AKIBAT
HUKUM NIKAH SIRI TERHADAP KEDUDUKAN ANAK DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN
1974 DAN PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
SKRIPSI
OLEH
:
YUYANTI
LALATA
NIM : H.11.09.109
Untuk
Memenihi Salah Satu Syarat Ujian
Guna
Memperoleh Gelar Sarjana
Pada
Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gororntalo
PROGRAM SARJANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ICHSAN GORONTALO
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Allah SWT telah membekali dengan naluri syahwat terhadap
kesenangan dunia. Dari berbagai naluri yang dikaruniakan kepada manusia, naluri
terhadap lawan jenis bisa dikatakan sebagain syahwat terbesar yang ada dalam
dirinya. Kecenderungan ini sebelumnya juga telah ada dalam Al-Qur’an ketika
Allah menempatkan kecintaan laki-laki pada wanita dan sebaliknya, mendahului
kecintaan manusia kepada yang lainnya.
Setiap manusia pasti mendambakan hal yang namanya pernikahan,
baik itu pria ataupun wanita, karena manusia itu diciptakan untuk
berpasang-pasangan dan pernikahan itu adalah suatu yang sangat sakral sehingga
orang terkadang harus berfikir seribu kali dalam memepersiapkan pernikhanannya,
berbicara jauh masalah pernikahan ada beberapa versi dalam pengartian atau pengertian pernikahan
itu sendiri diantanya sebagi berikut:
Perkawinan dalam islam ialah suatu akad
atau perjanjian mengikat antara seorang laki-laki dan perempuan untuk
menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak dengan suka rela dan
kerelaan kedua belah pihak merupakan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang
diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman (sakinah) dengan cara-cara yang di
ridhloi Allah SW
Namun jika dilihat dari segi agama perkawinan itu memiliki, dua cara
pengartiannya yaitu:
1)
Pengertian secara bahasa,
Al-nikah yutlaq Kata al-nikah secara umum digunakan dalam makna
persetubuhan, namun juga bermakna akad tanpa persetubuhan.
2)
Pengertian secara istilah
Secara umum Fuqaha’ memberikan definisi perkawinan sebagai berikut: “Sebuah
akad yang menghalalkan bagi kedua belah pihak untuk bersenang-senang sesuai
dengan syariat.”
Meskipun terdapat definisi lain yang berbeda redaksinya,
semua definisi itu memberikan pengertian yang sama, bahwa obyek akad perkawinan
adalah memberikan hak untuk bersenang-senang sesuai dengan syariat, sehingga
perkawinan itu dipandang oleh manusia dan syariat- menjadikan bersenang-senang itu
sebagai perbuatan yang halal.
Nanum jika di tinjau menurut undang-undang adalah
sebagai berikut: Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pengertian pernikahan
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pada hakekatnya perkawinan adalah
ikatan lahir batin manusia untuk hidup brsama antara seorang pria dan seorang
wanita untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang kekal, bahagia dan
sejahtera dengan tujuan untuk mendapatkan keturunan yang sah meneruskan
generasi-generasi keluarga mereka.
Perkawinan
juga merupakan bagian hidup yang sakral, karena harus memperhatikan norma
kaidah dalam bermasyarakat. Serta dengan berbagai macam alasan yang bisa
dibenarkan perkawinan sering dilakukan dalam berbagai macam model seperti kawin
bawa lari, kawin bawah tangan dan juga kawin kontrak sehingga muncullah kawin
yang skarang paling popular dimasyarakat yakni kawin sirri. Perkawinan yang
tidak dicatatkan ini adalah perkawinan yang dilakukan berdasarkan aturan agama
atau adat istiadat dan tidak dicatatkan di kantor pegawai pencatatan nikah
(KUA).
Menurut
hukum islam bagaimanapun bentuk dan model suatu perkawinan,jika selama masih
atau telah memenuhi syarat sah dan rukun perkawinan maka perkawinan itu
dianggap sah namun jika menurut hukum perkawinan Indonesia selain sah menurut
agama dan kepercayaanya, suatu perkawinan akan ada kekuatan hukum bila dicatat
berdasarkan peraturan perundang-undangan yaitu di KUA bagi muslim dan di KCS
bagi non muslim.
Pengertian dari nikah siri, yaitu pernikahan yang
dilakukan oleh wali pihak perempuan dengan seorang laki-laki dan disaksikan
oleh dua orang saksi, tetapi tidak dilaporkan atau tidak dicatatkan di Kantor
Urusan Agama (KUA).
Istilah nikah siri atau nikah yang dirahasiakan memang
sudah dikenal di kalangan para ulama. Hanya saja nikah sirri yang dikenal pada
masa dahulu berbeda pengertiannya dengan nikah siri pada saat ini. Dahulu yang
dimaksud dengan nikah siri yaitu pernikahan sesuai dengan rukun-rukun
perkawinan dan syaratnya menurut syari’at, hanya saja saksi diminta tidak
memberitahukan terjadinya pernikahan tersebut kepada khalayak ramai, kepada
masyarakat, dan dengan sendirinya tidak ada walimatul-’ursy. Adapun nikah siri
yang dikenal oleh masyarakat Indonesia sekarang ini adalah pernikahan yang
dilakukan oleh wali atau wakil wali dan disaksikan oleh para saksi, tetapi
tidak dilakukan di hadapan Petugas Pencatat Nikah sebagai aparat resmi
pemerintah atau tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama bagi yang beragama
Islam atau di Kantor Catatan Sipil bagi yang tidak beragama Islam.
Nikah
siri adalah salah satu bentuk masalah yang terjadi di Negara Indonesia saat
ini. Permasalahan ini sangat sulit untuk dipantau oleh pihak yang berwenang,
karena mereka yang melaksanakan pernikahan siri ini tidak melaporkan pernikahan
mereka kepada pihak yang berkompeten dalam bidang tersebut yakni Kantor Urusan
Agama (KUA) bagi umat muslim dan Kantor Catatan Sipil bagi yang beagama non
muslim.
Perkawinan
siri biasanya dilakukan dihadapan tokoh masyarakat atau ustads sebagai
penghulu, atau ada juga yang dilakukan secara adat-istiadat saja kemudian tidak
dilaporkan kepada pihak yang berwewenang untuk dicatatkan sesuai dengan
ketentuan undang-undang no 1 tahun 1974 tentang perkawinan pada pasal 2 ayat 2
yang berbunyi “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku”.
Adapun
masalah pencatatan perkawinan yang tidak dilaksanakan tidaklah menggangu
keabsahan suatu perkawinan yang telah dilaksanakan sesuai hukum islam. Karena
sekedar menyangkut aspek administratif. Hanya saja jika suatu perkawinan tidak
di catatkan, maka suami-istri tersebut tidak memiliki bukti otentik bahwa mereka
telah melaksanakan suatu perkawinan yang sah. Akibatnya, dilihat dari aspek
yuridis, perkawinan tersebut tidak diakui pemerintah, sehingga tidak mempunyai
kekuatan hukum.
Oleh
karena itu, perkawinan siri banyak menimbulkan dampak buruk bagi kelangsungan rumah
tangga. Akibat hukumnya bagi perkawinan yang tidak memiliki akte nikah, secara
yuridis suami/istri serta anak yang dilahirkan tidak dapat melakukan tindakan hukum
keperdataan berkaitan dengan rumah tangganya. Anak-anaknya hanya akan diakui
oleh Negara sebagai anak diluar kawin yang hanya memiliki hubungan keperdataan
dengan ibu dan keluarga ibunya. Istri dan anak yang ditelantarkan oleh suami
dan ayah biologisnya tidak dapat melakukan tuntutan hukum baik pemenuhan hak
ekonomi maupun harta kekayaan milik bersama.
1.2 Rumusan Masalah
Tak
lepas dari latar belakang diatas yang menjadi rumusan masalah penulis kali ini
adalah:
1. Bagaimana kedudukan hukum nikah siri
dilihat dari Undang-Undang No 1 Tahun 1974 dan hukum islam?
2. Bagaimana
akibat hukum nikah siri terhadap kedudukan anak di tinjau menurut undang-undang
nomor 1 tahun 1974 dan perspektif hukum islam?
1.3
Tujuan Penelitian
.
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian dengan judul Akibat Hukum Nikah Siri Terhadap
Kedudukan Anak Ditinjau Dari Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Perspektif Hukum
Islam adalah:
1.
Untuk mengetahui bagaimana kedudukan nikah siri dilihat dari
Undang-Undang No 1 Thn 1974 dah hukun islam.
2. Untuk mengetahui akibat hukum nikah
siri terhadap kedudukan anak di tinjau dari undang-undang no 1 tahun 1974
.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1
Secara teoritis
Dari hasil penelitian ini
mudah-mudahan dapat memberikan sumbangan terhadap pengembangan ilmu hukum
khususnya hukum islam dan hukum perkawinan di Indonesia, yang terus mengkaji
pembangunan hukum untuk tercapainya keadilan, kebenaran dan ketertiban dalam
Negara hukum indonesia yang berdasarkan pancasila UUD 1945.
1.4.2
Secara praktis
Hasil penelitian ini juga diharapkan
dapat memberikan sumbangan dan masukan bagi para pengambil kebijakan dalam
pelaksanaan Undang-Undang perkawinan serta masukan kepada pemerintah yang juga
ikut bertanggung jawab atas masyarakat, selain itu hasil penelitian ini dapat
dipergunakan sebagai bahan acuan masyarakat dalam melakukan perkawinan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum Tentang Nikah Siri
2.1.1
Pengertian Nikah Siri
Istilah nikah siri adalah kata yang
berasal dari bahasa arab yang secara umum telah diserap dalam bahasa Indonesia.
Pernikahan siri yang dalam kitab fiqh disebut Az-zawaj as-siri sebagai rangkaian dari dua kata yaitu az-zawaj dan as-siri. Istilah az-zawaj berarti pernikahan, sedangkan istilah
as-siri berarti rahasia. Berdasarkan pengertian tersebut, maka padanan kata
az-zawaj as-siri dapat diartikan pernikahan yang dilakukan secara
sembunyi-sembunyi / rahasia.
Nikah siri yang dikenal oleh
masyarakat Indonesia sekarang ini ialah pernikahan yang dilakukan dengan
memenuhi rukun dan syarat yang ditetapkan agama, tetapi tidak dilakukan di
hadapan pegawai pencatat nikah sebagai aparat resmi pemerintah atau perkawinan
yang tidak di catatkan di kantor urusan agama bagi yang beragama islam atau
dikantor catatan sipil bagi yang tidak beragama islam, sehingga tidak mempunyai
akta nikah yang dikeluarkan oleh pemerintah. Perkawinan yang demikian di
kalangan masyarakat selain dikenal dengan istilah nikah siri atu dikenal juga
dengan sebutan nikah dibawah tangan.
Nikah siri tidak hanya di kenal pada
zaman sekarang saja, tetapi juga telah ada pada jaman sahabat. Istilah itu
berasal dari sebuah ucapan umar bin khattab pada saat member tahu, bahwa telah
terjadi pernikahan yang tidak sihadiri oleh saksi, kecuali hanya seorang
laki-laki dan seorang perempuan. Dalam suatu riwayat Masyhur, sahabat Umar bin
Khattab r.a menyatakan:
“ini nikah
siri, saya tidak membolehkannya, dan sekiranya saya tau lebih dahulu, maka
pasti akan saya rajam”.
