapat penderitaan baik jiwa, fisik, materil, maupun nonmaterial.
2.
Korban institusi adalah setiap institusi mengalami
penderitaan kerugian dalam menjalankan fungsinya yang menimbulkan kerugian
berkepanjangan akibat dari keijakan pemerintah,
kebijakan swasta, maupun bencana alam.
3.
Korban lingkungan hidup adalah setiap
lingkungan alam yang didalamnya berisikan kehidupan tumbuh-tumbuhan,
binatang, manusia dan masyarakat serta semua jasad hidup yang tumbuh berkembang
dan kelestariannya sangat tergantung pada lingkungan alam tersebut yang telah
mengalami gundul, longsor, banjir, dan kebakaran yang ditimbulkan oleh
kebijakan pemerintah yang salah dan perbuatan manusia baik individu maupun
masyarakat yang tidak bertanggung jawab.
4.
Korban masyarakat, bangsa, dan Negara adalah
masyarakat yang diberlakukan secara diskriminatif tidak adil, tumpang tindih
pembagian hasil pembangunan serta hak sipil, hak politik, hak ekonomi, hak sosial,
hak budaya tidak lebih baik setiap tahun.
Selain yang disebut itu, kiranya
untuk korban institusi, masyarakat, bangsa, dan Negara dikaitkan maraknya
kejahatan baik kualits maupun kuantitas dapat ditambahkan, antara lain sebagai
berikut:
1. Dalam perkara korupsi dapat menjadi
korban tindak pidana korupsi berupa kerugian keuangan Negara dan perekonomian
Negara, kualitas kehidupan, ruaknya insfrasturktur dan sebagainya.
2. Dalam tindak pidana terorisme, dapat
mengalami korban jiwa masyarakat, keresahan masyarakat, kerusakan infrastuktur,
terusiknya ketenangan, kerugian materiil, dan imateriil lainnya.
3. Dalam tindak pidana narkotika, dapat
menjadi korban rusaknya generasi muda, menurunya kualitas hidup masyarakat, dan
sebagainya.
4. Dalam tindak pidana perusakan
lingkungan hidup, pembabatan hutan dan illegal logging, dapat menyebabkan
rusaknya, lingkungan, tanah tandus, banjir bandang, serta merusak infrastuktur
dan penderitaan rakyat yang
berkepanjangan.
Diluar
uraian diatas, masih banyak kerugian yang diderita masyarakat, bangsa dan
Negara akibat tindak pidana. Misalnya kerugian pendapatan Negara jika terjadi
tindak pdana penyelundupan, kepabenan, perpajakan, pencucian uang, dan tindak
pidana perekonomian lainnya. Pada prinsipnya bila terjadi tindak pidana apalagi
semakin meningkat sangat merugikan masyarakat, bangsa, dan Negara.
Kerugian-kerugian dapat membawa dampak negatif di bidang politik, ekonomi,
social, budaya, hukum, rendahnya moralitas, dan kerugian-kerugian dibidang
lainnya.
Perlu
ditambahkan bahwa korban perseorangan bukan hanya seperti tersebut diatas.
Adakala korban juga sebagai pelaku, misalnya pengguna narkotika, anak nakal dan
sebagainya. Lebih lanjut dinyatakan seorang ahli (Romli Atmasasmita, 1992: 7) bahwa “untuk perbuatan
pelanggaran hukum tertentu, mungkin terjadi apa yang sering dikenal dalam
kepustakaan kriminologi, sebagai victimless
crime (Schur, 1965) atau kejahatan “tanpa korban”. Bahkan korban dan pelaku
adalah tunggal atau satu, bahwa pengertian bahwa pelaku adalah korban dan
korban adalah pelaku juga. Sebagai contoh pelacuran, perjudian, tindak pidana
narkotika sebagai pemakai atau drug-users.
Jenis pelanggaran hukum tidak dapat membedakan secara tegas antara siapa
korban dan siapa pelaku.
2.1.4
Hubungan Korban Dengan Kejahatan
Pada
umumnya dikatakan hubungan korban dengan kejahatan adalah pihak yang menjadi
korban sebagai akibat kejahatan.tentu ada asap pasti ada api. Pihak tersebut
menjadi korban karena ada pihak lain yang melakukan kejahatan. Memang
demikianlah pendapat yang kuat selama ini yang didukung dengan fakta yang ada,
meskipun dalam praktik ada dinamika yang berkembang.
Hal
lain yang disepakati dalam hubungan ini, terpenting pihak korban adalah pihak
yang dirugikan. Pelaku merupakan pihak yang mengambil untung atau merugikan
korban. Kerugian yang sering diterima atau diderita korban (lihat
pengertian-pengertian korban) misalnya fisik, mental, ekonomi, harga diri dan
sebagainya. Ini berkaitan dengan status, kedudukan, posisi , tipologi korban
dan sebagainya.
Uraian
tersebut menegaskan yang bersangkutan sebagai korban “murni” dari kejahatan.
Artinya korban memang korban yang sebenar-benarnya/senyatanya. Korban tidak
bersalah hanya semata-mata hanya sebagai korban. Mengapa menjadi korban,
kemungkinan penyebabnya; kealpaan, ketidak tauan, kurang hati-hati, kelemahan
korban atau mungkin kesialan korban. Dapat
juga terjadi akibat kelalaian Negara untuk melindungi warganya. Perkembangan
global, factor ekonomi, politik, sosiologis, ataupun factor-faktor negatif
lain, memungkinkan adanya korban yang tidak “murni”. Disini korban tersangkut
atau menjadi bagian dari pelaku kejahatan, bahkan sekaligus menjadi pelakunya.
Lebih mendalam tentang masalah ini, Hentig seperti dikutip (Rena Yulia,2012:
81) beranggapan bahwa peranan korban dalam
menimbulkan kejahatan adalah:
a. tindakan
kejahatan memang dikehendaki oleh si korban untuk terjadi;
b. kerugian
akibat tindak kejahatan mungkin dijadikan si korban untuk memperoleh keuntungan
yang lebih besar;
c. akibat
yang merugikan si korban mungkin merupakan kerja sama antara si pelaku dengan
si korban;
d. kerugian
akibat tindak kejahatan sebenarnya tidak terjadi bila tidak ada provokasi si
korban.
Selanjutnya
hubungan korban dengan pelaku dapat dilihat dari tingkat kesalahannya. Menurut
Mendelsohn (ibid.:80), berdasarkan derajat kesalahannya korban dibedakan
menjadi 5 (lima) macam, yaitu:
a. yang
sama sekali tidak bersalah
b. yang
jadi korban karena kelalaian
c. yang
sama salahnya dengan pelaku
d. yang
lebih bersalah dari pelaku
e. yang
korban adalah satu-satunya yang bersalah (dalam hal ini pelaku dibebaskan)
Sebenarnya
banyak hubungan korban dengan pelaku, diantaranya juga dapat dikaji melalui
hubungan darah, persaudaraan, family, ataupun kekeluargaan. Misalnya pencurian
dalam keluarga, pelecehan seksual dan bahkan penganiyayaan atau pembunuhan
untuk memperebutkan harta waris serta kekuasaan/dalam pengaruh keluarga.
Sejenis hubungan ini atu hubungan orang-orang dekat pelaku ataupun korban
seperti teman, sahabat, pacar, rekan bisnis dan sebagainya. Ada lagi hubungan
berdasarkan hubungan sengan sasaran tindakan pelaku (G.Widiartana, 2009:22),
yaitu sebagai berikut:
a. korban
langsung, yaitu mereka yang secara langsung menjadi sasaran atu objek perbuatan
pelaku.
b. Korban
tidak langsung, yaitu mereka yang meskipun tidak secara langsung menjadi
sasaran perbuatan pelaku, tetapi juga mengalami penderitaan atau nestapa. Pada
kasus pembunhan terhadap seorang laki-laki yang mempunyai tanggung jawab
menghidupi istri dan anak-anaknya, meninggalnya laki-laki tersebut merupakan
korban langsung. Sedangkan istri dan anaknya itu merupakan korban tidak
langsung.
Fakta
menunjukan bahwa sebagian besar korban merupakan korban yang murni atau
senyatanya. Korban-korban dimaksud terjadi dalam tindak pidana misalnya
terorisme, pencurian (bisa pemberatan dan kekerasan), dan tindak pidana lain
yang sering terjadi dimasyarakat. Koban disini dalam posisi pasif, tidak menjadi
faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana. Pihak pelaku yang mengendaki
penuh kejahatannya dan korban korban yang menjadi sasaran atau tujuan kejahatan
tersebut. Menurut Medelsohn, derajat
kesalahan korban adalah “yang sama sekali tidak bersalah”.
Memang
banyak juga korban ikut andil dalam terjadinya kejahatan. Derajat kecilnya
peran korban, misalnya korban lalai, sehingga munc ul atau terjadi tindak
pidana. Dapat terjadi pula dalam hal korban menarik perhatian pelaku, misalnya
korban menyukai memperlihatkan kekayaannya, overacting, atau perilaku lain
yang dapat menggugah pelaku melakukan
tindak pidana. Dapat terjadi pula bila korban seorang perempuan sering
berpakaian atau berprilaku seksi dan merangsang atau tidak sopan. Bukan saja
ikut andil, sering terjadi korban “sama salahnya dengan pelaku”. Disini korban
berpura-pura menjadi korban, padahal ia pelaku. Misalnya pelaku bom bunuh diri,
seorang penjaga barang atau uang yang melaporkan terjadi kejahatan padahal yang
bersangkutan turut serta dalam kejahatan itu dan sebaginya.
Kehidupan
banyak dinamika antara korban dan kejahatan, akibat dorongan ekonomi, politis
dan psikis. Idealnya selalu berkurang jumlah korban dan pelaku. Jika terjadi
semakin bertambah korban, maka yang terpenting adalah pemberian hak dan
perlindungan terhadap korban semaksimal mungkin. Demikian pula bila pelaku
bertambah, hendaklah diperlakukan sesuai hak-haknya. Selanjutnya bila menjadi
terpidana atau narapidana hendaknya diterapkan system pemasyarakatan. Juga
tidak kalah pentingnya bagi pelaku untuk dapat memmberi ganti kerugian atau
restitusi kepada korban.
Diluar
itu, ada kondisi diantar korban dan pelaku. Dalam hal ini “hubungan korban dan
pelaku merupakan dwi tunggal”(Romli
Atmasasmita, 1992:7). Lebih lanjut dnyatakan bahwa “korban dan pelaku adalah
tunggal atau satu, dalam pengertian bahwa pelaku adalah korban dan korban
pemakai atau drug users. Jenis pelanggaran hukum tersebut tidak dapat
membedakan secara tegas antara siapa korban dan siapa pelaku”.
2.2. Tinjauan Umum Tentang
Tindak Pidana Dan Pemidanaan
2.2.1
Pengertian Tindak Pidana
Tindak pidana, peristiwa
pidana dan perbuatan pidana merupakan beberapa istilah dari penerjemahan
istilah “strafbaar feit” kedalam
bahasa Indonesia. Dari segi harfiah, istilah strafbaar feit terdiri dari
straf berarti hukuman (pidana), baar
berarti dapat (boleh), dan feit berarti
peristiwa (perbuatan). Jadi, istilah strafbaar
feit adalah peristiwa yang dapat dipidana atau perbuatan yang dapat
dipidana. Hal ini sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan kita
ketahui bahwa yang dapat dipidana itu sebenarnya manusia sebagai pribadi dan
bukan kenyataan, peristiwa atau perbuatannya.
Berikut ini adalah
beberapa pengertian strafbaar feit dari para ahli (Lamintang, 1997:181) :
1.
Hazewinkel
Suringa: strafbaar feit adalah suatu
perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak didalam suatu
pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan
oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang
terdapat di dalam Undang-Undang.
2.
Pompe:
memberikan batasan pengertian strafbaar
feit adalah suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang
dengan sengaja ataupun tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku. Dimana
penjatuhan hukum terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya
tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.
3.
Simons: strafbaar feit adalah suatu tindakan
melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan
sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan
yang oleh Undang-Undang telah dinyatakan dengan suatu tindakan yang dapat
dihukum.
4.
Vos: strafbaar feit adalah suatu kelakuan (gedraging) manusia yang dilarang oleh
Undang-Undang diancam dengan pidana.
5.
Moeljatno:
menterjemahkan strafbaar feit menjadi
perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum
larangan dimana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pemidanaan bagi barang
siapa yang melanggar larangan tersebut. Atau dapat juga dirumuskan bahwa
perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan
diancam pidana.
6.
Roeslan
Saleh : memberikan batasan perbuatan pidana adalah perbuatan yang bertentangan
dengan tata atau ketentuan yang dikehendaki oleh hukum, syarat utama dari
adanya perbuatan pidana adalah kenyataan bahwa ada aturan yang melarang.
7.
R.
Tresna: memberikan batasan pengertian peristiwa pidana adalah suatu perbuatan
atau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan Undang-Undang atau
perundang-undangan lainnya terhadap perbuatan mana diadakan tindakan
pemidanaan.
8.
Rusli
Effendy: memberi batasan dengan mepergunakan istilah peristiwa pidana adalah suatu peristiwa yang dapat dikenakan
pidana oleh hukum pidana, memakai kata hukum pidana tertulis dan ada hukum
pidana yang tidak tertulis (hukum pidana adat).
9.
A. Zainal
Abidin Farid: mendasari pendapatnya dari para ahli hukum pidana Belanda yang
memberi pengertian strafbaar feit,
yakni menurut Simons bahwa strafbaar feit
terjemahan peristiwa pidana adalah perbuatan melawan hukum yang berkaitan
dengan kesalahan (schuld) seseorang
yang mampu bertanggungjawab.
Sedangkan istilah tindak pidana itu
sendiri adalah pelanggaran norma-norma dalam tiga bidang hukum lain, yaitu
hukum perdata, hukum ketatanegaraan, dan hukum tata usaha pemerintahan yang
oleh pembentuk Undang-Undang ditanggapi sebagai hukum pidana (Wirjono Prodjodikoro, 2003:1).
Istilah tindak pidana hanya
menunjukkan kepada sifat perbuatan saja, yaitu sifat melarang dengan ancaman
pidana apabila dilanggar. Apakah yang melanggar itu benar-benar dipidana
seperti yang sudah diancamkan, ini tergantung kepada keadaan batinnya dan
hubungan batinnya dengan tindakannya itu yaitu dengan kesalahannya. Jadi tindak
pidana dipisahkan dari pertanggungjawaban pidana. Lain halnya dengan strafbaar feit yang mencakup pengertian
perbuatan dan kesalahan.
Pertanggungjawaban pidana tidak cukup
dengan dilakukannya perbuatan pidana saja, akan tetapi disamping itu harus ada
kesalahan, atau sikap batin yang dapat dicela dan ada pula asas hukum yang
tidak tertulis ”tidak dipidana jika tidak
ada kesalahan”.
Kiranya dapat pula disamakan dengan
istilah Inggris criminal act (Andi Hamzah, 2005:32) dengan alasan:
1.
Bahwa criminal act ini juga berarti kelakuan
dan akibat, atau dengan kata lain sebagai akibat dari suatu kelakuan yang
dilarang oleh hukum.
2.
Karena criminal act juga dapat dipisahkan dari
pertanggungjawaban pidana yang dinamakan criminal
liability atau responsibility
juga untuk dapat dipidananya seseorang selain daripada melakukan perbuatan
pidana orang itu harus mempunyai kesalahan (guilt).
Beda
halnya dengan istilah perbuatan pidana yang bersifat lebih abstrak dibandingkan
dengan istilah peristiwa pidana yaitu bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan
yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi)
yang berupa pidana tertentu. Disini larangan dijatuhkan kepada perbuatan (suatu
keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman
pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian tersebut.
Antara
larangan dan ancaman pidana ada hubungan erat, oleh karena itu antar kejadian
dan orang yang menimbulkan tidak dapat dipisahkan antara satu sama lain. Dan
untuk menyatakan hubungan yang erat itu maka digunakanlah perkataan perbuatan,
yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjuk kepada dua keadaan konkrit:
pertama, adanya kejadian tertentu dan kedua, adanya orang yang berbuat yang
menimbulkan kejadian tersebut (Moeljatno,
2002:54).
2.2.2 Teori-teori
Pemidanaan
Ada berbagai macam pendapat mengenai
teori pemidanaan ini, namun yang banyak itu dapat dikelompokkan kedalam tiga
golongan besar yaitu:
1. Teori
Absolut
Dasar pijakan dari teori
ini ialah pembalasan. Inilah dasar pembenar dari penjatuhan penderitaan berupa
pidana itu pada penjahat. Penjatuhan pidana yang pada dasarnya penderitaan pada
penjahat dibenarkan karena penjahat telah membuat penderitaan pada orang lain.
Setiap kejahatan tidak boleh tidak
harus diikuti oleh pidana bagi pembuatnnya tidak dilihat akibat-akibat apa yang
dapat timbul dari penjatuhan pidana itu tidak memperhatikan masa depan baik
pidana tidak dimaksud satu-satunya penderitaan bagi penjahat.
Tindakan pembalasan didalam penjatuhan
pidana mempunyai dua arah, yaitu:
a.
Ditujuhkan
pada penjatuhannya (sudut subjektif dari pembalasan).
b.
Ditujukan
untuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendam dikalangan masyarakat (sudut
objektif dari pembalasan.
2. Teori Relatif atau Teori Tujuan.
Teori
relatif atau teori tujuan berpokok pangkal pada dasar bahwa pidana adalah alat
untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat. Tujuan pidana ialah tata
tertib masyarakat, dan untuk memberi tekanan atau pengaruh kejiwaan bagi setiap
orang untuk takut melakukan kejahatan. Ancaman pidana menimbulkan suatu kontra
motif yang menahan setiap orang untuk melakukan.
3.
Teori Gabungan.
Teori gabungan ini mendasarkan pidana
pada asas pembalasan dan asas pertahanan tata tertib masyarakat dengan kata
lain dua alasan ini menjadi dasar dari penjatuhan pidana. Teori gabunhgan ini
dapat dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu sebagai berikut.
a)
Teori
gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalsan itu tidak boleh melampaui
dari apa yang perlu dan cukup untuknya dapat dipertahankannya dalam tata tertib
masyarakat.
b) Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib
masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhi pidana tidak boleh lebih berat
daripada perbuatan yang dilakukan oleh terpidana (Scharavendijk,1955;218).
2.2.3 Syarat
Pemidanaan Tindak Pidana
1.
Unsur Perbuatan (Feit)
Unsur
perbuatan merupakan unsur pembentuk dari tindak pidana. Pada dasarnya tindak
pidana adalah perbuatan atau serangkaian perbuatan yang padanya diletakkan
sanksi pidana. Perbuatan atau feit tidak
menunjuk pada hal kelakuan manusia dalam arti positif (handelen) semata, dan tidak termasuk kelakuan manusia yang pasif
atau negatif (nalaten). Pengertian
yang sebenarnnya dalam istilah feit
adalah termasuk baik perbuatan aktif maupun pasif tersebut. Perbuatan aktif
artinya suatu bentuk perbuatan yang untuk mewujudkannya diperlukan/disyaratkan
adanya suatu gerakan atau gerakan-gerakan dari tubuh atau bagian dari tubuh
manusia, misalnya mengambil (Pasal 362 KUHP) atau merusak (Pasal 406 KUHP).
Sementara itu, perbuatan pasif adalah suatu bentuk tidak melakukan suatu bentuk
perbuatan fisik apa pun yang oleh karenanya seseorang tersebut telah
mengabaikan kewajiban hukumnya, misalnya perbuatan tidak menolong (Pasal 531
KUHP) atau perbuatan membiarkan (Pasal 304 KUHP).
Dengan
demikian aturan, mengenai tindak pidana mestinya sebatas menentukan tentang
perbuatan-perbuatan yang dilarang dilakukan. Aturan hukum mengenai tindak
pidana berfungsi sebagai pembeda antara perbuatan yang terlarang dalam hukum
pidana dan perbuatan-perbuatan lain diluar kategori tersebut. Adanya aturan
mengenai tindak pidana dapat dikenali perbuatan-perbuatan yang dilarang dan
karenanya tidak boleh dilakukan. Aturan tersebut menentukan perbuatan yang
boleh dan yang tidak boleh dilakukan.
2. Unsur
Pembuat (Dader)
Unsur
pembuat (dader) adalah unsur yang melekat
pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku tindak pidana,
dan termasuk didalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung didalam hatinya.
Unsur pembuat merupakan salah satu syarat pemidanaan bagi pelaku tindak pidana
yang melakukan kesalahan baik itu kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa).
Telah
dikatakan bahwa pertanggungjawaban tindak pidana tidaklah mungkin terjadi tanpa
sebelumnya seseorang melakukan tindak pidana. Dengan demikian
pertanggungjawaban pidana selalu tertuju pada pembuat tindak pidana tersebut.
Dalam hal ini pembuat tidak dapat dipersamakan dengan pelaku materil (pleger) tetapi pembuat (dader). Oleh karena itu, apakah
pertanggungjawaban pidana itu ditujukan terhadap orang yang melakukan tindak
pidana (pelaku), atau orang-orang lain yang ada kaitan dengannya (pembuat
selain pelaku), merupakan persoalan penetapan tindak pidana (kriminalisasi) dan
bukan persoalan pertanggungjawaban pidana.
Pertanggungjawaban
pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya subjek hukum pidana tersebut
melakukan tindak pidana. Tidaklah mungkin orang dipertanggungjawabkan dalam
hukum pidana tanpa sebelumnya yang bersangkutan melakukan tindak pidana.
Sebaliknya, sangat mungkin memasukkkan dalam larangan yang disertai ancaman
pidana (merumuskan sebagai tindak pidana) “hubungan tertentu” seseorang dengan
orang lain yang melakukan tindak pidana.
Dipidananya
menyuruh melakukan (doenpleger) dan
penganjur (uitlokker) tindak pidana,
sebagaimana dimaksud Pasal 55 KUHP, Cuma karena mempunyai “hubungan tertentu”
dengan pelaku materil (pleger).
Pemidanaan terhadap mereka yang menyuruh melakukan ataupun mereka yang
menganjurkan hanya dapat terjadi melalui penetapan undang-undang. Baik
penyuruhlakukan maupun penganjur, keduanya tidak melakukan tindak pidana yang
dilakukan pelaku, tetapi dipandang melakukan tindak pidana jika karena suruhan
dan anjurannya seseorang melakukan tindak pidana. Mereka semua dipandang
sebagai melakukan tindak pidana, dan pertanggungjawaban pidananya ditujukan
terhadap perbuatannya itu.
2.2.4
Jenis
– Jenis Pidana
Menurut
Pasal 10 KUHP ada 2 jenis pidana yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Adapun
pidana pokok sebagai berikut :
1. Pidana mati
2. Pidana penjara
3. Pidana kurungan
4. Pidana denda
Sedangkan
pidana tambahan adalah:
1. Pidana pencabutan hak-hak tertentu
2. Pidana perampasan barang-barang
tertentu
3. Pidana pengumuman putusan hakim
Selanjutnya
ada juga pidana pokok menurut UU No. 20 tahun 1946 yaitu berupa pidana tutupan.
Antara
pidana pokok dan tambahan mempunyai perbedaan yaitu:
1. Penjatuhan salah satu pidana pokok
bersifat keharusan (imperatif), sedangkan penjatuhan pidana tambahan sifatnya
fakultatif
Penjelasan
:
Apabila
dalam persidangan tindak pidana yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum
menurut hakim telah terbukti secara sah dan meyakinkan hakim harus menjatuhkan
satu jenis pidana pokok sesuai dengan jenis dan batas maksimum khusus yang
diancamkan pada tindak pidana yang bersangkutan.
Menjatuhkan
salah satu jenis pidana pokok sesuai dengan yang diancamkan pada tindak pidana
yang dianggap terbukti adalah suatu keharusan artinya imperatif.
2. Penjatuhan jenis pidana pokok tidak
harus bersamaan dengan menjatuhkan pidana tambahan (berdiri sendiri), sedangkan
menjatuhkan pidana tambahan tidak diperbolehkan tanpa dengan menjatuhkan pidana
pokok.
Penjelasan
:
Sesuai
dengan namanya pidana tambahan, penjatuhan pidana tambahan tidak dapat berdiri
sendiri, lepas dari pidana pokok melainkan hanya dapat dijatuhkan oleh hakim
apabila dalam suatu putusannya itu telah menjatuhkan salah satu jenis pidana
pokok sesuai dengan yang diancamkan pada tindak pidana yang bersangkutan.
Artinya jenis pidana tambahan tidak dapat dijatuhkan sendiri secara terpisah
dengan jenis pidana pokok, melainkan bersama dengan jenis pidana pokok.
Dalam hal
ini telah jelas bahwa pidana tambahan tidak dapat dijatuhkan kecuali setelah
adanya penjatuhan pidana pokok, artinya pidana pokok dapat berdiri sendiri
sedangkan pidana tambahan tidak dapat berdiri sendiri.
Walaupun
jenis pidana tambahan mempunyai sifat yang demikian, ada juga pengecualiannya,
yakni dimana jenis pidana tambahan itu dapat dijatuhkan tidak bersama jenis
pidana pokok tetapi bersama tindakan (maatregelen) seperti Pasal 39 ayat
3 dan 40.
3. Jenis pidana pokok yag dijatuhkan
bila telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde zaak)
diperlukan suatu tindakan pelaksanaan (executie)
Penjelasannya
:
Pengecualiaannya
adalah apabila pidana yang dijatuhkan itu adalah jenis pidana pokok dengan
bersyarat (Pasal 14a) dan syarat yang ditetapkan dalam putusan itu tidak
dilanggar. Hal ini berbeda dengan sebagian jenis pidana tambahan misalnya
pidana pencabutan hak-hak tertentu sudah berlaku sejak putusan hakim telah
mempunyai kekuatan hukum tetap (Pasal 38 ayat 2). Oleh karena itu,
berjalannya/dijalankannya putusan antara jenis pidana pokok dengan pidana
pencabutan hak tertentu berdasarkan Pasal 38 ayat 2 tidak sama.
Selain
itu juga ada prinsip dasar pidana pokok yaitu tidak dapat dijatuhkan secara
kumulasi (menjatuhkan 2 pidana pokok secara bersamaan). Hal ini dapat dilihat
sebagaimana tercantum dalam buku II (kejahatan) dan buku III (pelanggaran)
dimana dijelaskan bahwa :
1. Dalam rumusan tindak pidana hanya
diancam dengan satu jenis pidana pokok saja.