Pengertian
nikah siri dalam persepsi umar tersebut didasarkan oleh padanya kasus
perkawinan yang hanya menghadirkan seorang saksi laki-laki dan seorang
perempuan. Perkawinan semacam ini menurut umar dipandang nikah siri.
Ulama-ulama besar sesudahnya pun seperti abu hanifah, malik, dan syafi’i
bependapat bahwa nikah siri itu tidak boleh dan jika itu terjadi harus
di-fasakh (batal). Namun apabila saksi
telah terpenuhi tetapi dipesan oleh wali untuk merahasiakan perkawinan yang
mereka saksikan, para ulama berbeda pendapat. Imam Malik memandang bahwa
pernikahan yang dipesan untuk tidak di umumkan adalah sama dengan pernikahan
siri sehingga harus di-fasakh. Karena menurutnya yang menjadi syarat mutlak
sahnya perkawinan adalah pengumuman (i’ian).
Kenyataan
bahwa dalam masyarakat kita masih sering terjadi nikah siri. Namun yang
dimaksud nikah siri dalam pengertian ini adalah nikah yang sah menurut agama,
tetapi tidak sah menurut undang-undang keragaman interpretasi mengenai nikah
siri bermula dari adanya definisi yang berbeda. Kergaman pendapat ini ternyata
menimbulkan akibat hukum yang berbeda pula. Dalam kitab bidayatul mujtahid,
Ibnu Rusyd mencoba mengklarifikasi pengertian nikah siri. Dengan mengutip
pandangan imam Malik yang dimaksud dengan nikah siri adalah perkawinan yang
mana pihak suami itu meminta kepada saksi yang menyaksikannya itu untuk tidak
mengumumkannya.
Sedangkan
Mahmud Syaltut dalam kitabnya Al-Fatawa (Burhanudin S, 2010:17) menyatakan,
bahwa nikah siri merupakan nikah yang tidak menghadirkan saksi, tanpa
pengumuman, serta tanpa pencatatan resmi meskipun pasangan tetap berlangsung
dalam status pernikahan yang tersembunyi. Sedangkan menurut ulama Malikiah,
nikah siri adalah pernikahan yang tidak dipublikasikan meskipun telah
dipersaksikan. Namun dalam hal ini, keberadaan saksi tetap dimintakan untuk
tidak menyebarluaskan pernikahan siri tersebut kepada halayak umum.
Istilah
nikah siri yang berkembang selama ini sering juga disebut pernikahan dibawah
tangan, yaitu bentuk pernikahan yang
telah memenuhi rukun dan syarat yang ditetapkan syari’at meskipun tanpa
dilakukan pencatatan secara resmi di kantor urusan agama (KUA). Meskipun nikah
siri menurut pengertian ini memungkinkan sah secara syari’at, namun secara
administrative pernikahan semacam tersebut tetap tidak mendapatkan pengakuan
dari pemerintah/penguwasa. Karena itu segala akibat yang timbul dari adanya
pernikahan siri itu menjadi tidak bisa diproses secara hukum.
Berdasarkan
penjelasan tersebut, nampaknya lingkup pengertian nikah siri dapat dilihat dari
berbagai macam sudut pandang. Kecenderungan para fuqaha memaknai nikah siri
terkait dengan ketidakhadiran saksi. Berbeda dengan pengertian yang berkembang
selama ini yang memaknai nikah siri hanya sebatas pernikahan yang dilakukan
tanpa sepengatahuan petugas pencatat nikah dari kantor urusan agama (KUA),
sehingga tidak mempunyai bukti surat nikah. Karena pabila yang dimaksud
pernikahan siri itu meliputi nikah tanpa menghadirkan saksi sebagai salah satu
syarat rukun nikah, maka dengan sendirinya pernikahan itu dapat dikatakan batal
demi hukum. Akibatnya, apabila nikah siri yang batal itu tetap dipaksakan sama
artinya dengan melegalkan perzinahan.
2.1.2
Sebab-Sebab Nikah Siri
Kebanyakan
orang meyakini bahwa pernikahan siri dipandang sah menurut islam apabila telah
memenuhi rukun dan syaratnya, meskipun pernikahan tersebut tidak di catatkan
resmi. Begitu pula sebaliknya, suatu perceraian di pandang sah apabila telah
memenuhi rukun dan syarat-syaratnya, meskipun perceraian itu dilakukan di luar
siding pengadilan. Akibat kenyataan tersebut, maka timbul semacam dualism hukum
yang berlaku di Negara Indonesia, yaitu dari satu sisi pernikahan harus
dicatatkan di kantor urusan agama (KUA), namun di sisi lain tanpa dicatatkan
pun ternyata tetap sah apabila memenuhi ketentuan syariat agama.
1) Zina Akibat Ber-Khalwat
Tidak semua orang memiliki kesiapan
mental untuk menikah, apalagi disebabkan oleh factor hubungan seksual di luar
nikah (Zina) akibat pacaran (Khalwat) yang berkepanjangan. Rasa penyesalan atas
dosa yang telah dilakukan serta tuntutan tanggung jawab untuk melanjutkan
hubungan kasih saying, terkadang memaksa seseorang untuk keluar dari kenyataan,
meskipun dengan cara yang terkadang tidak lazim, seperti melakukan pernikahan
siri. Bagi seorang laki-laki pernikahan dapat dijadikan sebagai jalan untuk membuktikan adanya kasih sayang
dan tuntutan rasa tanggung jawab dari seorang wanita yang baru dikenalnya.
Bahkan dengan janji-janji manis untuk menikah tersebut, tidak sedikit wanita
yang tergoda begitu saja untuk menyerahkan dirinya kepada seorang laki-laki.
Kenyataan menunjukan, bahwa nikah
siri sering dijadikan media bagi sepasang kekasih yang ber-khalwat untuk
melegalkan perikatan. Khalwat (pacaran) adalah perbuatan bersunyi-sunyi antara
dua orang mukallaf atau lebih berlainan jenis yang bukan muhrim tanpa ikatan
perkawinan. Karena itu menurut pandangan syariat, pacaran (khalwat) hukumnya
diharamkan. Adapun yang menjadi dasar hukum bahwa khalwat hukumnya haram adalah
QS. Al Isra : 32 yang artinya: “dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya
zina itu adalah suatu perbuatan yang keji (fahisyah) dan suatu jalan yang
buruk”.
2) Nikah Untuk Bercerai
Biasanya orang yang mempunyai niat
menikah tetapi hanya un tuk sementara waktu
(bercerai), ada kecenderungan akan mengambil jalan nikah siri. Trend
nikah siri dijadikan sebagai pilihan, karena dinilai selain lebih mudah, dari
segi prosedur juga dapat membebaskan para pelakunya dari beban hukum.
Akibatnya, mempelai wanita yang seharusnya mendapatkan perlindungan hukum
terkait dengan pelaksanaan hak dan kewajiban dalam rumah tangga justru menjadi
tdak menentu nasibnya. Suatu pernikahan yang sejak awalnya di niatkan dengan
baik bisa saja gagal ditengah jalan, apalagi pernikahan karena alasan dan
tujuan tertentu, misalnya hanya sekadar menghalalkan nafsu birahi yang muncul
sesaat. Apabila nafsu birahi sudah hilang, maka dengan seenaknya para pelaku
nikah siri keluar dari komitmen mereka. Suami dengan seenaknya meninggalkan
istri-anaknya dan menikah dengan wanita lain. Begitu pula sebaliknya, istri
dengan seenaknya menelantarkan suami dan lari ke pelukan laki-laki lain. Tidak
ada kekuatan hukum Negara yang dapat menghukum mereka, kecuali sebelunya
terdaftar secara resmi.
3) Poligami
Jika dikaitkan, poligami dapat
mempunyai hubungan yang erat dengan nikah siri, terutama ketika makna nikah
siri dipahami sebagai pernikahan yang sembunyi-sembunyi ( tanpa sepengetahuan
pemerintah melalui pegawai pencatat nikah ). Dikatakan berpoligami ( ta’addud
zaujat ), apabila seorang laki-laki menikah lebih dari satu oaring istri pada
waktu yang bersamaan.
Pengadilan dapat member izin kepada
suami untuk beristri lebih dari satu orang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak
yang bersangkutan. Izin dari peradilan agama dapat diberikan kepada seorang
suami yang akan berpoligami apabila berlaku ketentuan:
a) Istri tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai seorang istri
b) Istri mendapat cacat badan atau
penyakit yang tidak dapat disembuhkan
c) Istri tidak dapat melahirkan keturunan
Namun
untuk dapat berpoligami syarat lain yang harus dipenuhi adalah:
1) Adanya persetujuan dari pihak istri,
( baik secara lisan maupun tertulis )
2) Adanya kepastian bahwa suami mampu
menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
3) Adanya jaminan bahwa suami akan
berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.
Berlakunya
peraturan poligami yang mengharuskan adanya persetujuan dari pihak istri yang
mendapatkan pengesahan dari pengadilan agama, ternyata menyebabkan seseorang
yang mempunyai niat untuk poligami berusaha mengambil jalan pintas dengan
melangsungkan pernikahan secara siri. Melalui pernikahan ini, mereka yakin akan
mendapatkan kemudahan, disamping dapat menghindari dari beban hukum yang
mungkin diterimanya.
2.2 Tinjauan Umum Tentang Perkawinan.
2.2.1
Pengertian Perkawinan
Menurut Scholten (Titik Triwulan
Tutik, 2006:106), perkawinan ialah suatu persekutuan antara seorang pria dengan
seorang wanita yang diakui oleh Negara untuk bersama/bersekutu yang kekal.
Esensi dari pengertian tersebut diatas adalah, bahwa perkawinan sebagai lembaga
hukum, baik karena apa yang ada didalamnya, maupun karena apa yang terdapat
didalamnya.
Sementara
menurut Soetoyo Prawirohamidjojo (Titik Triwulan Tutik, 2006:hal. 106),
perkawinan merupakan persekutuan hidup antara seorang pria dengan wanita yang
dilakukan secara formal dengan undang-undang ( Yuridis ) dan kebanyakan
religious. Selain itu, Subekti (Titik Triwulan Tutik, 2006: hal. 106)
mengemukakan, bahwa : “perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki
dengan seorang perempuan untuk waktu yang lama”:.
Dalam
hukum perdata barat tidak ditemukan devinisi tentang perkawinan. Istilah
perkawinan (huelijk) digunakan dalam dua arti, yaitu:
a.
Sebagai suatu perbuatan, yaitu perbuatan “melangsungkan perkawinan”
(Pasal 104 BW). Dengan demikian perkawinan adalah suatu perbuatan hukum yang
dilakukan pada suatu saat tertentu.
b.
Sebagai “suatu keadaan hukum” yaitu keadaan bahwa seorang
pria dan seorang wanita terikat oleh suatu hubungan perkawinan.
Ketentuan
tentang perkawinan diatur dalam KUHPerdata Pasal 26 sampai dengan 102 BW.