2. Dalam beberapa rumusan tindak pidana
yang diancam dengan lebih dari satu jenis pidana pokok ditetapkan sebagai
bersifat alternatif (misal Pasal 340, 362 dan lain-lain) dengan menggunakan
kata atau.
Prinsip
dasar jenis pidana pokok ini hanya berlaku pada tindak pidana umum (KUHP). Bagi
tindak pidana khusus (diluar KUHP), prinsip dasar ini ada penyimpangan seperti
UU No 7 (drt) 1955 (UU tindak pidana ekonomi), UU No. 31 tahun 1999 (UU tindak
pidana korupsi), UU Narkotika (UU No. 22 tahun 1997), UU Perbankan (UU No. 10
tahun 1998), dan lain-lain.
1. Pidana mati (Pasal 11 KUHP)
(1) Di Belanda sejak tahun 1870 pidana
mati tidak diberlakukan lagi.
(2) Di Indonesia sejak tahun 1918 masih
diberlakukan pidana mati.
(3) RUU KUHP 1992 dan 1999/2000 revisi
masih dicantumkan tapi bukan dalam pidana pokok, hanya dikategorikan pidana
yang bersifat khusus dan selalu bersifat altertnatif.
(4) Di Belanda sejak tahun 1870 pidana
mati tidak diberlakukan lagi.
(5) Di Indonesia sejak tahun 1918 sampai
sekarang masih diberlakukan pidana mati.
(6) Penjatuhan pidana mati dalam KUHP
hanya diatur dalam bentuk kejahatan berat saja, misalnya :
1.
Kejahatan-kejahatan yang mengancam keamanan negara (Pasal
104, 111 ayat 2, 124 ayat 3 jo 129)
2.
Kejahatan-kejahatan pembunuhan terhadap orang tertentu dan
atau dilakukan dengan faktor-faktor pemberat, misalnya 140 ayat 3, 340
KUHP
3.
Kejahatan terhadap harta benda yg disertai unsur/faktor yg
sangat memberatkan (365 ayat 4, 368 ayat 2)
4.
Kejahatan-kejahatan pembajakan laut, sungai dan pantai (Pasal
444)
Adanya
pidana mati oleh pembentuk KUHP dalam penerapan harus hati-hati, tidak boleh
gegabah karena pidana mati berkaitan dengan hilangnya nyawa manusia. Untuk itu
dalam KUHP Pasal pidana mati selalu dibuat alternatif dengan penjara seumur
hidup, pidana 20 tahun, misalnya Pasal 365 (4), 340, 104, 368 (2) jo 365 (4), dan
lain-lain sedangkan diluar KUHP pidana mati diatur dalam UU 26 tahun 1999
(subversi), UU 22 tahun 1997 (Narkotika, 80, 81, 82), Pasal 59 UU No 5 tahun
1997 (Psikotropika).
Eksekusi
pidana mati dulu dengan cara digantung (Pasal 11 KUHP) telah dihapuskan diganti
dengan cara ditembak oleh regu penembak sampai mati (UU No. 2 (PNPS) tahun
1964.
2. Pidana penjara (Pasal 12 – 17 KUHP)
Berdasarkan
Pasal 10 KUHP ada 2 jenis pidana hilang kemerdekaan bergerak yakni pidana
penjara dan kurungan.
Dari
sifatnya menghilangkan dan atau membatasi kemerdekaan bergerak, dalam arti
menempatkan terpidana dalam suatu tempat (Lembaga Permasyarakatan) dimana
terpidana tidak bebas untuk keluar masuk dan didalamnya wajib untuk tunduk,
mentaati dan menjalankan semua peraturan tata tertib yang berlaku.
Selintas antara pidana penjara dan kurungan sama namun ada
perbedaan yang cukup jauh. Perbedaan yang paling menonjol adalah pidana
kurungan lebih ringan dari pidana penjara. Lebih ringannya sebagai berikut :
1.
Ancaman pidana kurungan hanya terhadap tindak pidana yang
ringan sedangkan ancaman pidana penjara terhadap tindak pidana yg lebih berat.
Pidana kurungan hanya terhadap tindak pidana pelanggaran sedangkan pidana
penjara terhadap tindak pidana kejahatan.
2.
Ancamam maksimum pidana penjara 15 tahun sedangkan pidana
kurungan 1 tahun kecuali residivis ditambah tidak lebih dari 4 bulan lagi.
Pidana penjara bisa ditambah menjadi 20 tahun apabila perbuatan tersebut
memberatkan (pembarengan Pasal 65) dan residivis.
3.
Pidana penjara lebih berat daripada pidana kurungan (Pasal
69 KUHP).
4.
Pelaksanaan pidana denda tidak dapat diganti dengan
pelaksanaan pidana penjara. Akan tetapi pelaksanaan pidana denda dapat diganti
dengan pelaksanaan kurungan disebut kurungan pengganti (Pasal 30 ayat 2).
5.
Pelaksanaan pidana penjara dapat saja dilakukan di Lembaga
permasyarakatan di seluruh Indonesia (dapat dipindahkan), sedangkan pidana
kurungan dilaksanakan hanya di LAPAS dimana vonis hakim dibacakan/berdasarkan
tempat kediaman terdakwa (tidak dapat dipindah), atau apabila ia tidak
mempunyai tempat kediaman, pidana kurungan dilaksanakan dimana tempat ia ada
pada waktu itu, kecuali ia memohon untuk menjalani pidana ditempat lain dan
menteri kehakiman mengijinkannya. (Pasal 21 KUHP)
6.
Pekerjaan-pekerjaan yang diwajibkan pada narapidana penjara
lebih berat dari pekerjaan-pekerjaan yang diwajibkan pada narapidana kurungan (Pasal
19 KUHP)
7.
Narapidana kurungan dengan biaya sendiri dapat sekedar
meringankan nasibnya dalam menjalankan pidananya menurut aturan yang ditetapkan
(hak pistole, Pasal 23 KUHP)
Pidana
penjara ada bersifat seumur hidup dan pidana penjara sementara.
Pidana
seumur hidup adalah pidana yang harus dijalani terpidana selama-lamanya didalam
penjara sampai dengan ia meninggal dunia di penjara tersebut.
Sedangkan
pidana sementara adalah pidana yang dijalani terpidana paling sedikit 1 hari
dan paling lama 15 tahun atau 20 tahun jika perbuatan pidana yang dilakukan
dengan pemberatan.
3. Pidana kurungan (18 – 29 KUHP)
Pidana
kurungan adalah suatu pidana yang dijatuhkan oleh hakim kepada terdakwa karena
telah melakukan tindak pidana pelanggaran
Pidana
kurungan dijatuhkan serendah-rendahnya 1 hari dan paling lama 1 tahun dan
dapat ditambah lagi 4 bulan apabila terdakwa seorang residivis.
Menurut
Pasal 23 KUHP “Orang yg dipidana kurungan boleh memperbaiki nasibnya dengan
ongkosnya sendiri menurut peraturan yg akan ditetapkan dalam ordonansinya (LN
1917 No. 708 = peraturan kepenjaraan, khususnya psl 93)
Perbaikan
nasib dengan ongkos sendiri ini biasa dinamakan hak pistole. Perbaikan tersebut
misalnya mengenai makanan dan tempat tidurnya. Candu, minuman keras, anggur dan
bir hanya dapat diberikan bila dianggap perlu oleh dokter penjara.
4. Pidana denda
(a)
Penerapan pidana denda paling sedikit 25 sen (Pasal 30 ayat
1 KUHP) sedangkan maksimum tergantung pada rumusan pidana, misalnya Pasal 403
maksimum Rp. 150.000
(b)
Apabila tidak dibayar dendanya diganti dengan hukuman
kurungan (ayat 2)
(c)
Lamanya hukuman kurungan pengganti paling sedikit 1 hari
paling lama 6 bulan. Dalam keadaan memberatkan dapat ditambah paling tinggi 8
bulan (Pasal 30 ayat 5, 6 KUHP)
(d)
Pidana denda diterapkan pada pelanggaran sedangkan pada
kejahatan dijadikan alternatif (misalnya kata-kata ’atau’)
Keistimewaan
pidana denda :
a. Pidana denda dapat dibayarkan oleh
orang lain, sedangkan pidana lainnya (misalnya penjara) tidak.
b. Pelaksanaan pidana denda dapat
diganti dengan pidana kurungan (Pasal 30 ayat 2 KUHP), maka sering dalam
putusan hakim membuat pidana alternatif selain kurungan juga ada pidana
kurungan pengganti. Dalam hal ini terpidana bebas memilihnya dan lamanya pidana
kurungan pengganti adalah minimal 1 hari maksimal 6 bulan.
c. Penerapan pidana denda paling
sedikit 25 sen (Pasal 30 ayat 1 KUHP) sedangkan maksimum tergantung pada
rumusan pidana, misalnya Pasal 403 maksimum Rp. 150.00,-
5. Pidana Tutupan
(a)
Diatur dalam Pasal 2 ayat 1 UU No. 20 tahun 1946 yang
menyatakan bahwa dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan, yang diancam
dengan pidana penjara karena karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati,
hakim boleh menjatuhkan pidana tutupan.
(b)
Selanjutnya pada ayat 1 dinyatakan pidana tutupan tidak
dijatuhkan apabila perbuatan yang merupakan kejahatan itu cara melakukan perbuatan
itu aatau akibat dari perbuatan itu adalah sedemikian rupa sehingga hakim
berpendapat bahwa pidana penjara lebih tepat.
(c)
Tempat untuk menjalani pidana tutupan adalah rumah tutupan
(PP No. 8 tahun 1948).
(d)
Rumah tutupan lebih baik dengan rumah tahanan dari segi
fasilitasnya, misalnya maalah makanan.
(e)
Pidana tutupan sama juga dengan pidana penjara hanya beda
dari fasilitasnya.
(f)
Jadi orang yang menjalani pidana tutupan adalah perbuatan
pidana yang terdorong oleh maksud yang patut dihormati, kriterianya diserahkan
kepada hakim.
(g)
Dalam praktek pidana tutupan hanya terjadi 1 kali saja yaitu
putusan Mahkamah Agung Tentara RI tanggal 17 Mei 1948 yaitu perkaa kejahatan
peristiwa 3 Juli 1946.
6. Pidana Pencabutan Hak-Hak Tertentu
Pasal
35 ayat 1 KUHP mengatur tentang pidana pencabutan hak-hak tertentu :
1. Hak memegang jabatan pada umumnya
atau jabatan tertentu (jabatan publik, seperti Bupati, dll).
2. Hak menjalankan jabatan dalam
Angkatan bersenjata / TNI
3. Hak memilih dan dipilih yg diadakan
berdasarkan aturan2 umum
4. Hak menjadi penasihat hukum atau
pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu
atau pengampu pengawas atas anak yang bukan anak sendiri
5. Hak menjalankan kekuasaan bapak,
menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri.
6. Hak menjalankan mata pencaharian
Pasal
tindak pidana yg mengaturnya adalah Pasal 317, 318, 334, 347, 348, 350, 362,
363, 365, 372, 374, 375. Sifat hak-hak tertentu yang dapat dicabut oleh hakim,
tidak untuk selama-lamanya melainkan dalam waktu tertentu saja, kecuali yang
bersangkutan dijatuhi pidana seumur hidup atau pidana mati. Lama waktu hakim
menjatuhkan pencabutan hak-hak tertentu (Pasal 38 KUHP) :
1. Bila pidana pokok yg dijatuhkan
hakim berupa pidana mati atau seumur hidup maka lamanya pencabutan hak2
tertentu berlaku seumur hidup
2. Bila pidana pokok yg dijatuhkan
hakim berupa pidana penjara sementara atau kurungan, maka lamanya pencabutan
hak2 tertentu paling lama 5 tahun dan minimun 2 tahun lebih lama daripada
pidana pokoknya
3. Jika pidana pokok yg dijatuhkan
adalah pidana denda maka pencabutan hak2 tertentu adalah paling sedikit 2 tahun
dan paling lama 5 tahun.
7. Perampasan Barang-Barang Tertentu
Perampasan barang sebagai suatu pidana hanya diperkenankan
atas barang-barang tertentu saja, tidak diperkenankan untuk semua barang. UU
tidak mengenal perampasan untuk semua kekayaan seperti dalam kasus perdata.
Pasal 39 KUHP berbunyi , “Barang kepunyaan terhukum yang
diperoleh dengan kejahatan atau dengan sengaja dipakai akan melakukan kejahatan
akan dirampas ”, misalnya uang palsu diperoleh dengan kejhatan, golok, senjata
api, dll. Jika bukan milik terhukum tidak boleh dirampas.
Ada 2 jenis barang yang dapat dirampas melalui putusan hakim
pidana yaitu :
1. Barang-barang yang berasal/diperoleh
dari suatu kejahatan (bukan dari pelanggaran) yang disebut dengan Corpora
Delictie misalnya uang palsu dari kejahatan pemalsuan uang.
2. Barang-barang yang digunakan dalam
melakukan kejahatan yang disebut dengan instrumenta delictie misalnya
pisau yang digunakan dalam kejahatan
Ada
tiga prinsip dasar dari pidana perampasan barang tertentu yaitu :
1. Hanya diancamkan dan dapat
dijatuhkan terhadap 2 jenis barang tersebut dalam Pasal 39 itu saja.
2. Hanya diancamkan dan dapat
dijatuhkan oleh hakim pada kejahatan saja, dan tidak pada pelanggaran, kecuali
pada beberapa tindak pidana pelanggaran, misalnya Pasal 502, 519, 549 (jenis
pelanggaran)
3. Hanya diancamkan dan dapat
dijatuhkan oleh hakim atas barang-barang milik terpidana tadi. Kecuali ada
beberapa ketentuan
a)
Yang menyatakan secara tegas terhadap barang yang bukan
milik terpidana (Pasal 250 bis),
b)
Tidak secara tegas menyebutkan terhadap, baik barang milik
terpidanaatau bukan (misalnya Pasal 275, 205, 519)
8. Pengumuman Putusan Hakim
Pidana
pengumuman putusan hakim hanya dapat dijatuhkan dalam hal-hal yang telah
ditentukan oleh UU, misalnya terdapat dalam Pasal 128, 206, 361, 377, 395, 405.
Dalam
pidana ini hakim bebas perihal cara melaksanakan pengumuman, misalnya melalui
surat kabar, papan pengumuman, radio, televisi dan pembebanan biayanya
ditanggung terpidana.
Pasal
43 KUHP, “Dalam hal-hal yang hakim memerintahkan mengumumkan keputusannya
menurut kitab UU umum yg lain, ditentukjannya pula cara bagaimana menjalankan
perintah itu atas ongkos siterhukum”, misalnya melalui surat kabar dengan
ongkos terhukum.
Maksud
pidana ini adalah sebagai usaha preventif agar tidak melakukan perbuatan
seperti orang tersebut dan agar berhati-hati bergaul dengan orang tersebut
(terhukum).
9. Penjatuhan Pidana Bersyarat
(voorwaardelijke veroordeling)
Istilah
penjatuhan pidana besyarat bukanlah jenis pidana sebagaimana diatur dalam Pasal
10 KUHP, karena istilah ini diatur dalam Pasal 14a KUHP. Lebih tepat istilah
ini adalah pidana dengan bersyarat.
Pidana
dengan bersyarat dalam praktek hukum sering disebut dengan pidana percobaan.
Pidana
percobaan/bersyarat adalah suatu sistem/model penjatuhan pidana oleh hakim yang
pelaksanaannya digantungkan pada syarat-syarat tertentu. Artinya pidana yang
dijatuhkan oleh hakim itu ditetapkan tidak perlu dijalankan pada terpidana
selama syarat-syarat yang ditentukan tidak dilanggarnya dan pidana dapat
dijalankan apabila syarat-syarat yang ditetapkan itu tidak ditaatinya atau
dilanggar. Misalnya jika terpidana tersebut yang diminta hakim tidak boleh
melakukan perbuatan perbuatan pidana maka selama masa poercobaan tersebut
terpidana tidak boleh melakukan perbuatan pidana dalam bentuk apapun. Jika
terbukti melakukan perbuatan pidana lagi maka hukumannya bisa ditambah karena
terdakwa seorang residivis.
Manfaat
penjatuhan pidana dengan bersyarat adalah memperbaiki penjahat tanpa harus
memasukkannya ke dalam penjara artinya tanpa membuat derita bagi dirinya dan
keluarganya, mengingat pergaulan dalam penjara terbukti sering membawa pengaruh
buruk bagi seorang terpidana terutama bagi orang-orang yang melakukan tindak
pidana karena dorongan faktor tertentu yang ia tidak mempunyai kemampuan untuk
menguasai dirinya dalam arti bukan penjahat sesungguhnya. Misalnya karena
kemelaratan dan untuk makan ia mencuri sebungkus roti, karena butuh uang untuk
mengobati orang tuanya yang luka karena kecelakaan, kejahatan culpa
(kelalaian), dll
Dalam
Pasal 14a KUHP ditentukan bahwa hakim dapat menetapkan pidana dengan bersyarat
dalam putusan pemidanaan apabila :
(a) Hakim menjatuhkan pidana penjara
paling lama satu tahun
(b) Hakim menjatuhkan pidana kurungan
(bukan kurungan pengganti denda maupun kurungan pengganti perampasan barang)
(c)
Hakim menjatuhkan pidana denda, dengan ketentuan yaitu :
a) Apabila benar-benar ternyata
pembayaran denda atau perampasan barang yang ditetapkan dalam keputusan itu
menimbulkan keberatan yang sangat bagi terpidana, dan
b) Apabila pelaku tindak pidana yang dijatuhi
denda bersyarat itu bukan berupa pelanggaran yang berhubungan dengan pendapatan
negara.
2.3
Tinjauan
Umum Tentang Pemerkosaan
2.3.1
Pengertian
Pemerkosaan
Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia :
Perkosa : gagah; paksa; kekerasan; perkasa. Memperkosa : 1)
menundukkan dan sebagainya dengan kekerasan: 2) melanggar (menyerang dan sebagainya)
dengan kekerasan. Pemerkosaan: 1) perbuatan memperkosa; penggagahan; paksaan;
2) pelanggaran dengan kekerasan.
Menurut
Soetandyo Wignjosoebroto mendefinisikan
pemerkosaan sebagai berikut (Abdul Wahid dan Muhammad Irfan,2001:40) :
“Pemerkosaan adalah suatu usaha melampiaskan nafsu seksual
oleh seorang lelaki terhadap seorang perempuan dengan cara yang menurut moral
dan atau hukum yang berlaku melanggar”.
Dalam
pengertian seperti ini, apa yang disebut pemerkosaan disatu pihak dapat dilihat
sebagai suatu perbuatan (ialah perbuatan seseorang yang secara paksa hendak
melampiaskan nafsu seksualnya), dan di pihak lain dapat dilihat pula sebagai
suatu peristiwa (ialah pelanggaran norma-norma).
Menurut R. Sugandhi, mendefinisikan pemerkosaan adalah
sebagai berikut (Abdul Wahid dan Muhammad Irfan,2001:41) :
“Seorang pria yang memaksa pada seorang wanita bukan
istrinya untuk melakukan persetubuhan dengannya dengan ancaman kekerasan, yang
mana diharuskan kemaluan pria telah masuk ke dalam lubang kemaluan seorang
wanita yang kemudian mengeluarkan air mani”.
Adapun
unsur-unsur selengkapnya tentang pemerkosaan menurut R. Sugandhi adalah:
a) Pemaksaan bersetubuh oleh laki-laki
kepada wanita yang bukan menjadi istrinya
b) Pemaksaan bersetubuh itu di ikuti dengan
tindak atau ancaman kekerasan
c) Kemaluan pria harus masuk pada
lubang kemaluan wanita
d) Mengeluarkan air mani
Pendapat
itu menunjuk pada suatu pemerkosaan yang terjadi secara tuntas, artinya pihak
pelaku (pemerkosa) telah menyelesaikan perbuatannya hingga selesai
(mengeluarkan air mani). Jika hal ini tidak sampai terjadi, maka secara
ekspilisit apa yang dilakukan pelaku itu belum patut dikategorikan sebagai pemerkosaan.
Pendapat
seperti ini belum tentu sama dan disepakati oleh ahli-ahli lainnya. Ada ahli
yang berpendapat bahwa pemerkosaan tidak selalu harus merupakan deskripsi suatu
persetubuhan yang dilakukan paksa sampai mengeluarkan air mani (sperma). Cukup
dengan pemaksaan persetubuhan (sampai alat kelamin laki-laki masuk kedalam alat
kelamin perempuan), maka hal itu sudah disebut sebagai pemerkosaan.
Lamintang
dan Djisman Samosir berpendapat bahwa (Abdul Wahid dan Muhammad Irfan,2001:41):
”pemerkosaan adalah perbuatan seseorang yang dengan
kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita untuk melakukan
persetubuhan di luar ikatan perkawinan dengan dirinya”.
Bagi
Lamintang dan Djisman Samosir, pemerkosaan harus mengandung unsur:
1)
Ada tindakan kekerasan atau ancaman kekerasan
2)
Memaksa seorang wanita untuk melakukan hubungan biologis
(seksual / persetubuhan)
3)
Persetubuhan yang dilakukan harus diluar ikatan perkawinan
Ketiga unsur itu menunjukan bahwa dalam kasus
perkosan harus bisa dibuktikan adanya unsur kekerasan atau ancaman kekerasan
(seperti diancam hendak dibunuh, dilukai atau dirampas hak-hak asasi lainnya).
Tindakan kekerasan atau ancaman kekerasan itu dijadikan jalan atau menjadi
bagian dari perbuatan yang targetnya memperlancar terjadinya persetubuhan.
Selain itu kekerasan atau ancaman kekerasan itu
hanya berlaku di luar ikatan perkawinan. Dengan kata lain, kekerasan atau
ancaman kekerasan sehubungan dengan persetubuhan dalam hal ikatan perkawinan
tidak disebut pemerkosaan.
Sedang Wirdjono Prodjodikoro mengungkapkan bahwa pemerkosaan
adalah (Abdul Wahid dan Muhammad Irfan,2001:42):
“Seorang laki-laki yang memaksa seorang perempuan yang bukan
istrinya untuk bersetubuh dengan dia, sehingga sedemikian rupa ia tidak dapat
melawan, maka dengan terpaksa ia mau melakukan persetubuhan itu”.
Pendapat
Wirdjono ini juga menekankan mengenai pemaksaan hubungan seksual (persetubuhan)
pada seorang perempuan yang bukan istrinya. Pemaksaan yang dilakukan oleh
laki-laki membuat atau mengakibatkan perempuan terpaksa melayani persetubuhan.
Unsur keterpaksaan dalam persetubuhan itu biasanya didahului oleh perlawanan
dari perempuan sebagai wujud penolakan atau ketidak setujuannya.
2.3.2 Jenis – Jenis Pemerkosaan
Mengenai
jenis-jenis pemerkosaan, seorang ahli kriminologi Mulyana W. Kusuma menyebutkan
sebagai berikut : (Abdul Wahid, 2001:46)
1. Forcible rape yaitu Pasal 285 KUHP: Barang siapa dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar
perkawinan, diancam karena melakukan pemerkosaan dengan pidana penjara paling
lama dua belas tahun.
2. Exploitation Rape yaitu Pemerkosaan yang menunjukkan
bahwa pada setiap kesempatan melakukan hubungan seksual yang diperoleh oleh
laki-laki dengan mengambil keuntungan yang berlawanan dengan posisi perempuan
yang bergantung padanya secara ekonomis dan sosial. Misalnya istri yang
diperkosa oleh suaminya atau pembantu rumah tangga yang diperkosa oleh
majikannya, sedangkan pembantunya tidak mempersoalkan atau mengadukan kasusnya
ini kepada pihak yang berwajib.
3. Victim Precipitated Rape Yaitu pemerkosaan yang terjadi
(berlangsung) dengan menempatkan korban sebagai pencetusnya.
4. Angea Rape Yakni penganiayaan seksual yang
bercirikan seksualitas yang menjadi sarana untuk menyatakan dan melampiaskan
rasa geram dan marah yang tertahan. Tubuh korban disini seakanakan merupakan
obyek terhadap siapa pelaku yang memproyeksikan pemecahan atas
frustasi-frustasi, kelemahan, kesulitan dan kekecewaan hidupnya.
5. Domination Rape Yaitu suatu pemerkosaan yang terjadi
ketika pelaku mencoba untuk gigih atas kekuasaan dan superioritas
terhadap korban. Tujuannya adalah penaklukan seksual, pelaku menyakiti
korban, namun tetap memiliki keinginan berhubungan seksual.
6. Seductive Rape Suatu pemerkosaan yang terjadi pada
situasi-situasi yang merangsang yang tercipta oleh kedua belah pihak.
Pada mulanya korban memutuskan bahwa keintiman personal harus dibatasi
tidak sampai sejauh persenggamaan. Pelaku pada umumnya mempunyai
keyakinan membutuhkan paksaan, oleh karena tanpa itu tidak mempunyai
perasaan bersalah yang menyangkut seks
7. Sadistic Rape Pemerkosaan sadistis, artinya pada
tipe ini seksualitas dan agresif berpadu dalam bentuk yang merusak.
Pelaku pemerkosaan telah nampak menikmati kesenangan erotik bukan melalui
hubungan seksnya, melainkan melalui serangan yang mengerikan atas alat
kelamin dan tubuh korban.
2.3.3
Dasar
Hukum
1. Pasal 285 KUHP, menurut KUHP pemerkosaan
hanya dialamai oleh perempuan - perempuan, pada laki-laki → perbuatan
cabul.
2. Pasal 81 dan 82 UU Nomor 23 tahun
2002 tentang Perlindungan Anak
3. Pasal 5,6 dan 8, 44, 46, 47 dan 48
UU Nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
2.3.4
Unsur-Unsur
Tindak Pidana Pemerkosaan
Dalam
ketentuan Pasal 285 diatas terdapat unsur-unsur untuk membuktikan ada atau
tidaknya tindak pidana pemerkosaan, unsur-unsur yang dimaksud adalah sebagai
berikut :
1. Adanya kekerasan atau ancaman
kekerasan
2.
Memaksa seorang wanita
3.
Bersetubuh di luar perkawinan dengan dia (pelaku)
Ad
a) Adanya kekerasan atau ancaman kekerasan, artinya mempergunakan tenaga atau
kekuatan jasmani tidak kecil secara tidak sah, misalnya memukul dengan tangan
atau dengan segala senjata, menyepak, menendang, dan sebagainya sampai orang
itu jadi pingsan atau tidak berdaya.