Ketentuan umum tentang perkawinan yang terdiri atas satu pasal yang disebutkan
dalam pasal 26 BW, bahwa undang-undang hanya mengenal perkawinan hanya sah
apabila persyaratan yang ditetapkan dalam kitab undang-undang (BW) sementara
itu persyaratan serta peraturan agama dikesampingkan.
Ketentuan
tentang perkawinan menurut hukum barat sangat berbeda dengan hukum islam.
Menurut Titik Triwulan Tutik ( 2006: hal. 106), Perkawinan dalam hukum islam
disebut “Nikah” yaitu melakukan suatu aqad atau perjanjian untuk mengikatkan
diri antara seorang laki-laki dan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin
antara kedua belah pihak, dengan dasar suka rela dan keridhoan kedua belah
pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan untuk hidup berkeluarga yang meliputi
rasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara-cara yang diridhoi Allah.
Berdasarkan pengertian nikah
sebagaimana disebut diatas, maka disimpulkan bahwa:
1.
Nikah adalah persetujuan (perjanjian) ataupun suatu aqad
antara seorang pria dengan seorang wali pihak wanita;
2.
Untuk ada (terjadinya) nikah harus ada kerelaan dan kesukaan
dari kedua belah pihak yang akan melakukan nikah;
3.
Nikah dilaksanakan menurut ketentuan yang sudah diatur oleh
agama yang terdapat dalam hukum fihq.
Hukum islam menggambarkan sifat yang
luhur bagi ikatan yang dijalani oleh kedua orang berbeda jenis yakni ikatan
perkawinan. Ikatan perkawinan dalam islam dinamakan dengan “miisyaakqan gholiidho” yaitu suatu
ikatan janji yang kokoh. Oleh karena itu, ikatan perkawinan tidak begitu saja
dapat terjadi tanpa melalui beberapa ketentuan.
Sedangkan dalam ketentuan pasal 1
undang-undang no 1 tahun 1974, disebutkan bahwa perkawinan ialah ikatan batin
antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan
yang maha esa.
Dari pengertian diatas jelas
terlihat bahwa dalam sebuah perkawinan memiliki 2 (dua) aspek, yakni:
1. Aspek formil (hukum): hal ini
dinyatakan dalam kalimat “ikatan lahir batin”, artinya bahwa perkawinan
disamping memiliki nilai ikatan lahir (tampak), juga memiliki ikatan batin yang
dapat dirasakan terutama oleh kedua belah pihak;
2. Aspek sosial keagamaan: dengan kata
“membentuk keluarga” dan ketuhanan yang maha esa”, artinya, bahwa perkawinan
mempunyai hubungan erat sekali dengan kerohanian, sehingga bukan saja unsur
jasmani melainkan unsure batiniah juga memiliki peran penting sebagai
manifestasi dari ajaran agama.
Jika ditelaah lebih jauh dari
pengertian perkawinan diatas, maka terdapat lima unsur perkawinan didalamnya,
yaitu:
1. Ikatan lahir batin
2. Antara seorang pria dan seorang
wanita
3. Sebagai suami istri
4. Dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal, dan
5. Berdasarkan ketuhanan yang maha esa
2.2.2
Hukum Perkawinan
Pada dasarnya islam sangat
menganjurkan kepada umatnya yang sudah mampu untuk menikah. Namun karena adanya
beberapa kondisi yang bermacam-macam, maka hukum nikah dapat dibagi menjadi
lima macam, yaitu:
(1) Sunnah, bagi orang yang berkehendak
dan baginya mempunyai biaya sehngga dapat memberikan nafkah istrinya.
(2) Wajib, bagi orang yang mampu
melaksanakan pernikahan dan kalau tidak menikah ia akan terjerumus dalam
perzinaan.
(3) Makruh, bagi orang yang tidak mampu
untuk melaksanakan pernikahan karena tidak mampu member belanja kepada istrinya
atau karena kemungkinan lain.
(4) Haram, bagi orang yang ingin
menikahi seseorang dengan niat untuk menyakiti istrinya atau menyia-nyiakan
istrinya, atau tidak mampu memberi nafkah jasmani maupun rohani.
(5) Mubah, bagi orang yang tidak
terdesak oleh hal-hal yang mengharuskan segera nikah atau yang mengharamkannya.
2.2.3
Dasar-Dasar Perkawinan
a. Tujuan Perkawinan
Tujuan perkawinan dapat disebutkan
sebagai berikut:
1. Untuk membina rumah tangga yang
serasi, dan penuh dengan limpahan kasih saying.
2. Memperoleh keturunan yang soleh,
yang sah dari hasil perkawinan itu;
3. Menjaga kehormatan dan harkat
martabat manusia. Telah berlaku anggapan kebanyakan pemuda-pemuda dari dahulu
sampai sekarang, mereka ingin kawin lantaran beberapa sebab, diantaranya:
(1) Ingin mengharapkan harta benda
(2) Karena mengharapkan gelar
kebangsawanannya
(3) Akan ingin melihat kecantikannya
(4) Karena agama dan budi pekerti yang
baik.
b. Rukun Nikah
Perkawinan
yang dilakukan tidak boleh bertentangan dengan larangan-larangan Allah SWT yang
termaktub dalam surat Al Baqarah ayat 221, yaitu larangan perkawinan karena
perbedaan agama dengan pengecualiannya di dalam Surat Al Maidah ayat 5, yaitu
khusus laki-laki islam boleh mengawini perempuan-perempuan ahli kitab, seperti
yahudi dan nasrani, kemudian tidak bertentangan dengan larangan-larangan yang
terdapat dalam Al Quranul Karim.
Dalam
Surat An Nisaa’ ayat 22 Allah SWT berfirman:
“dan
janganlah kamu kawini janda-janda ayahmu kecuali yang sudah lampau.
Sesungguhnya perbuatan itu sangat keji dan kelakuan yang paling buruk”.
Selanjutnya
dalam Surat An Nisaa’ ayat 23 Allah SWT juga berfiman yang artinya:
“Diharamkan atasmu
menikahi ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan,
saudara-saudara perempuan dari bapakmu, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan
dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudaramu yang
perempuan, ibu yang menyusukanmu, saudara perempuan sepersusuan, ibu istrimu,
anak tiri yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, jika
kamu belum campur dengan istrimu itu tetapi sudah kamu ceraikan, tidak mengapa
kamu menikahinya, istri-istri anak kandungmu, dan mengumpulkan dua perempuan
yang bersaudara, kecuali yang sudah terjadi dimasa lampau. Sesungguhnya Allah
maha penganpun dan maha penyayang.”
Surat An Nisaa’ ayat 24:
“dan
yang diharamkan juga kamu mengawini ialah wanita-wanita yang bersuami, kecuali
wanita tawanan perang yang kamu miliki. Itulah ketetapan hukum Allah atasmu.
Dan halalkan untukmu mencari wanita-wanita selain itu dengan hartamu untuk
maksud mengawininya bukan untuk maksud perbuatan jahat. Imbalan kesenangan yang
kamu peroleh dari wanita itu karena perkawinan, maka bayarlah mas kawinnya
menurut jumlah yang sudah di tetapkan. Tetapi tidak mengapa jika telah ada
persetujuan sama suka antaramu menyimpang dari ketentuan itu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui dan maha
bijaksana.”
Rukun
nikah dalam ilmu Fiqh dapat dibagi dalam 6 (enan) macam, yaitu:
(1) Adanya calon suami dengan
syarat-syaratnya, yaitu:
(a) Islam
(b) Tidak dipaksa
(c) Bukan mahram calon istri
(d) Tidak sedang melaksanakan ibadah
haji atau umroh
(2) Calon istri syarat-syaratnya, yaitu:
(a) Islam
(b) Bukan mahram calon suami
(c) Tidak sedang melaksanakan ibadah
haji atau umroh
Nabi SAW telah memberikan petunjuk
sifat-sifat perempuan yang baik, antara lain :
1) Wanita yang beragama dan
menjalankannya
2) Wanita yang keturunannya orang yang
mempunyai keturunan yang baik
3) Wanita yang masih perawan
(3) Wali syarat-syaratnya, yaitu:
(a) Islam
(b) Baligh (dewasa)
(c) Berakal sehat
(d) Adil (tidak fasik)
(e) Laki-laki; dan
(f) Mempunyai hak untuk menjadi wali
(4) Dua orang saksi. Syarat-syaratnya,
yaitu:
(1) Islam
(2) Baligh (dewasa)
(3) Berakal sehat
(4) Adil (tidak fasik)
(5) Laki-laki; dan
(6) Mengerti maksud aqad nikah
(5) Ijab dan Qobul
Ijab
adalah perkataan dari wali pihak wali perempuan. Sedangkan Qobul adalah jawaban
laki-laki dalam menerima ucapan wali perempuan. Syarat-syarat ijab dan qobul
adalah:
(a) Dengan kata nikah atau tazwij atau
terjemahan
(b) Ada persesuaian antara ijab dan
qobul
(c) Berturut-turut, artinya ijab dan
qobul itu tidak terselang waktu yang lama
(d) Tidak memakai syarat yang dapat
menghalangi kelangsungan pernikahan
(6) Mahar
Mahar
atau maskawin adalah pemberian dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan
baik berupa uang atau benda-benda yang berharga yang disebabkan karena
pernikahan diantara keduanya. Pemberian mahar merupakan kewajiban bagi
laki-laki yang menikahi perempuan. Mahar ini tidak termasuk rukun nikah,
sehingga jika pada waktu aqad nikah tidak disebutkan mahar itu, maka aqad nikah
itu tetap sah. Banyaknya mahar itu tidak dibatasi oleh syariat islam, hanya menurut kekuatan suami serta
keridhoan istri.
2.2.4
Syarat Sah Perkawinan
syarat-syarat
pernikahan yaitu:
1)
izin dari wali si wanita
Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
“Tidak ada pernikahan kecuali dengan adanya wali. “
(HR. Abu Daud: 2085 , Tirmidzi: 1101 dan Ibnu Majah 1879)
“Wanita manapun yang menikah tanpa seizin walinya maka
nikahnya batal, nikahnya batal, nikahnya batal. Jika ia telah digauli maka ia
berhak mendapatkan mahar, karena lelaki itu telah menghalalkan kemaluannya.
Jika terjadi pertengkaran di antara mereka, maka penguasalah yang menjadi wali
atas orang yang tidak memiliki wali.” (HR. Abu Daud: 2083, Tirmdizi: 1101 dan
Ibnu Majah: 1879)
Wanita manapun, hitam-putih, perawan-janda, miskin-kaya,
tua-muda, bila ingin menikah harus ada persetujuan dari walinya. Jika ia tetap
melangsungkan pernikahannya tanpa itu (walinya), maka nikahnya batal, tidak
sah. Meskipun pernikahannya di depan ka’bah, atau di hotel mewah. Meskipun yang
menghadiri pernikahannya para pejabat atau penjahat.
Lantas siapakah wali bagi seorang wanita itu? Bapaknya.
Jika tak ada, maka kakeknya. Jika tak ada, maka saudaranya yang laki-laki. Jika
tak ada, maka anak saudaranya tersebut. Jika tak ada, maka pamannya. Jika tak
ada, maka anak pamannya.
2)
keridhaan si wanita sebelum
pernikahan.
Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
“Tidaklah seorang janda dinikahi hingga diminta
pengakuannya dan tidaklah dinikahi seorang gadis hingga dimintai izin. “ Para
shahabat bertanya, “Wahai Rasulullah apa tandanya kalau ia mengizinkan? “
Beliau menjawab, “Jika ia diam. “ (HR. Bukhari: 5136 dan Muslim: 1419)
Dari Ibnu Abbas رضي الله عنهما bahwasanya seorang
gadis datang kepada Nabi صلى الله عليه وسلم lalu menyebutkan bahwa bapaknya
menikahkannya sedangkan ia tidak menginginkannya. Maka beliaupun memberinya
pilihan (untuk meneruskan atau menghentikan pernikahannya itu) (HR. Abu Daud:
2096)
Dari Ibnu Buraidah dari ayahnya, ia berkata, “Pernah
datang seorang gadis kepada Nabi صلى الله عليه وسلم seraya berucap,
‘Sesungguhnya ayahku telah menikahkanku dengan keponakannya untuk meninggikan
derajatnya.’” Buraidah berkata, “Maka Nabi صلى الله عليه وسلم menyerahkan
masalah tersebut kepada gadis itu, maka gadis itu pun berkata, ‘Aku tidak
keberatan atas tindakan ayahku, hanya saja aku ingin agar kaum wanita
mengetahui
bahwa para orang tua tidak memiliki hak apa-apa dalam masalah ini (yaitu memaksakan pernikahan).”(HR. An-Nasai: 3269 dan Ibnu majah:1874)
bahwa para orang tua tidak memiliki hak apa-apa dalam masalah ini (yaitu memaksakan pernikahan).”(HR. An-Nasai: 3269 dan Ibnu majah:1874)
Siapapun yang memiliki wanita yang ada di bawah
tanggungannya (yaitu wali), apakah bapak, kakek, dan semisalnya, jika hendak
menikahkan wanitanya tersebut, hendaknya meminta persetujuan darinya. Jika ia
menyetujuinya, makanya boleh dilanjutkan dengan pernikahan. Jika ia menolak,
maka tak boleh dilanjutkan dengan pernikahan.
Kecuali wanita yang belum dewasa (baligh), maka boleh
menikahkannya meskipun tidak mendapatkan persetujuan darinya.
Diantara dalil yang menunjukkan bolehnya tersebut,
adalah pernikahan antara Nabi kita صلى الله عليه وسلم dengan Aisyah رضي
الله عنها. Abu Bakar ضي الله عنه menikahkan putrinya tersebut yaitu Aisyah
dengan Nabi صلى الله عليه وسلم, tanpa meminta persetujuan dulu darinya
dan ia ketika itu belum baligh.
3)
Adanya mahar (maskawin) yang
diberikan kepada si wanita, baik disebutkan mahar tersebut atau tidak
disebutkan ketika akad nikah.
Allah سبحانه وتعالى berfirman:
“Berilah mahar kepada wanita (yang kalian nikahi)
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan
kepada kalian sebagian dari mahar itu dengan senang hati, maka makanlah
(ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. “
(QS. An-Nisa: 4)
Dalam suatu hadits disebutkan bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم
memerintahkan seorang shahabat
miskin yang ingin menikah agar menyerahkan mahar kepada calon
pasangannya walaupun berupa cincin dari besi.
4)
Dihadiri oleh dua orang saksi
Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
“Tidak ada pernikahan kecuali dengan adanya wali dan
dua saksi yang adil. “ (Sunan Ad-Daruquthni : 3/225 Kitabunnikah)
Adapun syarat untuk menjadi saksi di sini yaitu:
1.
Berakal
Orang gila, setengah gila atau orang yang semisal dengannya, tidak
bisa menjadi saksi dalam pernikahan, meskipun ia telah beruban.
2.
Baligh
Anak kecil yang belum baligh tidak bisa menjadi saksi pernikahan,
secerdas apapun ia, meskipun lebih cerdas dibandingkan para mahasiswa.
3.
Islam
Seorang ahlul kitab (Yahudi dan Nashrani) atau selain Ahlul kitab,
seperti Majusi, Hindu, Budha dan lain-lain atau orang yang murtad dari islam,
atau mengaku beragama islam, tapi memiliki pemikiran kufur, mereka semua tidak
boleh menjadi saksi dalam pernikahan, ‘sesaleh’ apapun mereka dan sedermawan
apapun, walaupun gemar membagi-bagi beras dan mie.
4.
Laki-laki
Seorang wanita tidak bisa menjadi saksi dalam pernikahan, secantik
apapun ia dan secerdas apapun ia, walaupun ia putri kecantikan dunia dan
walaupun ia seorang profesor.
5.
Adil
Yang dimaksud adil di sini adalah yang tidak nampak padanya
kefasikan. Karena itu orang yang terbiasa meminum khamr, terkenal berbuat zina,
mencuri dan berbagai kemungkaran lainnya, tidak berhak untuk menjadi seorang
saksi dalam pernikahan, walaupun punya backing di kepolisian.
Jika seseorang yang menikah telah memenuhi syarat-syarat pernikahan
di atas, maka bergembiralah, karena sudah sah pernikahannya. Saatnya ia membuka
lembaran baru kehidupannya. Telah terbuka di hadapannya setengah dari agama.
Terbentang di depan matanya berbagai amanah, cobaan dan pahala.
2.3 Tinjauan Umum Tentang Kedudukan Anak Dalam Perkawinan
Anak sebagai hasil dari suatu
perkawinan merupakan bagian yang sangat penting kedudukannya dalam suatu
keluarga menurut hukum perkawinan islam. Dalam islam anak adalah anak yang
dilahirkan yang tercipta melalui ciptaan Allah dengan perkawinan seorang laki-laki
dan seorang perempuan. Didalam Al-Qur’an, anak sering disebutkan dengan kata
walad-awlad yang berarti anak yang dilahirkan orang tuanya, laki-laki maupun
perempuan, besar atau kecil, tunggal maupun banyak. Karena jika anak belum
lahir belum dapat disebut al-walad atau al-mawlud, tetapi di sebut al-janin
yang berarti al-mastur (tertutup) dan al-khafy (tersembunyi) di dalam rahim
ibu.
Seorang anak yang sah ialah anak
yang dianggap lahir dari perkawinan yang sah antara ayah dan ibunya. Dan sahnya seorang anak
didalam islam adalah menentukan apakah ada atau tidak hubungan kebapakan
(nasab) dengan seorang laki-laki.
Dalam hal hubungan nasab dengan
bapaknya tidak ditentukan oleh kehendak atau kerelaan manusia, namun ditentukan
oleh perkawinan yang dengan nama Allah disucikan. Dalam hukum islam ada
kettentuann batasan kelahirannya, yaitu batas minimal kelahiran anak dari
perkawinan ibunya adalah 6 (enam) bulan.
Anak sebagai amanah Allah, maka
orang tuanya bertanggung jawab untuk mengasuh, mendidik dan memenuhi
keperluanya sampai dewasa. Sedangkan menurut hukum perkawinan islam anak baru
dianggap sah mempunyai hubungan nasab dengan bapaknya bila perkawinan wanita
hamil yang usia kandungannya minimal enam bulan dari perkawinan resminya.
Diluar ketentuan itu adalah anak dianggap sebagai anak tidak sah atau zina.
Hukum positif di Indinesia
membedakan antara keturunan yang sah dan keturunan yang tidak sah. Keturunan
yang sah didasarkan atas adanya pekawinan perkawinan yang sah, dalam arti bahwa
yang satu adalah keturunan yang lain berdasarkan kelahiran dalam atau sebagai
akibat perkawinan yang sah, anak-anak yang demikian disebut anak sah. Sedangkan
keturunan yang tidak sah adalah keturunan yang tidak didasarkan atas suatu
perkawinan yang sah, orang menyebut anaka yang demikian ini adalah anak luar
kawin.
Tidak semua anak yang lahir diluar
suatu ikatan perkawinan yang sah, boleh diakui. Jadi ada anak luar kawin yang
tertentu yang tidak boleh diakui. Menurut Burgerlijk Wetboek ada dua macam anak
luar kawin yaitu:
1)
Anak luar kawin yang dapat diakui
2)
Anak luar kiawin yang tidak dapat diakui
Anak luar kawin yang tidak diakui yidak akan menimbulkan
akibat hukum dalam pewarisan, karena anak luar kawin yang tidak diakui baik
oleh ibunya maupun oleh bapaknya tidak dapat mewarisi harta peninggalan orang
tuanya. Sedangkan anak luar kawin yang diakui sah baik oleh ibunya maupun oleh
bapaknya atau oleh kedua-duanya akan menimbulkan akibat hokum oleh pewarisan.
Dengan adanya pengakuan tersebut akan mengakibatkan timbulya hubungan perdata
antara anak luar kawin yang diakui dengan orangtua yang mengakuinya.
Menurut Riduan Syahrani dalam
bukunya “seluk beluk dan asas-asas hukum perdata”, bahwa anak yang dilahirkan diluar perkawian yang sah
adalah bukan anak yang sah, sehingga membawa konsekwensi dalam bidang
pewarisan. Sebab anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Menurut
Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, anak yang sah adalah anak
yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah, meskipun anak tersebut
lahir dari perkawinan wanita hamil yang usia kandungannya kurang dari enam
bulan lamanya sejak ia menikah resmi.
Hal ini diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.
Pasal
42:
“Anak yang sah adalah anak yang
dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah”.
Pasal 43 (UUP):
(1)
Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
(2)
Kedudukan anak tersebut ayat (1) diatas selanjutnya akan
diatur dalam peraturan pemerintah”.
Pasal 44:
(1)
Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan
oleh istrinya bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan
anak itu akibat dari pada perzinaan tersebut.
(2)
Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak
atas permintaan pihak yang berkentingan”.
Berkenaan
dengan pembuktian asal-usul anak, Undang-Undang perkawinan didalam pasal 55
menegaskan:
1.
Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktian dengan akta
kelahiran yang otentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.
2.
Bila akta kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak
ada, maka pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang
anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang
memenuhi syarat.
3.
Atas dasar ketentuan pengadilan tersebut ayat (2) pasal ini,
maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum pengadilan yang
bersangkutan mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan.
Didalam pasal-pasal diatas ada
beberapa hal yang diatur. Pertama, anak sah adalah anak yang lahir dalam dan
akibat perkawinan yang sah. Paling tidak ada dua bentuk kemungkinan:
a.
Anak sah lahir akibat perkawinan yang sah.
b.
Anak yang lahir dalam perkawinan yang sah.
Dalam kompilasi hukum islam asal-usul
anak diatur dalam pasal 99, pasal 100, pasal 101, pasal 102 dan pasal 103.
Pasal
99:
Anak
sah adalah:
a.
Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.
b.
Hasil pembuahan suami istri yang sah diluar rahim dan
dilahirkan oleh istri tersebut.
Pasal
100:
“anak
yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan
keluarga ibunya”.