Ad
b) Memaksa seorang wanita, artinya dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
memaksa perempuan yang bukan iastrinya bersetubuh dengan dia.
Ad
c) Bersetubuh di luar perkawinan, artinya peraduan antara kemaluan laki-laki
dan perempuan yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota
kelamin laki-laki harus masuk ke anggota kelamin perempuan, sehingga
mengeluarkan mani dengan wanita yang bukan istrinya.
Sementara
tindak pidana pemerkosaan menurut RUU KUHP diatur dalam Bab XVI Tentang Tindak
Pidana Kesusilaan Bagian Kelima Tentang Pemerkosaan dan Perbuatan Cabul
Paragraf 1, yang berbunyi: “Dipidana karena melakukan tindak pidana pemerkosaan,
dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 tahun:
1) Laki-laki yang melakukan
persetubuhan dengan perempuan di luar perkawinan, bertentangan dengan kehendak
perempuan tersebut;
2) Laki-laki yang melakukan
persetubuhan dengan perempuan di luar perkawinan, tanpa persetujuan perempuan
tersebut;
3) Laki-laki yang melakukan persetubuhan
dengan perempuan, dengan persetujuan perempuan tersebut, tetapi persetujuan
tersebut dicapai melalui ancaman untuk dibunuh atau dilukai;
4) Laki-laki yang melakukan
persetubuhan dengan perempuan, dengan persetujuan perempuan tersebut karena
perempuan tersebut percaya bahwa laki-laki tersebut adalah suaminya yang sah;
5) Laki-laki yang melakukan
persetubuhan dengan perempuan yang berusia di bawah 14 (empat belas) tahun,
dengan persetujuannya; atau
6) Laki-laki yang melakukan
persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan tersebut dalam
keadaan pingsan atau tidak berdaya”.
2.3.5
Faktor-Faktor Terjadinya Pemerkosaan
Pemerkosaan merupakan kejahatan
kesusilaan yang bisa disebabkan oleh berbagai faktor. Kejahatan ini cukup
kompleks penyebabnya dan tidak berdiri
sendiri. Penyebabnya dapat dipengaruhi oleh kondisi yang mendukung, keberadaan
korban yang secara tidak langsung mendorong pelakunya dan bisa jadi karena ada
unsur-unsur lain yang mempengaruhinya.
Menurut Lidya Suryani W. dan Sri
Wurdani, bahwa “pemerkosaan dapat terjadi karena berbagai macam sebab, seperti
adanya rasa dendam pelaku pada korban, karena rasa dendam pelaku pada seorang
wanita sehingga wanita lain menjadi sasaran kemarahannya, korban sebagai
kompensasi perasaan tertekan atau stress berbagai masalah yang dihadapinaya,
karena pengaruh rangsangan lingkungan seperti film atau gambar-gambar porno,
dan karena keinginan pelaku menyalurkan dorongan seksualnya yang sudah tidak
dapat di tahannya, juga karena didukung oleh situasi dan kondisi lingkungan
maupun pelaku dan korban yang memungkinkan dilakukannya pemerkosaan. Dalam
setiap kasus pemerkosaan paling tidak melibatkan tiga hal, yakni: pelaku,
korban, dan situasi serta kondisi. Ketiga hal tersebut tidak dapat dipisahkan
satu sama lain. Masing-masing mempunyai andil sendiri-sendiri dalam mendorong
timbulnya suatu tindak pidana pemerkosaan.
Sementara itu Psikolog Hartini
Kartono mendeskripsikan latar belakang pemerkosaan, “pada peristiwa pemerkosaan,
sang pemerkosa selalu di dorong oleh nafsu-nafsu seks yang sangat kuat,
dibarengi emosi-emosi yang tidak dewasa dan tidak mapan. Biasanya dimuati oleh
unsur-unsur kekejaman dan sifat sadistis.
Berbeda dengan itu, Made Weda
berpendapat, “studi tentang korban kejahatan mencatat adanya peranan korban
yang disebut victim precipitation. Dalam hal ini prilaku-prilaku si korban,
disadari atau tidak, merangsang timbulnya pemerkosaan. Sebagai contoh, seorang
wanita berjalan sendiri ditempat yang sepi, cara korban berpakaian yang dapat
merangsang seseorang untuk melakukan kejahatan pemerkosaan.”
Pendapat itu menunjukan mengenai
posisi korban yang secara tidak langsung turut ambil bagian terhadap terjadinya
pemerkosaan. Artinya, ada sikap, prilaku, cara menempatkan diri, cara bergaul
dan hadir pada suasana yang menurut pandangan umum tidak lazim, yang dapat
mendorong emosi dan nafsu laki-laki untuk berbuat tidak senonoh dan
memperkosanya. Korban telah menempatkan dirinya sebagai “pelaku secara tidak
langsung, karena apa yang diperbuatnya telah mendorong terjadina kriminalitas”.
Pendapat tersebut dipertegas lai
oleh Anton Tabah, “meningkatnya kasus pemerkosaan terkait erat dengan aspek sosial
budaya. Budaya yang semakin terbuka, pergaulan yang semakin bebas, cara berpakaian
kaum hawa yang semakin merangsang , dan kadang-kadang dengan berbagai perhiasan
mahal, kebiasaan-kebiasaan bepergian jauh sendirian, adalah factor-faktor
dominan yang mempengaruhi tingginya frekuensi kasus pemerkosaan. Belum lagi
mutu penghayatan keagamaan masyarakat yang semakin longgar. Belum lagi vonis
hakim terhadap pelaku pemerkosaan yang tak setimpal.”
Dari sejumlah pendapat pakar di
atas, dapat di simpulkan bahwa factor penyebab terjadinya pemerkosaan
setidak-tidaknya adalah sebagai berikut:
(1) Pengaruh perkembangan budaya yang
semakin tidak menghargai etika berpakaian yang menutup aurat, yang dapat
merangsang pihak lain untuk berbuat tidak senono dan jahat.
(2) Gaya hidup atau mode pergaulan
antara laki-laki dan perempuan yang semakin bebas, tidak atau kurang bisa lagi
menbedakan antara yang seharusnya boleh dikerjakan dengan yang dilarang dalam
hubungannya dengan kaedah akhlak mengenai hubungan laki-laki dengan perempuan.
(3) Rendahnya pengalaman dan penghayatan
terhadap norma-norma keagamaan yang terjadi di tengah masyarakat. Nilai-nilai
keagamaan yang semakin terkikis di masyarakat atau pola relasi horizontal yang
cenderung semakin meniadakan peran agama adalah sangat potensial untuk
mendorong seseorang berbuat jahat dan merugikan orang lain.
(4) Tingkat kontrol masyarakat (social
control) yang rendah, artinya berbagai prilaku yang diduga sebagai
penyimpangan, melanggar hukum dan norma keagamaan kurang mendapatkan response
dan pengawasan dari unsur-unsur masyarakat.
(5) Putusan hakim yang terasa tak adil,
seperti putusan yang cukup ringan yang dijatuhkan pada pelaku. Hal ini di
mungkinkan dapat mendorong anggota-anggota masyarakat lainnya untuk berbuat
keji dan jahat. Artinya mereka yang hendak berbuat jahat tidak merasa takut
lagi dengan sanksi hukum yang akan diterimanya.
(6) Ketidak mampuan pelaku untuk
mengendalikan emosi dan nafsu seksualnya. Nafsu seksualnya dibiarkan mengembara
dan menuntutnya untuk dicarikan kompensasi pemuasnya.
(7) Keinginan pelaku untuk melakukan
(melampiaskan) balas dendam terhadap sikap, ucapan (keputusan) dan prilaku
korban yang dianggap menyakiti dan merugikannya.
2.4
Tinjauan
Umum Tentang Korban Kejahatan Pemerkosaan
2.4.1
Pengertian
Korban Pemerkosaan
Menurut Arif Gosita, korban pemerkosaan adalah seorang
wanita, yang dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan dipaksa bersetubuh
dengan orang lain di luar perkawinan.
Hal
ini terlihat dari bunyi Pasal 285 KUHP yaitu “Barang siapa dengan kekerasan
atau dengan ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh
dengan dia, dihukum, karena memperkosa, dengan hukuman penjara selama – lamanya
dua belas tahun”.
Dari
ketentuan Pasal diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian korban pemerkosaan
adalah : Korban pemerkosaan harus seorang wanita, tanpa batas umur (obyek).
Mengunakan kekerasan atau ancaman kekerasaan, Sedangkan seorang laki-laki yang
diperkosa oleh wanita, tidak termasuk dalam kajian Pasal 285 KUHP, sehingga
korban pemerkosaan itu harus memenuhi unsur :
a. Korban adalah seoarang Wanita tampa
batas umur dan belum bersuami atau belum menikah
b. Korban harus mengalami kekerasan
atau ancaman kekerasan. Ini berarti tidak ada persetujuan dari pihak korban
niat dan tindakan perlakukan pelaku.
c. Persetubuhan diluar perkawinan
adalah tujuan yang ingin dicapai dengan melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan terhadap wanita tertentu (Arif Gosita, 2004 : 46).
2.4.2
Jenis-Jenis Korban Pemerkosaan
Perkembangan
ilmu viktimologi selain mengajak masyarakat untuk lebih memperhatikan posisi
korban juga memilah-milah jenis korban hingga kemudian muncullah berbagai jenis
korban, yaitu
1. Nonparticipating victims, yaitu mereka yang tidak peduli
terhadap upaya penanggulangan kejahatan.:
2. Latent victims, yaitu mereka yang mempunyai sifat
karakter tertentu sehingga cenderung menjadi korban.
3. Procative victims, yaitu mereka yang menimbulkan
rangsangan terjadinya kejahatan
4. Participating victims, yaitu mereka yang dengan
perilakunya memudahkan dirinya menjadi korban.
5. False victims, yaitu mereka yang menjadi korban
karena perbuatan yang dibuatnya sendiri.
Menurut
Arif Gosita, jenis-jenis korban pemerkosaan
adalah sebagai berikut:
1. Korban murni terdiri atas
a. Korban pemerkosaan yang belum pernah
berhubungan dengan pihak pelaku sebelum pemerkosaan;
b. Korban pemerkosaan yang pernah
berhubungan dengan pihak pelaku sebelum pemerkosaan
2. Korban ganda ( double / multiple
victimization) Adalah korban pemerkosaan yang selain mengalami penderitaan
selama diperkosa, juga mengalami berbagai penderitaan mental, fisik, dan
sosial, misalnya: mengalami ancaman-ancaman yang mengganggu jiwanya, mendapat
pelayanan yang tidak baik selama pemeriksaan Pengadilan, tidak mendapat ganti
kerugian, mengeluarkan uang pengobatan, dikucilkan dari masyarakat karena sudah
cacat khusus, dan lain-lain.
3. Korban semu (pura-pura diperkosa)
Adalah korban yang sebenarnya sekaligus juga pelaku. Ia berlagak diperkosa
dengan tujuan mendapat sesuatu dari pihak pelaku.
a) Ada kemungkinan ia berbuat demikian
karena kehendaknya sendiri;
b) Ada kemungkinan ia berbuat demikian
karena disuruh, dipaksa untuk berbuat demikian demi kepentingan yang menyuruh.
Dalam pengertian tertentu, pelaku menjadi korban tindakan jahat lain.
2.5
Modus Operandi Dalam Tindak Pidana
Pemerkosaan
Modus operandi dari tindak pidana
pemerkosaan yang dilakukan oleh tersangka secara individual ataupun perkelompok
dalam kasus ini menunjukan adanya pemaksaan dan kekerasan terhadap korban,
korban dibuat takut sehingga tidak berani melawan, dan pelaku selain melakukan penganiyayaan
seksual juga melakukan berbagai kejahatan lain, seperti perampkan dan
perambasan harta benda, diancam dan dipaksa, dirayu, diberi obat bius, dan
tidak menutup kemungkinan apabila terjadi tindak pidana pemerkosaan kemungkinan
si korban berpakaian merangsang, suka keluar malam atau berada ditempat sepi,
sehingga pelaku kejahatan mempunyai kesempatan untuk melakukan aksi
kejahatannya.
2.6
Tinjauan Viktimologi Terhadap
Peran Korban Dalam Terjadinya Tindak Pidana Pemerkosaan
|
Tinjauan Yuridis Terhadap Peran
Korban Dalam Terjadinya Tindak Pidana Pemerkosaan
|
Peranan Korban dalam terjadinya tindak pidana
pemerkosaan:
1. Berpakaian
Sexi/Vulgar
2. Berjalan
ditempat sepi sendirian
|
Berkurangnya Tindak Pidana
Pemerkosaan Di Masyarakat
|
KUHP
|
Upaya-upaya penanggulangan oleh
Polres Pohuwato:
1. Upaya
Preventif atau pencegahan berupa sosialisasi atau penyuluhan hukum kepada
masyarakat
2. Upaya
Represif atau Tindakan berupa penanganan tindak pidana pemerkosaan yang
masuk di Polres Pohuwato sesuai prosedur.
|
Gambar 1: Skema kerangka Pikir
2.7
Definisi Operasional
a) Viktimologi berasal dari bahasa latin Victima
yang berarti korban dan logos yang
berarti ilmu. Secara terminologis, viktimologi berarti suatu studi yang
mempelajari tentang korban, penyebab timbulnya korban, dan akibat-akibat penimbulan
korban yang merupakan masalah manusia sebagai suatu kenyataan sosial (Rena
Yulia, Viktimologi Perlindungan hukum
Terhadap Korban Kejahatan, hlm 43).
b) Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental,
dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana (Undang-Undang No 13 Tahun 2006, Pasal 1
angka 2)
c) Tindak pidana, peristiwa pidana dan perbuatan pidana merupakan
beberapa istilah dari penerjemahan istilah “strafbaar
feit” kedalam bahasa Indonesia. Dari segi harfiah, istilah strafbaar feit terdiri dari straf berarti hukuman (pidana), baar berarti dapat (boleh), dan feit berarti peristiwa (perbuatan).