Pasal 101 dan 102 menyangkut keadaan suami yang mengingkari
sahnya anak dan proses yang harus ditempuhnya jika ia menyangkal anak yang
dikandung atau dilahirkan oleh istrinya.
Pasal
101:
“seorang
suami yang mengingkari sahnya anak, sedang istri tidak menyangkalnya, dapat
meneguhkan pengingkarannya dengan li’an”.
Pasal
102:
(1)
Suami yang akan mengingkari pengadilan agama dalam jangka
waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan
atau setelah suami itu mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak dan berada
ditempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada pengadilan agama.
(2)
Pengingkaran yang diajukan sesudah lampau waktu tersebut tidak dapat diterima.
Pasal
103:
(1)
Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta
kelahiran atau alat bukti lainnya.
(2)
Bila akta kelahiran atau alat bukti lainnya tersebut dalam
ayat (1) tidak ada, maka pengadilan agama dapat mengeluarkan penetapan tentang
asal-usul seorang anak setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan
bukti-bukti yang sah.
(3)
Atas dasar ketetapan pengadilan agama tersebut ayat (2) maka
instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum pengadilan agama
tersebut yang mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan.
Kemudian dalam pasal 250 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
mengatakan bahwa: “Tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang
perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya”.
Dari ketentuan
tersebut, Hilman Hadikusuma menegaskan, bahwa wanita yang hamil kemudian aia
kawin sah dengan seorang pria, maka jika anak itu lahir, anak itu adalah anak
yang sah dari perkawinan wanita dengan pria tersebut tanpa ada batas waktu usia
kehamilan.
Hubungan Anak dan Orang Tua
Adapun
menyangkut hak dan kewajiban antara orang tua dan anak diatur dalam pasal 45
sampai dengan pasal 49 UUP:
Pasal 45:
(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan
mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
(2) Kewajiban orang tua yang di maksud
dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri
sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang
tua putus.
Pasal 46:
(1) Anak wajib menghormati orang tua dan
mentaati kehendak mereka yang baik.
(2) \jika anak telah dewasa, ia wajib
memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus
keatas, bila mereka itu memerlukan bantuannya.
Pasal 47:
(1) Anak yang belum mencapai umur 18
(delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah
kekuasaan orang tuannya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaanya.
(2) Orang tua mewakili anak tersebut
mengenai perbuatan hukum di dalam dan diluar pengadilan.
Pasal 48:
Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan
barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan Belas)
tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan
anak itu menghendakinya.
Pasal 49:
(1) Salah seorang atau atau kedua orang
tua dapat dicabut kekuasaanya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu
tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus
ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang,
dengan keputusan pengadilan dalam hal-hal:
a. Ia sangat melalaikan kewajibannya
terhadap anaknya;
b. Ia berkelakuan buruk sekali.
(2) Meskipun orang tua dicabut
kekuasaanya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan
kepada anak tersebut.
Dalam KHI
kewajiban orang tua terhadap anak dijabarkan mulai pasal 98 sampai dengan 106
(Pemeliharaan Anak) dan pasal 107 sampai dengan 112 (perwalian). Dengan
demikian menurut hukum perkawinan Indonesia bahwa anak yang lahir dari
perkawinan yang sah adalah anak sah dari kedua orang tuanya, sehingga ia
memiliki hak-hak yang wajib dipenuhi oleh kedua orang tuanya yaitu kedua orang
tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebai-baiknya, orang tua
mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan diluar
pengadilan, sebagai wali dalam perkawinan, hak nasab dan hak warisan.
Ada perbedaan
pokok aturan dan pemahaman mengenai anak sah antara hukum islam dan hukum
perkawinan Indonesia yaitu menurut hukum perkawinan islam anak yang sah adalah
anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah dimana kelahiran anak dari wanita
hamil yang kandungannya minimal berusia 6 (enam) bulan dari perkawinan yang sah
atau kemungkinan terjadinya hubungan badan antara suami istri dari perkawinan
yang sah tersebut maka anak itu adalah anak yang sah. Apabila anak tersebut
dilahirkan kurang dari 6 bulan masa kehamilan dari perkawinan sah ibunya atau
di mungkinkan adanya hubungan badan maka anak tersebut dalam hukum islam adalah
anak tidak sah sehingga anak hanya berhak terhadap ibunya.
Seorang suami
menurut hukum islam dapat menolak untuk mengakui bahwa anak yang dilahirkan
istrinya bukanlah anaknya, selama suami dapat membuktikannya, untuk menguatkan
penolakannya suami harus dapat membuktikan bahwa:
a.
Suami belum pernah menjima’ istrinya, akan tetapi istri tiba-tiba
melahirkan.
b.
Lahirnya anak itu kurang dari 6 bulan sejak menjima’
istrinya, sedangkan bayinya lahir seperti bayi yang cukup umur.
c.
Bayi lahir sesudah lebih dari empat tahun dan si istri tidak
dijima’ suaminya.
Dalam hukum
perkawinan di Indonesia status hukum anak hasil dari perkawinan wanita hamil
adalah anak yang sah karena baik kitab Undag-Undang Hukum perdata,
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan, mengatur bahwa anak yang
sah adalah anak yang dilahirkan akibat atau dalam perkawinan yang sah tanpa
mengatur usia kandungan. Dan tentu saja perkawinan sah yang dimaksud adalah
perkawinan yang dicatat melalui hukum Negara.
Salah satu
hal penting yang melekat pada diri anak adalah akta kelahiran. Akta kelahiran
menjadi isu global dan sangat asasi karena menyangkut identitas diri dan status kewarganegaran. Disamping itu akta
kelahiran merupakan hak identitas seseorang sebagai perwujudan Konvensi Hak
Anak (KHA) dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Akta kelahiran bersifat universal, karena hal ini terkait dengan pengakuan
Negara atas status keperdataan seseorang. Selain itu jika seorang anak manusia
yang lahir kemudian identitasnya tidak terdaftar, kelak akan menghadapi
berbagai masalah yang akan berakibat pada Negara, pemerintah dan masyarakat.
Dalam perspektif KHA, Negara harus memberikan pemenuhan hak dasar kepada setiap
anak, dan terjaminya perlindungan atas keberlangsungan, tumbuh kembang anak.
Posisi anak
dalam konnstitusi UUD 1945, terdapat dalam pasal 28 B ayat 2 yaitu: “setiap
anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
Hak-hak
anak diberbagai Undang-Undang antara lain Undang-Undang No 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia maupun Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 tentang
perlindungan anak, jelas menyatakan akta kelahiran menjadi hak anak dan tanggung jawab pemerintah untuk
memenuhinya.
Selain itu
dalam Undang-undang No. 23 tahun 2002, pasal 7 (ayat 1) disebutkan “setiap anak
berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan dasuh oleh orang tuanya
sendiri.”
2.4
UU NO 1 TAHUN 1974
|
Akibat Hukum Nikah
Siri Terhadap Kedudukan anak
|
Berkurangnya Nikah
Siri di Masyarakat
|
Akibat Hukum Terhadap Anak:
1.
Sebelum
adanya Putusan MK No 46/PUU-VIII/2010
a.
Hanya
memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya
b.
Tidak
dapat mengurus akta kelahiran
c.
Tidak
mendapatkan hak waris dari ayah
2.
Sesudah
adanya Putusan MK No 46/PUU-VIII/2010, anak dapat mempunyai hubungan
perdata dengan ayahnya selama dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
|
1. Dalam
UUP nikah siri dianggap tidak sah karena tidak sesuai dengan Pasal 2 ayat
(2).
2. Dalam
Hukum Islam nikah siri dinyatakan sah apabila dilaksanakan berdasarkan
sayarat dan rukun nikah
|
Gambar 2.4.1 Skema Kerangka Pikir
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode Pendekatan
Penelitian
ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu dengan mengkaji atau menganalisis
data sekunder yang berupa bahan-bahan hukum sekunder dengan memahami hukum
sebagai perangkat peraturan atau norma-norma positif di dalam sistem
perundang-undangan yang mengatur mengenai kehidupan manusia. Jadi penelitian
ini dipahami sebagai penelitian kepustakaan, yaitu penelitian terhadap data
sekunder.( Soerjono
Soekanto & Sri Mamudji, 1985, hal. 15.)
3.2 Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi
penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitis yang merupakan penelitian
untuk menggambarkan dan menganalisa masalah yang ada dan termasuk dalam jenis
penelitian kepustakaan (library research) yang akan disajikan secara
deskriptif.
3.3 Jenis dan Sumber Bahan Hukum
1. Jenis
Bahan Hukum
1) Bahan
Hukum Primer adalah bahan hukum yang mempunyai otoritas (autoritatif). (Zainudin Ali, 2010, hlm. 47)
2) Bahan
Hukum Skunder adalah semua publikasi tentang hukum yang merupakan dokumen yang
tidak resmi. (Zainudin Ali, 2010, hlm. 54)
3) Bahan
Hukum Tersier adalah bahan yang memberikan
penjelasan lebih mendalam mengenai bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder.
2. Sumber
Bahan Hukum
1) Sumber
bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah Perundang-Undangan yakni
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.
2) Sumber
bahan hukum primernya adalah buku-buku hukum ataupun risalah perundang-undangan
yang berkaitan dengan penelitian tersebut.
3) Sedangkan
sumber bahan hukum tersier dalam penelitian ini yakni berupa Kamus besar bahasa
Indonesia, kamus bahasa inggris-Indonesia, jurnal-jurnal dan lain-lain.
3.4 Metode Pengumpulan Bahan Hukum
Sesuai
dengan penggunaan data sekunder dalam penelitian ini, maka pengumpulan data
dilakukan dengan mengumpulkan, mengkaji dan mengolah secara sistematis
bahan-bahan kepustakaan serta dokumen-dokumen yang berkaitan. Data sekunder
baik yang menyangkut bahan hukum primer, sekunder dan tersier diperoleh dari
bahan pustaka, dengan memperhatikan prinsip pemutakhiran dan relevansi.
Selanjutnya
dalam penelitian ini kepustakaan, asas-asas, konsepsikonsepsi,
pandangan-pandangan, doktrin-doktrin hukum serta isi kaidah hukum diperoleh
melalui dua referensi utama yaitu:
1) Bersifat
umum, terdiri dari buku-buku, teks, ensiklopedia;
2) Bersifat
khusus terdiri dari laporan hasil penelitian, majalah maupun jurnal.
Mengingat
penelitian ini memusatkan perhatian pada data sekunder, maka pengumpulan data
ditempuh dengan melakukan penelitian kepustakaan dan studi dokumen.
3.5 Metode Analisis Bahan Hukum
Data
dianalisis secara normatif-kualitatif dengan jalan menafsirkan dan
mengkonstruksikan pernyataan yang terdapat dalam dokumen dan perundang-undangan.
Normatif karena penelitian ini bertitik tolak dari peraturan-peraturan yang ada
sebagai norma hukum positif, sedangkan kualitatif berarti analisis data yang
bertitik tolak pada usaha penemuan asas-asas dan informasi baru.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Kedudukan
Hukum Nikah Siri Dilihat Dari Undang-Undang No 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam
Menurut peraturan
perundang-undangan perkawinan siri memanglah tidak sah, berbeda dengan apa yang
telah diatur dalam hukum islam, sehingganya dalam pembahasan penulis kali ini
mengupas perkawinan siri dari segi Undang-Undang dan Hukum Islam.
4.1.1 Nikah Siri Di
Lihat Dari Undang-Undang No 1 Tahun 1974
Adapun nikah siri yang dikenal oleh
masyarakat Indonesia sekarang ini adalah pernikahan yang dilakukan oleh wali
atau wakil wali yang disaksikan oleh para saksi, tetapi tidak dilakukan
dihadapan petugas pencatat nikah sebagai aparat resmi pemerintah atau
perkawinan yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama bagi yang beragama
Islam atau di Kantor Catatan Sipil bagi
yang tidak beragama islam, sehingga dengan sendirinya tidak mempunyai Akta
Nikah yang dikeluarkan oleh pemerintah. Perkawinan yang demikian dikalangan
masyarakat selain dikenal dengan istilah nikah siri, dikenal juga dengan sebutan
perkawinan bawah tangan.
Munculnya nikah siri yang
dipraktekkan masyarakat ialah setelah diundangkannya Undang-Undang No 1 Tahun
1974 tentang perkawinan dan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975 sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Dalam kedua
peraturan tersebut disebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan selain harus dilakukan
menurut ketentuan agama juga harus dicatatkan. Dalam Pasal 2 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, disebutkan :
1. Perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan
itu.
2. Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan
dari Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No 1 Tahun 1974 selanjutnya diatur lebih
lanjut dalam peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Pasal-Pasal yang
berkaitan dengan tatacara perkawinan dan pencatatannya, antara lain Pasal 10,
11, 12, dan 13.
Pasal
10 PP No. 9 Tahun 1975 mengatur tatacara perkawinan. Dalam ayat (2) disebutkan:
“Tatacara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya”. Dalam ayat (3) disebutkan: “Dengan mengindahkan tatacara
perkawinan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan
dilaksanakan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh kedua orang saksi”.
Dari
ketentuan perundang-undangan diatas dapat diketahui bahwa peraturan
perundang-undangan sama sekali tidak mengatur materi perkawinan, bahkan
ditandaskan bahwa perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaan itu. Peraturan perundangan hanya mengatur perkawinan dari
formalitasnya, yaitu perkawinan sebagai sebuah peristiwa hukum yang harus
dilaksanakan menurut peraturan hukumnya.
Sejalan
dengan kerangka teoritik maka suatu akad nikah dapat terjadi dalam dua bentuk.
(1), akad nikah yang dilakukan itu hanya semata-mata memenuhi ketentuan Pasal 2
ayat (1) Undang-Undang No 1 Tahun 1974, yakni telah dilaksanakan dan telah
memenuhgi ketentuan agama yang dianut. (2), akad nikah dilakukan menurut
ketentian ayat (1) dan ayat (2) secara simultan, yakni telah dilaksanakan
sesuai aturan agama dan telah dicatatkan pada pegawai pencatat nikah.
Apabila
bentuk akad nikah yang pertama yang dipilih, maka perkawinan tersebut telah
diakui sebagai perkawinan yang sah menurut ajaran agama, tetapi tidak diakui
sebagai perbuatan hukum yang mempunyai akibat hukum oleh Negara. Oleh sebab
itu, perkawinan semacam ini tidak mendapat pengakuan dan tidak dilindungi
secara hukum. Seharusnya, karena pencatatan disini merupakan perintah Allah
SWT, maka umat islam dalam melangsungkan perkawinan memilih bentuk kedua
diatas, yakni memenuhi ketentuan ayat (1) dan ayat (2) sekaligus. Kedua unsur
pada ayat tersebut berfungsi secara kumulatif, dan bukan alternativ. Unsur
pertama berperan memberi label sah kepada perkawinan itu, sedangkan unsur kedua
memberi label bahwa perkawinan tersebut merupakan perbuatan hukum.
Oleh
karena itu, perbuatan itu mendapat pengakuan dan dilindungi oleh hukum. Dengan
demikian, memenuhi unsur kedua (pencatatan) dalam suatu perkawinan menjadi
sangat penting, karena walaupun keberadaannya hanya bersifat administrativ,
tetapi peran dari pada pencatatan (akta nikah) tersebut merupakan bukti otentik
tentang telah dilangsungkannya perkawinan yang sah. Dengan demikian,
melangsungkan perkawinan hanya dengan memenuhi unsur agama saja sebagaimana
ketentuan Pasal 2 ayat (1) di atas, itu belum cukup, walaupun perkawinan
tersebut telah dinyatakan sah oleh agama, karena unsur yang pertama menyangkut
yuridis, dan unsur yang kedua menyangkut masalah administrativ, meskipun
akhirnya secara tidak langsung juga akan berkaitan dengan masalah yuridis,
khususnya mengenai hal pembuktian. Jadi, untuk dapat membuktikan bahwa suatu
perkawinan telah dilangsungkan sesuai dengan ajaran agama adalah melalui akta
nikah, karena akta nikah merupakan bukti otentik.
Jadi,
dapat ditarik satu kesimpulan bahwa perkawinan siri atau perkawinan dibawah
tangan atau perkawinan yang tidak memenuhi unsure ketentuan pada Pasal 2 ayat
(1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan sah menurut
agama namun tidak sah menurut Undang-Undang, karena tidak memiliki kekuatan hukum
yang dapat digunakan sebagai bukti otentik telah dilangsungkannya sebuah
perkawinan.
4.1.2
Nikah Siri Di Lihat Dari Aturan Hukum Islam
Perkawinan
dalam Hukum Islam merupakan bentuk ibadah kepada Allah SWT, dalam hukum islam
pelaksanaan perkawinan sangat berkaitan dengan syarat dan rukun nikah.
Adapun
syarat-syarat perkawinan adalah :
1. Izin
dari wali si wanita.
Rasulullah
SAW. bersabda:
“Tidak
ada pernikahan kecuali dengan adanya wali. “ (HR. Abu Daud: 2085 , Tirmidzi:
1101 dan Ibnu Majah 1879)
“Wanita manapun yang menikah tanpa
seizin walinya maka nikahnya batal, nikahnya batal, nikahnya batal. Jika ia
telah digauli maka ia berhak mendapatkan mahar, karena lelaki itu telah
menghalalkan kemaluannya. Jika terjadi pertengkaran di antara mereka, maka
penguasalah yang menjadi wali atas orang yang tidak memiliki wali.” (HR. Abu
Daud: 2083, Tirmdizi: 1101 dan Ibnu Majah: 1879).
Wanita
manapun, hitam-putih, perawan-janda, miskin-kaya, tua-muda, bila ingin menikah
harus ada persetujuan dari walinya. Jika ia tetap melangsungkan pernikahannya
tanpa itu (walinya), maka nikahnya batal, tidak sah. Meskipun pernikahannya di
depan ka’bah, atau di hotel mewah. Meskipun yang menghadiri pernikahannya para
pejabat atau penjahat.
Lantas
siapakah wali bagi seorang wanita itu? Bapaknya. Jika tak ada, maka kakeknya.
Jika tak ada, maka saudaranya yang laki-laki. Jika tak ada, maka anak
saudaranya tersebut. Jika tak ada, maka pamannya. Jika tak ada, maka anak
pamannya.
2. Keridhaan
si wanita sebelum pernikahan.
Rasulullah SAW.
bersabda:
“Tidaklah
seorang janda dinikahi hingga diminta pengakuannya dan tidaklah dinikahi
seorang gadis hingga dimintai izin. “ Para shahabat bertanya, “Wahai Rasulullah
apa tandanya kalau ia mengizinkan? “ Beliau menjawab, “Jika ia diam. “ (HR.
Bukhari: 5136 dan Muslim: 1419)
Dari
Ibnu Abbas Ra, bahwasanya seorang gadis datang kepada Nabi SAW lalu menyebutkan bahwa bapaknya menikahkannya
sedangkan ia tidak menginginkannya. Maka beliaupun memberinya pilihan (untuk
meneruskan atau menghentikan pernikahannya itu) (HR. Abu Daud: 2096).
Dari
Ibnu Buraidah dari ayahnya, ia berkata, “Pernah datang seorang gadis kepada
Nabi SAW seraya berucap, ‘Sesungguhnya ayahku telah menikahkanku dengan
keponakannya untuk meninggikan derajatnya.’” Buraidah berkata, “Maka Nabi SAW
menyerahkan masalah tersebut kepada gadis itu, maka gadis itu pun berkata, ‘Aku
tidak keberatan atas tindakan ayahku, hanya saja aku ingin agar kaum wanita
mengetahui
bahwa para orang tua tidak memiliki hak apa-apa dalam masalah ini (yaitu memaksakan pernikahan).”(HR. An-Nasai: 3269 dan Ibnu majah:1874).
bahwa para orang tua tidak memiliki hak apa-apa dalam masalah ini (yaitu memaksakan pernikahan).”(HR. An-Nasai: 3269 dan Ibnu majah:1874).
Siapapun
yang memiliki wanita yang ada di bawah tanggungannya (yaitu wali), apakah
bapak, kakek, dan semisalnya, jika hendak menikahkan wanitanya tersebut,
hendaknya meminta persetujuan darinya. Jika ia menyetujuinya, makanya boleh
dilanjutkan dengan pernikahan. Jika ia menolak, maka tak boleh dilanjutkan
dengan pernikahan.
Kecuali
wanita yang belum dewasa (baligh), maka boleh menikahkannya meskipun tidak
mendapatkan persetujuan darinya.
Diantara
dalil yang menunjukkan bolehnya tersebut, adalah pernikahan antara Nabi kita Muhammad
SAW dengan Aisyah Ra. Abu Bakar Ra. menikahkan putrinya tersebut yaitu
Aisyah dengan Nabi Muhammad SAW, tanpa meminta persetujuan dulu darinya
dan ia ketika itu belum baligh.
3. Adanya
mahar (maskawin) yang diberikan kepada si wanita, baik disebutkan mahar
tersebut atau tidak disebutkan ketika akad nikah.
Allah SWT berfirman:
“Berilah mahar kepada wanita (yang kalian nikahi)
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan
kepada kalian sebagian dari mahar itu dengan senang hati, maka makanlah
(ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. “
(QS. An-Nisa: 4)
Dalam suatu hadits disebutkan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan seorang shahabat
miskin yang ingin menikah agar menyerahkan mahar kepada calon
pasangannya walaupun berupa cincin dari besi.
4.
Dihadiri oleh dua orang saksi.
Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak ada pernikahan
kecuali dengan adanya wali dan dua saksi yang adil. “ (Sunan Ad-Daruquthni :
3/225 Kitabunnikah).
Adapun syarat untuk menjadi saksi di sini yaitu:
1)
Berakal
Orang gila, setengah gila atau semisal dengannya, tidak bisa menjadi
saksi dalam pernikahan, meskipun ia telah berubah.
2)
Baligh
Anak kecil yang belum baligh tidak bisa menjadi saksi pernikahan,
secerdas apapun dia, meskipun lebih cerdas dibandingkan para mahasiswa.