Jadi, istilah strafbaar feit adalah
peristiwa yang dapat dipidana atau perbuatan yang dapat dipidana. Berikut ini
adalah beberapa pengertian strafbaar feit dari para ahli (Lamintang, 1997:181) :
1.
Hazewinkel
Suringa: strafbaar feit adalah suatu
perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak didalam suatu
pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan
oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang
terdapat di dalam Undang-Undang.
2.
Pompe:
memberikan batasan pengertian strafbaar
feit adalah suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang
dengan sengaja ataupun tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku.
Dimana penjatuhan hukum terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi
terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.
3.
Simons: strafbaar feit adalah suatu tindakan
melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan
sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan
yang oleh Undang-Undang telah dinyatakan dengan suatu tindakan yang dapat
dihukum.
4.
Vos: strafbaar feit adalah suatu kelakuan (gedraging) manusia yang dilarang oleh
Undang-Undang diancam dengan pidana.
5.
Moeljatno:
menterjemahkan strafbaar feit menjadi
perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum
larangan dimana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pemidanaan bagi barang
siapa yang melanggar larangan tersebut. Atau dapat juga dirumuskan bahwa
perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan
diancam pidana.
6.
Roeslan
Saleh : memberikan batasan perbuatan pidana adalah perbuatan yang bertentangan
dengan tata atau ketentuan yang dikehendaki oleh hukum, syarat utama dari
adanya perbuatan pidana adalah kenyataan bahwa ada aturan yang melarang.
7.
R.
Tresna: memberikan batasan pengertian peristiwa pidana adalah suatu perbuatan
atau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan Undang-Undang atau
perundang-undangan lainnya terhadap perbuatan mana diadakan tindakan
pemidanaan.
8.
Rusli
Effendy: memberi batasan dengan mepergunakan istilah peristiwa pidana adalah suatu peristiwa yang dapat dikenakan
pidana oleh hukum pidana, memakai kata hukum pidana tertulis dan ada hukum pidana
yang tidak tertulis (hukum pidana adat).
9.
A. Zainal
Abidin Farid: mendasari pendapatnya dari para ahli hukum pidana Belanda yang
memberi pengertian strafbaar feit,
yakni menurut Simons bahwa strafbaar feit
terjemahan peristiwa pidana adalah perbuatan melawan hukum yang berkaitan
dengan kesalahan (schuld) seseorang
yang mampu bertanggungjawab.
d) Pemerkosaan adalah perbuatan seseorang yang dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa seorang wanita untuk melakukan persetubuhan di luar ikatan
perkawinan dengan dirinya (Lamintang dan Djisman Samosir dalam Abdul Wahid dan
Muhammad Irfan, 2001:41)
BAB III
MOTODE PENELITIAN
3.1
Jenis Penelitian
Bertitik tolak dari permasalahan pokok yang
dikemukakan diatas, maka penulis menggunakan tipe penelitian yuridis normatif
yaitu memusatkan penelitian pada sumber-sumber data skunder (Penelitian
Kepustakaan). Selain itu untuk mendukung data skunder, juga dilakukan tipe
penelitian yuridis empiris yaitu melakukan penelitian dengan cara mengumpulkan
data primer yang didapat dari wawancara dengan beberapa narasumber terkait yang
berhubunga dengan pokok masalah yang dibahas.
Adapun sifat penelitian ini adalah penelitian hukum
deskriptif, yakni penelitian yang menggambarkan sekaligus menjelaskan
temuan-temuan penelitian dan kemudian menganalisisnya dengan logika berfikir
hukum (legal reasioning)
3.2
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada Unit PPA Kepolisian Resort Pohuwato, dipilihnya lokasi tersebut
karena pertimbangan obyektif, antara lain agar dapat mendukung pengumpulan
data-data yang dibutuhkan penulis guna menyempurnakan hasil penelitian
nantinya.
3.3 Jenis dan Sumber Data
1.
Jenis
data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data skunder.
a. Data
primer adalah data yang dikumpulkan dan diolah yang diperoleh secara langsung
dari responden atau informan dalam hal ini adalah dari Penyidik Unit PPA Polres
Pohuwato dan beberapa tokoh masyarakat yang ada.
b. Data skunder adalah data yang diperoleh dari
penelaahan studi kepustakaan, dokumen, artikel, serta literatur yang relevan
dengan penelitian ini.
2.
Sumber
Data
a.
Sumber
data primer pada penelitian ini adalah data lapangan yang diperoleh secara
langsung yang bersumber pada responden dan informan yaitu Penyidik Unit PPA
Polres Pohuwato dan beberapa tokoh masyarakat yang ada.
b.
Sumber data skunder adalah data yang dikumpulkan dan
diolah yang diperoleh secara langsung dari responden atau informan sebagai
sumber data dan dokumen
yang relefan.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Data primer dan data sekunder
yang bersiifat kualitatif maupun kuantitatif yang diperlukan dikumpulkan dengan
menggunakan teknik sebagai berikut :
1.
Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu.
Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang
mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan
jawaban atas pertanyaan itu. Dalam penelitian ini wawancara dilakukan dalam
bentuk Tanya jawab terhadap:
a.
Penyidik
Unit PPA Polres Pohuwato,
b.
Tokoh
masyarakat.
2.
Observasi
Observasi diartikan sebagai
pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala yang tampak pada
objek penelitian. Pengamatan dan pencatatan yang dilakukan terhadap objek
ditempat terjadi atau berlangsungnya peristiwa, sehingga observer (peneliti)
berada bersama objek yang diselidiki (diteliti), disebut observasi langsung.
Sedangkan observasi tidak langsung adalah pengamatan yang dilakukan tidak pada
saat berlangsungnya sesuatu yang akan diselidiki. Observasi dalam penelitian
ini akan dilakukan secara tidak langsung maupun langsung apabila memungkinkan
untuk peneliti.
3.
Dokumentasi adalah teknik pengumpulan data melalui
pencatatan informasi dari dokumen-dokumen yang telah ada.
3.5
Populasi
dan Sampel
1. Populasi
Populasi
adalah seluruh objek atau seluruh individu atau seluruh unit yang diteliti.
2.
Sampel
Sampel penelitian yakni
sebagian dari populasi yang dipilih melalui teknik pengambilan sampel purposif (teknik
purposif sampling) terhadap responden, yang meliputi :
a.
Tiga orang Penyidik Unit PPA Polres Pohuwato:
1.
KANIT
PPA
2.
Dua
orang Penyidik Pembantu Unit PPA
b.
Lima
orang Tokoh masyarakat.
3.6 Tekhnik Analisis Data
Analisis
merupakan langkah terakhir dalam kegiatan penelitian ini. Data yang terkumpul
di analisis untuk mendapatkan kejelasan masalah yang akan di bahas. Analisis
data ini dilakukan secara “Kualitatif”, yaitu: penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang
dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa
yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.
Data yang telah diperoleh secara langsung melalui wawancara disusun secara
sistematis untuk selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk menguraikan
kenyataan-kenyataan yang ada didalam masyarakat.
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Unit
Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) adalah suatu unit yang bertugas menangani
kasus yang terkait dengan perempuan dan
anak, baik sebagai korban maupun pelaku kejahatan.
Unit
Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) di tingkat Polres Pohuwato merupakan Unit
dibawah Kasat Reskrim Polres Pohuwato yabg berdiri berdasarkan Surat Keputusan
Kapolri No 23 tahun 2010 Tanggal 30 September 2010.
4.1.1
Tugas Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA)
Unit
Pelayanan Perempuan dan Anak bertugas untuk memberikan pelayanan dalam bentuk
perlindungan terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban kejahatan atau
kekerasan dan penegakan hukum terhadap pelakunya. Tugas ini meliputi:
1. Menerima
laporan/pengaduan tentang tindak pidana.
2. Membuat
laporan polisi.
3. Memberikan
konseling.
4. Mengirimkan
korban ke PPT atau RS terdekat atau puskesmas.
5. Mengeluarkan
Surat Permintaan Visum (SPV)
6. Melaksanakan
penyidikan perkara.
7. Memberikan
penjelasan kepada pelapor tentang posisi kasus, hak-hak dan kewajibannya.
8. Menjamin
kerahasiaan informasi yang diperoleh.
9. Menjamin
keamanan dan keselamatan korban.
10. Merujuk
korban ke lembaga Bantuan Hukum (LBH)
11. Mengadakan
koordinasi dan kerja sama dengan lintas sektoral.
12. Member
tahu perkembangan penanganan kasus kepada pelapor dalam bentuk Surat
Pemberitahuan Hasil Penyidikan (SP2HP).
13. Menyelesaikan
dan menyerahkan berkas perkara kepada jaksa penuntut umum (JPU)
4.1.2
Wewenang Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA)
Dalam
melaksanakan tugasnya Unit pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) berwewenang
melaksanakan proses penyelidikan, penyidikan, Koordinasi dan kerjasama,
penyelesaian dan penyerahan berkas perkara kekerasan terhadap perempuan dan
anak ke Kejaksaan.
4.1.3
Struktur Organisasi Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA)
KAPOLRES
SUHERU
S.Ik
AKBP
|
KASAT RESKRIM
ZAINAL
A. HAMZAH
AKP
|
KANIT PPA
JABRIN
KADIR, S.H
BRIPKA
|
UNIT IDIK
MOUDY
GOSAL
BRIGADIR
|
UNIT LINDUNG
MARKUS
PUSUT
BRIGADIR
|
Gambar
2 : Bagan Struktur Organisasi Unit PPA Polres Pohuwato
4.2
Peranan Korban Dalam Terjadinya Tindak Pidana Pemerkosaan Di Kabupaten Pohuwato
Tindak
pidana pemerkosaan merupakan suatu tindak pidana yang sangat merugikan bagi
korbannya, tindak pidana ini berdampak
tidak hanya pada fisik si korban saja namun berdampak pada psikologis si korban
dan berefek sangat panjang.
Seiring
dengan perkembangan jaman yang semakin modern, semakin banyak juga ragam kejahatan
yang muncul dimasyarakat, disamping itu kejahatan-kejahatan pun semakin kian
meningkat, dan hal itu tidak hanya terjadi di kota-kota besar saja, namun
menyebar luas diseluruh pelosok penjuru nusantara.
Tidak
terkecuali dengan tindak pidana pemerkosaan, di Kabupaten pohuwato selama dua
tahun terakhir ini mengalami peningkatan yang signifikan. Hal ini dapat kita
lihat dari tabel berikut:
Gambar
3: Tabel Jumlah Tindak Pidana
Pemerkosaan di Kabupaten Pohuwato Tahun 2011-2012
TAHUN
|
JUMLAH
|
2011
|
1
|
2012
|
4
|
Sumber: Unit PPA Polres
Pohuwato
Peningkatan
tindak pidana pemerkosaan diatas tentunya disebabkan oleh banyak faktor. Yang
diantaranya : faktor korban mempunyai
hubungan dengan pelaku, faktor lingkungan, pengaruh video atapun gambar-gambar
porno dan faktor korban itu sendiri (Wawancara dengan Bapak Jabrin Kadir, S.H). Dan dalam pembahasan ini kita akan
membahas lebih mendalam mengenai faktor korban atau peranan korban dalam
menyebabkan tindak pidana pemerkosaan terjadi.
Masalah
korban sebetulnya bukanlah masalah yang baru, hanya karena hal-hal tertentu
kurang diperhatikan, bahkan diabaikan. Apabila mengamati masalah kejahatan
menurut proporsi yang sebenarnya secara dimensional, maka mau tidak mau kita
harus memperhitungkan peranan korban dalam timbulnya suatu kejahatan.
Peran
yang dimaksud adalah sebagai sikap dan keadaan diri seseorang yang akan menjadi
calon korban ataupun sikap dan keadaan yang dapat memicu seseorang untuk
berbuat kejahatan.
Korban
mempunyai peranan yang fungsional dalam terjadinya suatu kejahatan. Pada
kenyataanya dapat dikatakan bahwa tidak mungkin timbul suatu kejahatan kalau
tidak ada korban kejahatan, yang merupakan peserta utama dari penjahat dalam
hal terjadi nya suatu kejahatan dan hal pemenuhan kepentingan sipenjahat yang
berakibat penderitaan korban.
Dalam studi tentang
kejahatan dapat dikatakan bahwa tidak ada kejahatan tanpa menimbulkan korban.
Dengan demikian, korban adalah partisipan utama, meskipun pada sisi lain
dikenal pula kejahatan tanpa korban (Crime
without victim), akan tetapi harus diartikan kejahatan yang tidak
menimbulkan korban dipihak lain, misalnya penyalahgunaan obat terlarang,
perjudian, aborsi, dimana korban menyatu sebagai pelaku.
Dikatakan tanpa korban
tidak mungkin terjadi suatu kejahatan. Jadi jelas bahwa, pihak korban sebagai
partisipan utama memainkan peranan penting. Bahkan setelah kejahatan
dilaksanakan. Dalam masalah penyelesaian konflik dan penentuan hukuman bagi
pihak pelaku, dapat juga terjadi suatu
kejahatan yang dilakukan oleh pihak korban apabila dirasakan ada tindak
lanjut yang tidak adil dan merugikan korban.
Pihak korban yang
mempunyai status sebagai partisipan pasif maupun aktif dalam suatu kejahatan,
memainkan berbagai macam peranan yang mempengaruhi terjadinya kejahatan
tersebut. Pelaksana peran-peran pihak korban dipengaruhi oleh situasi dan
kondisi tertentu langsung atau tidak langsung. Pengaruh tersebut hasilnya tidak
selalu sama pada korban.
Peranan korban
kejahatan ini antara lain berhubungan dengan apa yang dilakukan pihak korban,
bilamana dilakukan sesuatu, dimana hal tersebut dilakukan. Peranan korban ini
mempunyai akibat dan pengaruh bagi diri korban serta pihak-pihak lain dan
lingkungannya. Antara pihak korban dan pihak pelaku terdapat hubungan
fungsional. Bahkan dalam terjadinya kejahatan tertentu pihak korban dikatakan
bertanggung jawab.
Pihak korban dapat
berperan dalam keadaan sadar atau tidak sadar, secara langsung atau tidak
langsung, sendiri atau bersama-sama, bertanggung jawab atau tidak, secara aktif
atau pasif, dengan motivasi positif maupun negatif. Semuanya bergantung pada
situasi dan kondisi pada saat kejahatan tersebut berlangsung.
Piihak korban sebagai
partisipan utama dalam terjadinya kejahatan memainkan berbagai macam peranan
yang dibatasi situasi dan kondisi tertentu, dalam kenyataan, tidak mudah
membedakan secara tajam setiap peranan yang dimainkan pihak korban.
Situasi dan kondisi
pihak korban dapat merangsang pihak pelaku untuk melakukan suatu kejahatan
terhadap pihak korban. Pihak korban
sendiri dapat tidak melakukan suatu tindakan, tidak berkemauan atau rela untuk menjadi korban. Situasi atau
kondisi yang ada pada dirinyalah yang merangsang, mendorong pihak lain
melakukan suatu kejahatan, karena kerap kali antara pihak pelaku dan pihak
korban tidak terdapat hubungan terlebih dahulu. Situasi dan kondisi tersebut
antara lain berkaitan dengan kelemahan fisik, dan mental pihak korban.
Dalam mengkaji masalah
kejahatan, maka pada hakikatnya ada beberapa komponen yang perlu diperhatikan.
Lazimnya orang Cuma memperhatikan dalam analisis kejahatan hanya komponen
penjahat, undang-undang, dan penegak hukum serta interaksi antara ketiga
komponen itu. Masalah konstelasi masyarakat dan faktor lainnya, kalaupun
dikaji, lebih banyak disoroti oleh sosiologi dan kriminologi. Selain dari pada
itu, komponen korban hampir terlupakan dalam analisis ilmiah. Kalaupun
dipersoalkan faktor korban, analisisnya belum dikupas secara bulat dan tuntas.
Masalah korban ini
sebetulnya bukanlah masalah yang baru, karena hal-hal tertentu kurang diperhatikan,
bahkan diabaikan. Apabila mengamati masalah kejahatan menurut proporsi yang
sebenarnya secara dimensional, maka perhatian kita tidak akan lepas dari
peranan si korban dalam timbulnya suatu kejahatan. Korban mempunyai peranan
yang fungsional dalam terjadinya suatu kejahatan. Pada kenyataanya dapat
dikatakan bahwa tidak mungkin timbul suatu kejahatan kalau tidak ada si korban
kejahatan, yang merupakan peserta utama dari si penjahat dalam hal terjadinya
suatu kejahatan dan hal pemenuhan kepentingan si penjahat yang berakibat
penderitaan sikorban.
Walaupun korban
berperan dalam terjadinya kejahatan, tetapi korban juga tetap memiliki hak-hak
yang harus dipenuhi dalam implementasinya. Dengan melihat beberapa hak-hak
korban diharapkan masyarakat memahami, bahwa korban juga mempunyai hak-hak yang
harus dihormati seperti layaknya manusia yang merupakan bagian dari anggota
masyarakat. Begitu juga dengan pelaku
tindak pidana yang menjadi korban tindak main hakim sendiri adalah sama dengan
korban yang lain, mereka mempunyai hak-hak korban yang dimiliki oleh korban
kejahatan lain karena mereka juga merupakan korban kejahatan.
Berdasarkan
hasil wawancara dengan Bapak Jabrin
Kadir SH, Salah seorang penyidik yang ada di Kepolisian Resort Pohuwato
yang menjabat sebagai Kepala Unit Pelayanan Perempuan dan Anak pada tanggal 04 Desember 2012, beliau
mengatakan bahwa ada banyak hal yang menjadi faktor penyebab terjadinya tindak pidana
pemerkosaan, diantaranya: korban
mempunyai hubungan dengan pelaku, faktor lingkungan, pengaruh video atapun
gambar-gambar porno dan faktor korban itu sendiri.
Dikatakan
korban mempunyai hubungan dengan pelaku artinya sudah ada relasi terlebih
dahulu (dalam ukuran intensitas tertentu) antara korban dengan pelakunya.
Dimana dalam beberapa kasus yang ada selalu tersangka terlebih dahulu sudah
mengenal atau mempunyai hubungan dengan korban. Misalnya, pembantu rumah tangga
yang diperkosa oleh majikannya, seorang wanita yang diperkosa oleh pacarnya,
dan lain-lain.
Faktor
lingkungan yang dimaksud adalah faktor eksternal yang berasal dari luar diri
pelaku tindak pidana, misalnya situasi dan kondisi yang sepi, sehingga
memungkinkan bagi pelaku untuk melancarkan aksinya kepada korban.
Pengaruh
video ataupun gambar-gambar porno ini merupakan faktor internal yang berasal
dari diri pelaku tindak pidana. Kebiasaan pelaku yang sering menonton video
ataupun melihat gambar-gambar porno dapat menimbulkan dampak negative pada diri
pelaku, sehingga ia mempunyai keinginan untuk menyalurkan nafsu birahinya dengan cara melakukan tindak pidana pemerkosaan.
Sedangkan
yang dimaksud dengan faktor korban disini adalah kebiasaan atau tingkah laku
korban yang cenderung menjadi penyebab dilakukannya tindak pidana pemerkosaan
oleh pelaku. Kebiasaan atau tingkah laku korban ini antara lain: cara
berpakaian korban yang selalu menggunakan pakaian yang fulgar/minim, tingkah
laku korban yang merangsang pelaku melakukan tindak pidana pemerkosaan, tutur
bicara korban yang merangsang pelaku sehingga melakukan tindak pidana pemerkosaan,
ataupun kebiasaan-kebiasaan korban yang suka berjalan ditempat-tempat sepi
tanpa didampingi suami, orang tua atau unsure keluarga dekatnya.
Pendapat
itu dipertegas oleh Eko Prasetyo Dan Suparman Marzuki yang dikutip oleh Abdul
Wahid dan Muhammad Irfan dalam bukunya yang berjudul Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual Advokasi Atas Hak Asasi
Perempuan yang menyatakan bahwa “Dalam setiap kasus perkosaan paling tidak
melibatkan tiga hal, yakni: pelaku, korban dan situasi serta kondisi. Ketiga
hal tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Masing-masing mempunyai
andil sendiri-sendiri dalam mendorong timbulnya suatu tindak pidana perkosaan.
Pendapat
itu menunjukan bahwa pemerkosaan dapat terjadi bukan semata-mata disebabkan
oleh dorongan seksual yang tidak bisa dikendalikan dan membutuhkan pelampiasan,
namun juga di dukung oleh peran pelaku, posisi korban dan pengaruh lingkungan.
Pelaku
menjadi gambaran sosok manusia yang gagal mengendalikan emosi dan naluri
seksualnya secara wajar, sementara korban juga memerankan dirinya sebagai
faktor kriminogen, artinya sebagai pendorong langsung maupun tidak langsung
terhadap terjadinya tindak pidana pemerkosaan. Posisi pelaku dengan korban ini
pun di dukung oleh peran lingkungan (seperti jauh dari keramaian, sepi dan
ruang tertutup) yang memungkinkan pelaku dapat leluasa menjalankan aksi-aksi
jahatnya.
Hal
senada disampaikan oleh Brigadir Markus
Pusut (Wawancara Tanggal 19 Desember
2012) salah satu penyidik di Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Resort Kriminal
Polres Pohuwato, beliau mengatakan bahwa “dalam setiap tindak pidana
pemerkosaan yang terjadi, secara tidak langsung korban pasti mempunyai peranan
sebagai penyebab terjadinya tindak pidana tersebut meskipun hanya kecil, dan
hal ini sangat jarang dibicarakan karena mengingat korban adalah pihak yang
dirugikan”.
Dari
keterangan beliau diatas, dapat ditarik satu kesimpulan bahwa dala setiap
tindak pidana pemerkosaan terjadi, secara tidak langsung korban mempunyai peran
yang tak bisa dipisahkan dan menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya
tindak pidana pemerkosaan.
Peranan
tersebut dapat berupa: kebiasaan seorang wanita berjalan sendiri
ditempat-tempat sepi, cara korban berpakaian yang dapat merangsang seseorang
untuk melakukan kejahatan pemerkosaan ataupun sikap dan tutur kata korban yang
merangsang pelaku melakukan tindak idana tersebut.
Hal
ini sejalan dengan pendapat Made Darma Weda yang dikutip oleh Abdul Wahid dan
Muhammad Irfan dalam bukunya yang berjudul Perlindungan
Terhadap Korban Kekerasan Seksual Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan, yang
menyatakan bahwa “Studi tentang korban kejahatan mencatat adanya peranan korban
yang disebut “victim precipitation”.
Dalam hal ini prilaku sikorban, disadari atau tidak , merangsang timbulnya
perkosaan. Sebagai contoh, seorang wanita berjalan sendiri di tempat yang sepi,
cara korban berpakaian yang dapat merangsang seseorang untuk melakukan
kejahatan perkosaan”.
Pendapat
itu menunjukan mengenai posisi korban yang secara tidak langsung turut ambil
bagian terhadap terjadinya pemerkosaan. Artinya, ada sikap, prilaku, cara
menempatkan diri, cara bergaul, dan hadir pada suasana yang menurut pandangan
umum tidak lazim, yang dapatt mendorong emosi dan nafsu laki-laki untuk berbuat
tidak senonoh dan memperkosanya. Korban telah menempatkan dirinya sebagai
“pelaku secara tidak langsung, karena apa yang diperbuatnya telah mendorong
terjadinya kriminalitas”.
Pendapat
itu dipertegas oleh Anton Tabah (Dalam Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan terhadap korban kekerasan
seksual Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan, Hlm:71), beliau mengatakan
“meningkatnya kasus perkosaan terkait erat dengan aspek sosial-budaya. Budaya
yang semakin terbuka, pergaulan yang semakin bebas, cara berpakaian kaum hawa
yang semakin merangsang dan kadang-kadang dengan berbagai perhiasan mahal, kebiasaan bepergian
jauh sendirian, adalah faktor-faktor dominan
yang mempengaruhi tingginya frekuensi kasus perkosaan.
Begitu
pula dengan beberapa tokoh masyarakat yang sempat diwawancarai secara terpisah
(Bapak Suharto (Taluditi) Pada
tanggal 28 Desember 2012, Bapak Bambang Hari Utomo (Randangan) Pada
tanggal 5 Januari 2013, Bapak Kahar Sabu (Buntulia Jaya) pada tanggal
7 Januari 2013, Ibu Sartin Pakaya (Buntulia Selatan) Pada
tanggal 10 Januari 2013 dan Bapak Riadi S.Pdi (Makarti Jaya) pada
tanggal 19 Januari 2013), mereka
mengatakan yang pada intinya bahwa selain kebiasaan pelaku yang suka menonton
atau melihat gambar-gambar porno, kebiasaan korban yang sering berpakaian
fulgar dan berjalan ditempat-tempat sepi sendirian juga menjadi salah satu
faktor penyebab terjadinya tindak pidana pemerkosaan dimasyarakat.
4.3 Upaya Kepolisian Resort Pohuwato Untuk Mencegah
Peningkatan Tindak Pidana Pemerkosaan Di Kabupaten Pohuwato
Kejahatan adalah masalah sosial yang dihadapi oleh
masyarakat di seluruh negara semenjak dahulu dan pada hakikatnya merupakan
produk dari masyarakat sendiri. Kejahatan dalam arti luas, menyangkut
pelanggaran dari norma-norma yang dikenal masyarakat, seperti norma-norma
agama, norma moral dan norma hukum. Norma hukum pada umumnya dirumuskan dalam
undang-undang yang dipertanggungjawabkan aparat pemerintah untuk menegakkannya,
terutama kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Namun, karena kejahatan langsung
mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat, maka wajarlah bila semua pihak
baik pemerintah maupun warga masyarakat ikut mempertanggung jawabkannya ,
karena setiap orang mendambakan kehidupan bermasyarakat yang tenang dan damai.