3)
Islam
Seorang ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani) atau selain Ahlul kitab,
seperti Majusi, Hindu, Budha, dan lain-lain atau orang yang murtad dari islam,
atau mengaku beragama islam, tapi memiliki pemikiran kufur, mereka semua tidak
boleh menjadi saksi dalam pernikahan, ‘sesaleh’ apapun mereka dan sedermawan
apapun, walaupun gemar membagi-bagi beras dan mie.
4)
Laki-laki
Seorang wanita tidak bisa menjadi saksi dalam pernikahan, secantik
apapun ia dan secerdas apapun dia, walaupun ia putrid kecantikan dunia dan
walaupun dia seorang professor.
5)
Adil
Yang dimaksud adil disini adalah yang tidak nampak padanya
kefasikan. Karena itu orang yang terbiasa meminum khamr, terkenal berbuat zina,
mencuri dan berbagi kemungkaran lainnya, tidak berhak menjadi seorang saksi
dalam pernikahan, walaupun punya backing
di kepolisian.
Adapun mengenai rukun nikah adalah:
1.
Adanya calon suami dengan
syarat-syaratnya, yaitu:
(1)
Islam
(2)
Tidak di paksa
(3)
Bukan mahram calon isteri
(4)
Tidak sedang melaksanakan
ibadah haji atau umroh
2.
Calon isteri syarat-syaratnya,
yaitu:
(1)
Islam
(2)
Bukan mahram calon suami
(3)
Tidak sedang melaksanakan
ibadah haji atau umroh
Nabi SAW telah memberikan petunjuk sifat-sifat perempuan
yang baik, antara lain :
(1)
Wanita yang beragama dan
menjalankannya
(2)
Wanita yang keturunannya orang
yang mempunyai keturunan yang baik
(3)
Wanita yang masih perawan
3.
Wali
Dari Abu Musa radliyallahu anhu, nabi Muhammad SAW bersabda:
“Tidaklah sah suatu pernikahan tanpa wali” (HR. Abu Daud). Wali yang mendapat
prioritas pertama diantara sekalian wali-wali yang ada adalah ayah dari
pengantin wanita. Kalau tidak ada barulah kakeknya (ayahnya ayah), kemudian
saudara lelaki seayah seibu atau seayah, kemudian anak saudara lelaki. Sesudah
itu barulah kerabat-kerabat terdekat yang lainnya atau hakim. syarat-syarat
menjadi wali, yaitu:
(1)
Islam
(2)
Baligh (dewasa)
(3)
Berakal sehat
(4)
Adil ( tidak fasik )
(5)
Laki-laki; dan
(6)
Mempunyai hak untuk menjadi
wali
4.
Dua orang saksi
Rasulullah SAW bersabda: “Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang
wali dan dua orang saksi yang adil” (HR. Al-Baihaqi). Adapun syarat-syaratnya:
(1)
Islam
(2)
Baligh (dewasa)
(3)
Berakal sehat
(4)
Adil (fasik)
(5)
Laki-laki; dan
(6)
Mengerti maksud aqad nikah
5.
Ijab dan Qobul
Ijab adalah perkataan dari wali pihak perempuan, sedangkan
Qobul adalah jawaban laki-laki dalam menerima ucapan wali perempuan.
Diriwayatkan dalam sebuah hadist bahwa: Sahl bin Said berkata: “seorang
perempuan dating kepada Nabi SAW untuk menyerahkan dirinya, dia berkata: “saya
serahkan diriku kepadamu.” Lalu ia berdirilama sekali (untuk menanti). Kemudian
seorang laki-laki berdiri dan berkata: “Wahai Rasullullah kawinkanlah saya
dengannya jika engkau tidak berhajat padanya.” Lalu Rasullullah SAW bersabda:
“Aku kawinkan engkau kepadanya dengan mahar yang ada padamu.” (HR. Bukhari dan
Muslim). Hadist tersebut menerangkan bahwa Rasullullah SAW telah mengijabkan
seorang perempuan kepada Sahl dengan mahar atau mas kawinnya ayat Al-Quran dan Sahl menerimanya. Adapun Syarat-syarat
ijab qobul adalah:
(1)
Dengan kata nikah atau tazwij
atau terjemahan
(2)
Ada persesuaian antara ijab dan
qobul
(3)
Berturut-turut, artinya ijab
qobul itu tidak terselang waktu yang lama
(4)
Tidak memakai syarat yang dapat
menghalangi kelangsungan pernikahan
6.
Mahar
Mahar atau maskawin adalah perberian dari seorang laki-laki kepada
seorang perempuan baik berupa uang atau benda-benda yang berharga yang
disebabkan karena pernikahan diantara keduanya. Pemberian mahar merupakan
kewajiban bagi laki-laki yang menikahi perempuan. Mahar ini tidak termasuk rukun
nikah, sehingga jika pada waktu akad nikah tidak disebutkan mahar itu, maka
akad nikah tetap sah. Banyaknya mahar itu tidak dibatasi oleh syari’at islam,
hanya menurut kekuatan suami serta keridhaan isteri. Islam juga lebih menyukai
mas kawin yang mudah dan sederhana serta tidak berlebih-lebihan dalam
memintanya. Dari Uqbah bin Amir, Rasullullah SAW bersabda: “sebaik-baik mahar
adalah yang paling ringan.” (HR. Al-Hakim dan Ibnu Majah)
Menurut
Bapak Damang S.H (Dalam www.Negara Hukum.com)
perkawinan yang telah dilaksanakan menurut syarat dan rukun nikah adalah
perkawian yang sah. Sehingga lebih tepat kalau kita mengatakan adalah perkawian
sah yang tersembunyi. Oleh karena belum mendapat pengakuan oleh pemerintah.
Terlepas dari konsekuensi bahwa dengan tidak adanya dampak hukum bagi salah
satu pihak. Dengan tidak adanya pencatatan, misalnya istri tidak dapat
memiliki kekuatan legitimasi untuk mendapatkan nafkah dari suaminya jika suatu
waktu terjadi perceraian. Demikian halnya juga anak dari hasil perkawinan itu.
Oleh negara dan hukum positif kita menganggap tidak memiliki kekuatan
pembuktian yang sah sehingga sang anak dapat memperoleh warisan dari ayahnya.
Karena hukum dimana-mana memerlukan pembuktian yang otentik.
Menurut saya bahwa benar, jika kita
mengkaji dan melihat lebih dalam ternyata perkawinan yang sah menurut agama
tidak cocok jika dikatakan sebagai perkawina siri, karena telah memenuhi syarat
sahnya suatu perkawinan khususnya dalam undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dalam
Pasal 2 ayat (1), hanya saja mereka tidak bisa melakukan perbuatan hukum
dikemudian hari mengenai harta serta terhadap anak-anak mereka, karena perkawinan yang mereka lakukan tidak
mempunyai kekuatan hukum atau akta yang otentik. Dan jika anak hasil dari
perkawinan siri itu adalah anak zina, berarti perkawinan siri adalah perkawinan
yang dilangsungkan oleh seorang laki-laki dan perempuan tanpa menggunakan wali
atau saksi yang dibenarkan oleh syariat islam. Menurut para ulama mereka
sepakat bahwa perkawinan jenis ini adalah perkawinan yang tidak sah dan bahkan
disamakan dengan perzinahan.
4.2
Akibat Hukum Nikah Siri Terhadap Kedudukan Anak
Pembahasan mengenai anak, hak dan
kewajibannya serta hubungannya dengan orang tuanya menurut hukum islam, UUP dan
KHI telah dijelaskan pada Bab II sebelumnya. Dalam paparan berikut akan dikupas
mengenai kedudukan anak dari hasil perkawinan siri dalam hubungannya dengan
hukum Negara (UUP dan KHI).
4.2.1 Sebelum Adanya Putusan MK No 46/PUU-VIII/2010
Anak-anak yang dilahirkan dari
perkawinan siri dianggap sebagai anak luar kawin (dianggap tidak sah) oleh
Negara sehingga akibat hukuimnya anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibu dan keluarganya sedang hubungan perdata dengan ayahnya tidak ada (pasal 42
dan 43 UUP dan pasal 100 KHI), (http://www.lbh-apik.or.id). Bunyi
dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 mengatur kedudukan anak luar kawin dalam
pasal 43, yaitu :
1. Anak
yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya;
2. Kedudukan
anak tersebut ayat (1) diatas selanjutnya akan diatur dalam peraturan Peraturan
Pemerintah.
Akibat hukum yang lain dari nikah
siri terhadap anak adalah anak tidak dapat mengurus akta kelahiran. hal itu
bisa dilihat dari permohonan akta kelahiran yang diajukan kepada kantor catatan
sipil. Bila tidak dapat menunjukan akta nikah orangtua si anak tersebut, maka
didalam akta kelahiran anak itu statusnya dianggap sebagai anak luar nikah,
tidak tertulis nama ayah kandungnya dan hanya tertulis ibu kandungnya
saja. Keterangan berupa status sebagai
anak luar nikah dan tidak tercatatnya nama si ayah akan berdampak sangat
mendalam secara sosial dan psikologis bagi si anak dan ibunya.
Ketidak jelasan status si anak di
muka hukum, mengakibatkan hubungan antara ayah dan anak tidak kuat, sehingga
bisa saja suatu waktu ayahnya menyangkal bahwa anak tersebut adalah anak
kandungnya.
Akibat lebih jauh dari perkawinan
yang tidak tercatat adalah anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut
tidak berhak menuntut nafkah, biaya pendidikan, ataupun warisan dari ayahnya.
Anak yang lahir diluar perkawinan
atau sebagai akibat hubungan suami istri yang tidak sah, hanya mempunyai
hubungan nasab, hak dan kewajiban nafkah serta hak dan hubungan kewarisan
dengan ibunya serta keluarga ibunya saja, tidak dengan ayah/bapak alami
(genetiknya), kecuali ayahnya tetap mau bertanggung jawab dan tetap mendasarkan
hak dan kewajibannya menurut hukum islam. Perkawinan siri tidak dapat
mengingkari adanya hubungan darah dan keturunan antara ayah biologis dan si
anak itu sendiri. Begitu juga ayah/bapak alami (genetik) tidak sah menjadi wali
untuk menikahkan anak alami (genetiknya), jika anak tersebut kebetulan anak
perempuan. Jika anak yang lahir di luar pernikahan tersebut berjenis kelamin
perempuan dan hendak melangsungkan pernikahan maka wali nikah yang bersangkutan
adalah wali hakim, karena termasuk kelompok yang tidak mempunyai wali.
Hasil penelitian AcNielson
menunjukkan bahwa responden di seluruh area yang diteliti memiliki keyakinan
yang sama tentang konsekwensi kawin siri yaitu; istri dan anak kapan saja bisa
ditinggalkan suami; istri tak dapat menuntut tunjangan financial untuk
membesarkan anak dari mantan suami; istri sering akhirnya memikul seluruh
tanggung jawab membesarkan anak; anak tak punya hak waris atas harta benda
peninggalan ayahnya; anak tak punya status yang jelas tentang ayahnya, sehingga
sulit ketika membuat akta kelahiran anak. (Hasil
penelitian di beberapa daerah jawa trengah dan jawa barat oleh AcNeilson, 2006)
Menurut Rifka Kurnia, dampak hukum
yang timbul dari sebuah pernikahan siri akan terjadi kalau ada perceraian,
sering dijumpai hak-hak anak-anak dikeluarga yang melakukan nikah siri
terabaikan. Karena pria yang melakukan nikah siri tidak mau bertanggung jawab
atas biaya pendidikan dan kebutuhan sianak. Anak-anak yang lahir dari
pernikahan siri biasanya juga kesulitan dalam mendapat Akte kelahiran, sebab
orang tuanya tidak mempunyai akta nikah. Dan yang paling pokok, nikah siri
tidak dapat disahkan oleh Negara kecuali jika akan dilakukan penetapan atau
pengesahan (Itsbat nikah). (www.idlo.int/bandaacehawareness)
Harus diakui tidak semua anak lahir
dari perkawinan yang sah, bahkan ada
kelompok anak yang lahir sebagai akibat dari perbuatan zina. Anak-anak yang
tidak beruntung ini kedudukan hukunya yang berkaitan dengan hak-hak keperdataan
mereka tentu saja amat tidak menguntungkan, padahal kehadiran mereka didunia
ini atas kesalahan dan doda-dosa orang yang membangkitkan mereka. Anak-anak
yang disebut anak luar nikah ini, diasumsikan relatif banyak terdapat di
Indonesia dan sebagian besar dari mereka berasal dari orang-orang yang beragama
islam termasuk anak-anak yang dilahirkan dari perkawian siri.
Salah satu masalah yang paling
krusial dalam perkawinan siri adalah bilamana rumah tangga yang dilakoni suami
isteri itu telah melahirkan keturunan (anak). Dampak negatifnya berujung pada
si anak. Paling tidak anak-anak kurang mendapat perlakuan yang semestinya dibanding
dengan anak-anak dari keluarga yang resmi. Secara syariat islam, hubungan anak
dengan ayah dan ibunya tidak masalah tetapi bila dihadapkan dengan hukum Negara
hubungan keperdataan dengan ayah
biologisnya tidak diakui.
Derita sianak semakin bertambah bila
ayah dan keluarga ayahnya tidak mengakui dan hanya diakui oleh ibu dan keluarga
ibunya sehingga fasilitas pendukung hidupnya terputus. Apalagi bila ibunya
telah ditinggalkan atau dicerai ayahnya, semua hak ibu dan anaknya tidak
didapat kecuali ada kesadaran dari ayahnya untuk menjalankan ketentuan agama.
4.2.2 Setelah Adanya Putusan MK No 46/PUU-VIII/2010
Sebagaimana pada penjelasan
sebelumnya, bahwa anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Hal ini sesuai
dengan ketentuan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Pasal 43 ayat (1).
Namun, Pasal ini dimaknai berbeda
setelah adanya Putusan MK No 46/PUU-VIII/2010 yang dikeluarkan pada tanggal 17
Februari 2012, yang pada pokoknya sebagai berikut:
1. Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak yang
dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga ibunya”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata
dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan
darah sebagai ayahnya;
2. Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak yang
dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga ibunya”, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang
dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut
hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut
harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta
dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan
dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan
darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”;
Putusan
diatas, didasarkan pada pertimbangan bahwa pokok permasalahan hukum mengenai
anak yang dilahirkan di luar perkawinan adalah mengenai makna hukum (legal
meaning) frasa “yang dilahirkan di luar perkawinan”. Untuk
memperoleh jawaban dalam perspektif yang lebih luas perlu dijawab pula
permasalahan terkait, yaitu permasalahan tentang sahnya anak.
Secara
alamiah, tidaklah mungkin seorang perempuan hamil tanpa terjadinya pertemuan
antara ovum dan spermatozoa baik melalui hubungan seksual (coitus)
maupun melalui cara lain berdasarkan perkembangan teknologi yang menyebabkan
terjadinya pembuahan. Oleh karena itu, tidak tepat dan tidak adil manakala
hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan
seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan tersebut
sebagai ibunya. Adalah tidak tepat dan tidak adil pula jika hukum membebaskan
laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang menyebabkan terjadinya kehamilan
dan kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya sebagai seorang bapak dan
bersamaan dengan itu hukum meniadakan hak-hak anak terhadap lelaki tersebut
sebagai bapaknya. Lebih-lebih manakala berdasarkan perkembangan teknologi yang
ada memungkinkan dapat dibuktikan bahwa seorang anak itu merupakan anak dari
laki-laki tertentu.
Akibat
hukum dari peristiwa hukum kelahiran karena kehamilan, yang didahului dengan
hubungan seksual antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki, adalah
hubungan hukum yang di dalamnya terdapat hak dan kewajiban secara bertimbal
balik, yang subjek hukumnya meliputi anak, ibu, dan bapak.
Berdasarkan
uraian di atas, hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak
semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan
pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut
sebagai bapak. Dengan demikian, terlepas dari soal prosedur/administrasi
perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapatkan perlindungan hukum. Jika
tidak demikian, maka yang dirugikan adalah anak yang dilahirkan di luar
perkawinan, padahal anak tersebut tidak berdosa karena kelahirannya di luar
kehendaknya. Anak yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan status ayah
seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan stigma di
tengah-tengah masyarakat. Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum
yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada
padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan
perkawinannya masih dipersengketakan.
Oleh karena itu, berdasarkan
uraian tersebut di atas maka Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang No 1 Tahun 1974
yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” harus dibaca,
“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat
dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain
menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan
keluarga ayahnya”, dan Pasal
43 ayat (1) Undang-Undang No 1 Tahun 1974 yang menyatakan, “Anak yang
dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya” adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) yakni
inkonstitusional sepanjang ayat tersebut dimaknai menghilangkan hubungan
perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah sebagai
ayahnya.
4.2.3
Kedudukan
Anak Nikah Siri Dalam Hukum Islam
Seorang anak yang sah ialah, anak
yang dianggap lahir dari perkawinan yang sah antara ayah dan ibunya. Dan sahnya
seorang anak didalam islam adalah menentukan apakah ada atau tidak hubungan
kebapakan (nasab) dengan seorang laki-laki.
Dalam hal hubungan nasab dengan
bapaknya tidak ditentukan oleh kehendak atau kerelaan manusia, namun ditentukan
oleh perkawinan yang syarat dan rukunya terpenuhi.
Sama halnya dengan perkawinan siri,
perkawinan ini dikatakan sah karena syarat dan rukunnya terpenuhi. Sehingga
anak yang dilahirkan dari perkawinan ini juga dianggap sah dan berhak
mendapatkan pengakuan dari ayah dan keluarga ayahnya serta mendapatkan hak
waris dari orang tuanya.
Anak sebagai amanah Allah, maka
orang tuanya mempunyai tanggung jawab untuk mengasuh, mendidik dan memenuhi
keperluannya sampai dewasa.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan dari pembahasan di atas
dengan judul Akibat Hukum Nikah Siri Di Tinjau dari UNdang-Undang Perkawinan No
1 Tahun 1974 dan Perspektif Hukum Islam, penulis dapat mengambil suatu
kesimpulan sebagai berikut:
1. Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menyatakan bahwa perkawinan itu dikatakan
sah jika di catatkan sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2), oleh karena itu
nikah siri di anggap tidak sah karena tidak memenuhi unsure pasal tersebut.
2. Sedangkan
menurut Hukum Islam Nikah siri itu dikatakan sah jika telah memenuhi syarat
sahnya perkawinan dan dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannyan, hal ini berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 dan Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam. Atau dengan kata lain perkawinan
sah menurut hukum islam apabila memenuhi syarat dan rukun nikah.
3. Sebelum
adanya putusan MK No 46/PUU-VIII/2010, anak dari hasil nikah siri hanya
mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluwarga ibunya. Sedangkan
setelah adanya putusan MK No 46/PUU-VIII/2010, anak dari hasil nikah siri tidak
hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluawarga ibunya, akan tetapi
dapat pula memiliki hubungan keperdataan dengan ayahnya jika mendapat pengakuan
dari ayah biologisnya atau dapat di buktikan dengan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
5.2 Saran
1.
Di harapkan kepada seluruh masyarakat khususnya yang ada di Pohuwato, jangan
sekali-kali melakukan perkawinan yang tidak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan karena akan menimbulkan ketidak pastian hukum, dalam hal ini
yang disebut perkawinan siri yang tentunya banyak merajalela dikalangan
masyarakat saat ini.
2.
Mengingat banyaknya nikah siri di kalangan masyarakat, khususnya di daerah
Pohuwato, maka kepada Pemerintah kiranya dapat lebih aktif dalam melakukan
penyuluhan-penyuluhan hukum tentang nikah siri dan dampaknya bagi anak. Karena
dampak dari pernikahan ini sangatlah merugikan khususnya buat anak yang
dilahirkan dari pernikahan siri nantinya.
3.
Karena pada realitanya perkawinan siri ini susah untuk di hilangkan pada
kebiasaan masyarakat populer saat ini ataupun akan datang, di tambah lagi sudah
terbitnya putusan MK No 46/PUU-VIII/2010 mengenai revisi Undang-Undang No 1
Tahun 1974 pasal 43 ayat 1. Maka diharapkan kepada aparat pemerintah agar dapat
membuat aturan yang pasti mengenai perkawinan siri.
Assalamu'alaikum
BalasHapusSaya ingin bertanya dengan 2 kasus berikut :
Kasus 1. Suami (sudah ada 2 istri sah), menikah lagi secara siri dan melahirkan 2 anak, lalu nikah siri diistbath kan, namun oleh istri sah, istbat digugat krn menyalahi aturan poligami, dan gugatan dikabulkan, sehingga statsu kembali sebagai istri siri.
Pertanyaan :
kedua Anak lahir dari perkawinan siri (anak luar kawin), lalu menjadi sah, namun krn gugatan itsbat yang dikabulkan, bgmn-kah status kedua anak tersebut ? anak siri atau anak sah ?
Kasus 2. Suami istri menikah sah, lahir 2 anak, namun tanpa disangka ternyata suami istri tersebut melanggar aturan pernikahan krn ketidah tahuannya, sehingga perkawainannya dibatalkan.
Pertanyananya :
Kedua anak lahir dari perkawinan yang sah secara agam dan negara, lalu pernikahannya di batalkan, jadi status kedua anak bagaimana ?
mohon penjelasan dapat di emailkan ke rudiforex@yahoo.com
Terima kasih.
Rudi
anaknya tetap anak sah secara agama dan secara hukum positif karena pembatalan nikah tersebut tidak berlaku surut...
Hapusnice info gan, bagus artikelnya
BalasHapusSouvenir Murah Kediri
boleh nanya, daftar pustaka nya kok tidak di tampilkan yah?
BalasHapusbutuh penjelasan daftar pustakanyaa . terima kasih
BalasHapuskok daftar pustakanya tidak ada?
BalasHapusApa akibat hukum dari perkawinan yang tidak sah terhadap suami, istri,anak dan harta?
BalasHapusKak yuyanti lalata tolong dong skripsinya di post dalam pdf
BalasHapus