Menyadari tingginya tingkat kejahatan, maka secara langsung
atau tidak langsung mendorong pula perkembangan dari pemberian reaksi terhadap
kejahatan dan pelaku kejahatan yang pada hakikatnya berkaitan dengan maksud dan
tujuan dari usaha penanggulangan kejahatan tersebut.
Upaya penanggulangan kejahatan telah dilakukan oleh semua
pihak ,baik pemerintah maupun masyarakat pada umumnya. Berbagai program serta
kegiatan yang telah dilakukan sambil terus mencari cara yang paling tepat dan
efektif dalam mengatasi masalah tersebut.
Seperti yang dikemukakan oleh E.H.Sutherland dan Cressey
(Ramli Atmasasmita 1983:66) yang mengemukakan bahwa dalam crime prevention
dalam pelaksanaannya ada dua buah metode yang dipakai untuk mengurangi
frekuensi dari kejahatan, yaitu sebagai
berikut berikut ( Dalam http://
raypratama.blogspot.com/2012/02/ upaya-penanggulangan-kejahatan.html):
- Metode untuk mengurangi pengulangan dari kejahatan
Merupakan suatu cara yang ditujukan kepada pengurangan
jumlah residivis (pengulangan kejahatan) dengan suatu pembinaan yang dilakukan
secara konseptual.
2. Metode untuk mencegah the first
crime
Merupakan satu cara yang ditujukan untuk mencegah terjadinya
kejahatan yang pertama kali (the first crime) yang akan dilakukan oleh
seseorang dan metode ini juga dikenal sebagai metode prevention (preventif).
Berdasarkan uraian di atas dapat dilihat bahwa upaya
penanggulangan kejahatan mencakup aktivitas preventif dan sekaligus berupaya
untuk memperbaiki perilaku seseorang yang telah dinyatakan bersalah (sebagai
seorang narapidana) di lembaga pemasyarakatan. Dengan kata lain upaya
penanggulangan kejahatan dapat dilakukan secara preventif dan represif.
a. Upaya preventif
Penanggulangan kejahatan secara preventif dilakukan untuk
mencegah terjadinya atau timbulnya kejahatan yang pertama kali . Mencegah
kejahatan lebih baik daripada mencoba untuk mendidik penjahat menjadi lebih
baik kembali, sebagaimana semboyan dalam kriminologi yaitu usaha-usaha
memperbaiki penjahat perlu diperhatikan dan diarahkan agar tidak terjadi lagi kejahatan
ulangan.
Hal ini seperti diampaikan oleh Brigadir Moudy Gosal salah satu penyidik di Unit PPA Polres
Pohuwato (Wawancara Tanggal 19 Desember
2012) bahwa Pihak Polres Pohuwato sudah melakukan upaya-upaya preventif
atau pencegahan peningkatan tindak pidana melalui penyuluhan-penyuluhan maupun
sosialisasi-sosialisasi mengenai tindak pidana pada umumnya kepada masyarakat.
Sangat beralasan bila upaya preventif diutamakan karena
upaya preventif dapat dilakukan oleh siapa saja tanpa suatu keahlian khusus dan
ekonomis.
Menurut Bapak Riadi
S.Pdi salah satu tokoh masyarakat di Kecamatan Taluditi, bahwa sudah
beberapa kali pihak dari kepolisian baik Polsek Taluditi maupun Polres Pohuwato
mengadakan penyuluhan-penyuluhan hukum di kecamatan Taluditi sebagai salah satu
antisipasi untuk mencegah peningkatan tindak pidana yang ada di kabupaten
pohuwato.
Barnest dan Teeters (http://raypratama.blogspot.com/2012/02/upaya-penanggulangan-kejahatan.html) menunjukkan beberapa cara untuk
menanggulangi kejahatan yaitu:
1) Menyadari bahwa akan adanya
kebutuhan-kebutuhan untuk mengembangkan dorongan-dorongan sosial atau
tekanan-tekanan sosial dan tekanan ekonomi yang dapat mempengaruhi tingkah laku
seseorang ke arah perbuatan jahat.
2) Memusatkan perhatian kepada
individu-individu yang menunjukkan potensialitas kriminal atau sosial,
sekalipun potensialitas tersebut disebabkan gangguan-gangguan biologis dan
psikologis atau kurang mendapat kesempatan sosial ekonomis yang cukup baik
sehingga dapat merupakan suatu kesatuan yang harmonis.
Dari pendapat Barnest dan Teeters tersebut di atas
menunjukkan bahwa kejahatan dapat kita tanggulangi apabila keadaan ekonomi atau
keadaan lingkungan sosial yang mempengaruhi seseorang ke arah tingkah laku
kriminal dapat dikembalikan pada keadaan baik. Dengan kata lain perbaikan
keadaan ekonomi mutlak dilakukan. Sedangkan faktor-faktor biologis, psikologis,
merupakan faktor yang sekunder saja.
Jadi dalam upaya preventif itu adalah bagaimana kita
melakukan suatu usaha yang positif, serta bagaimana kita menciptakan suatu
kondisi seperti keadaan ekonomi, lingkungan, juga kultur masyarakat yang
menjadi suatu daya dinamika dalam pembangunan dan bukan sebaliknya seperti
menimbulkan ketegangan-ketegangan sosial yang mendorong timbulnya perbuatan
menyimpang juga disamping itu bagaimana meningkatkan kesadaran dan patisipasi
masyarakat bahwa keamanan dan ketertiban merupakan tanggung jawab bersama.
b. Upaya represif
Upaya represif adalah suatu upaya penanggulangan kejahatan
secara konsepsional yang ditempuh setelah terjadinya kejahatan. Penanggulangan
dengan upaya represif dimaksudkan untuk menindak para pelaku kejahatan sesuai
dengan perbuatannya serta memperbaikinya kembali agar mereka sadar bahwa
perbuatan yang dilakukannya merupakan perbuatan yang melanggar hukum dan
merugikan masyarakat, sehingga tidak akan mengulanginya dan orang lain juga
tidak akan melakukannya mengingat sanksi yang akan ditanggungnya sangat berat.
Menurut Bapak Jabrin
Kadir, S.H, Kanit PPA Polres Pohuwato, unit Pelayanan Perempuan dan Anak
sudah melakukan upaya-upaya represif berupa penanganan-penanganan tindak pidana
terhadap perempuan dan anak yang dilaporkan oleh pelapor kepada unit PPA.
Penanganan-penanganan ini dilakukan sesuai standar penanganan yang ada di unit
tersebut hingga dilimpahkan ke kejaksaan untuk dipersidangkan dipengadilan.
Dalam membahas sistem represif, tentunya tidak terlepas dari
sistem peradilan pidana kita, dimana dalam sistem peradilan pidana paling
sedikit terdapat 5 (lima) sub-sistem yaitu sub-sistem kehakiman, kejaksaan,
kepolisian, pemasyarakatan, dan kepengacaraan, yang merupakan suatu keseluruhan
yang terangkai dan berhubungan secara fungsional.
Upaya represif dalam pelaksanaannya dilakukan pula dengan
metode perlakuan (treatment) dan penghukuman (punishment). Lebih
jelasnya uraiannya sebagai berikut ini :
1) Perlakuan ( treatment )
Dalam penggolongan perlakuan, penulis tidak membicarakan
perlakuan yang pasti terhadap pelanggar hukum, tetapi lebih menitikberatkan
pada berbagai kemungkinan dan bermacam-macam bentuk perlakuan terhadap
pelanggar hukum sesuai dengan akibat yang ditimbulkannya.
Perlakuan berdasarkan penerapan hukum, menurut Abdul Syani (1987:139)
yang membedakan dari segi jenjang berat dan ringannya suatu perlakuan,yaitu :
(1) Perlakuan yang tidak menerapkan
sanksi-sanksi pidana, artinya perlakuan yang paling ringan diberikan kepada
orang yang belum telanjur melakukan kejahatan. Dalam perlakuan ini, suatu
penyimpangan dianggap belum begitu berbahaya sebagai usaha pencegahan.
(2) Perlakuan dengan sanksi-sanksi
pidana secara tidak langsung, artinya tidak berdasarkan putusan yang menyatakan
suatu hukum terhadap si pelaku kejahatan.
Adapun yang diharapkan dari penerapan perlakuan-perlakuan
ini ialah tanggapan baik dari pelanggar hukum terhadap perlakuan yang
diterimanya. Perlakuan ini dititikberatkan pada usaha pelaku kejahatan agar
dapat kembali sadar akan kekeliruannya dan kesalahannya, dan dapat kembali
bergaul di dalam masyarakat seperti sedia kala .
Jadi dapat disimpulkan bahwa perlakuan ini mengandung dua
tujuan pokok, yaitu sebagai upaya pencegahan dan penyadaran terhadap pelaku
kejahatan agar tidak melakukan hal-hal yang lebih buruk lagi dimaksudkan agar
si pelaku kejahatan ini di kemudian hari tidak lagi melakukan pelanggaran
hukum, baik dari pelanggaran-pelanggaran yang mungkin lebih besar merugikan
masyarakat dan pemerintah.
2)
Penghukuman
(punishment)
Jika ada pelanggar hukum yang tidak memungkinkan untuk
diberikan perlakuan (treatment), mungkin karena kronisnya atau terlalu
beratnya kesalahan yang telah dilakukan, maka perlu diberikan penghukuman yang
sesuai dengan perundang-undangan dalam hukum pidana.
Oleh karena Indonesia sudah menganut sistem pemasyarakatan,
bukan lagi sistem kepenjaraan yang penuh dengan penderitaan, maka dengan sistem
pemasyarakatan hukuman dijatuhkan kepada pelanggar hukum adalah hukuman yang
semaksimal mungkin (bukan pembalasan) dengan berorientasi pada pembinaan dan
perbaikan pelaku kejahatan.
Seiring dengan tujuan dari pidana penjara sekarang, Sahardjo
mengemukakan seperti yang dikutip oleh Abdulsyani (1987:141) sebagai berikut
(Dalam http://raypratama.com/2012/02.upaya-penanggulangan-kejahatan.html)
:
Menyatakan bahwa tujuan dari
pemasyarakatan yang mengandung makna bahwa tidak hanya masyarakat yang diayomi
terhadap diulanginya perbuatan jahat oleh terpidana, tetapi juga orang-orang
yang menurut Sahardjo telah tersesat diayomi oleh pohon beringin dan diberikan
bekal hidup sehingga menjadi kaula yang berfaedah di dalam masyarakat Indonesia
.
Jadi dengan sistem pemasyarakatan, disamping
narapidana harus menjalani hukumannya di lembaga pemasyarakatan, mereka pun
dididik dan dibina serta dibekali oleh suatu keterampilan agar kelak setelah
keluar menjadi orang yang berguna di dalam masyarakat dan bukan lagi menjadi
seorang narapidana yang meresahkan masyarakat karena segala perbuatan jahat
mereka di masa lalu yang sudah banyak merugikan masyarakat, sehingga kehidupan
yang mereka jalani setelah mereka keluar dari penjara menjadi lebih baik karena
kesadaran mereka untuk melakukan perubahan didalam dirinya maupun bersama
dengan masyarakat di sekitar tempat dia bertempat tinggal.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan
hasil analisa dari pembahasan pada bab sebelumnya, penulis dapat mengambil
kesimpulan sebagai berikut:
1. Dalam
terjadinya tindak pidana pemerkosaan dikabupaten pohuwato ternyata korban
mempunyai peranan dalam menyebabkan tindak pidana tersebut terjadi. Peranan ini
berupa tindakan-tindakan korban yang dapat menyebabkan terjadinya tindak pidana
pemerkosaan, seperti kebiasaan korban yang sering berpakaian minim/vulgar,
kebiasan-kebiasaan korban yang suka berjalan ditempat-tempat sepi sendirian
tanpa didampingi suami, orang tua atau keluarga-keluarga terdekatnya dan
kebiasaan-kebiasaan lain korban yang dapat merangsang pelaku untuk melakukan
tindak pidana pemerkosaan.
2. Pihak
polres pohuwato sudah melakukan upaya-upaya penanggulangan terhadap peningkatan
tindak pidana pemerkosaan berupa upaya preventif seperti melakukan
sosialisasi-sosialisasi atau penyuluhan-penyuluhan kepada masyarakat, dan upaya represif berupa penanganan-penanganan
tindak pidana pemerkosaan yang masuk di Unit PPA sesuai dengan standar
penanganan yang ada ditingkat polres.
5.2
Saran
1. Untuk
masyarakat
Diharapkan
kepada orang tua yang memiliki anak perempuan, agar supaya membiasakan anaknya
untuk menggunakan pakaian-pakaian yang menutup aurat, agar bisa mencegah atau
meminimalisir peningkatan tindak pidana khususnya pemerkosaan.
2. Untuk
aparat penegak hukum
Agar
kiranya dapat lebih meningkatkan upaya-upaya preventif maupun represif untuk mencegah peningkatan frekuensi tindak
pidana pemerkosaan, seperti lebih banyak melakukan sosialisasi-sosialisasi atau
penyuluhan-penyuluhan hukum kepada masyarakat.
3. Untuk
pemerintah
Agar
kiranya pemerintah dapat dapat membuat suatu aturan untuk mencegah peningkatan
tindak pidana pemerkosaan dimasa
mendatang. Seperti larangan kepada perempuan
untuk keluar lewat dari tengah malam atau kewajiban bagi perempuan
muslim untuk memakai jilbab dan menggunakan pakaian yang menutup aurat bagi
yang non muslim.