a. Pengertian Korban (Victim)
Menurut kamus Crime Dictionary yang
dikutip seorang ahli (Abdussalam, 2010:5) bahwa Victim adalah “orang yang telah
mendapat penderitaan fisik atau penderitaan mental, kerugian harta benda atau
mengakibatkan mati atas perbuatan atau usaha pelanggaran ringan dilakukan oleh
pelaku tindak pidana dan lainnya”. Disini jelas yang dimaksud “orang yang
mendapat penderitaan fisik dan seterusnya” itu adalah korban dari pelanggaran
atau tindak pidana.
Selaras dengan pendapat diatas
adalah (Arif Gosita, 1989:75) menyatakan yang dimaksud dengan korban adalah:
“mereka yang menderita jasmaniah dan
rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan diri sendiri
atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang
menderita”. Ini menggunakan istilah penderitaan jasmaniah dan rohaniah (fisik
dan mental) dari korban dan juga bertentangan dengan hak asasi manusia dari
korban.
Selanjutnya secara yuridis
pengertian korban termaktub dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang
perlindungan saksi dan korban, yang dinyatakan bahwa korban adalah “seseorang yang mengalami penderitaan fisik,
mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”.
Melihat rumusan tersebut yang disebut korban adalah:
1. Setiap orang,
2. Mengalami penderitaan fisik, mental,
dan/atau
3. Kerugian ekonomi,
4. Akibat tindak pidana.
Ternyata
pengertian korban disesuaikan dengan masalah yang diatur dalam beberapa
perundang-undangan tersebut. Jadi tidak ada satu pengertian yang baku, namun
hakikatnya adalah sama, yaitu sebagai korban tindak pidana. Tentunya tergantung
sebagai korban tindak pidana apa, misalnya kekerasan dalam rumah tangga,
pelanggaran HAM yang berat dan sebagainya. Untuk pengertian umum dari korban
seperti tertuang dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006.
Menurut
Peraturan Pemerintah nomor 2 Tahun 2002 tentang tata cara perlindungan terhadap
korban dan saksi-saksi dalam pelanggaran HAM yang berat, korban adalah:
“orang
perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat
pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang memerlukan perlindungan fisik dan
mental dari ancaman, gangguan, terror, dan kekerasan pihak mana pun”.
Sedangkan
yang disebut korban menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah:
“orang
yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah
tangga”.
Kemudian
menurut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi, yang dimaksud dengan korban adalah:
“orang
perseorangan atau kelompok orang yang
mengalami penderitaan, baik fisik, mental maupun emosional, kerugian ekonomi
atau mengalami pengabaian, pengurangan atau perampasan hak-hak dasarnya sebagai
akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat
termasuk korban atau ahli warisnya”.
Secara etiologis korban adalah
merupakan orang yang mengalami kerugian baik kerugian fisik, mental maupun
kerugian finansial yang merupakan akibat dari suatu tindak pidana (sebagai
akibat) atau merupakan sebagai salah satu faktor timbulnya tindak pidana (sebagai
sebab). Korban diartikan sebagai seseorang yang telah menderita kerugian
sebagai akibat tindak pidana dan rasa keadilannya secara langsung terganggu
sebagai akibat pengalamannya sebagai target / sasaran tindak pidana. Konsepsi
korban Tindak Pidana terumuskan juga dalam Declaration
of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power,
yaitu :
1. Korban tindak pidana (Victim of Crime) meliputi
a. Korban Langsung (Direct Victims)
Yaitu
korban yang langsung mengalami dan merasakan penderitaan dengan adanya tindak
pidana dengan karakteristik sebagai berikut :
1) Korban adalah orang baik secara
individu atau secara kolektif.
2) Menderita kerugian meliputi : luka
fisik, luka mental, penderitaan emosional, kehilangan pendapatan dan penindasan
hak-hak dasar manusia.
3) Disebabkan adanya perbuatan atau
kelalaian yang terumuskan dalam hukum pidana.
4) Atau disebabkan oleh adanya penyalahgunaan
kekuasaan.
b. Korban Tidak Langsung (Indirect Victims)
Yaitu
timbulnya korban akibat dari turut campurnya seseorang dalam membantu korban
langsung (direct victims) atau turut
melakukan pencegahan timbulnya korban, tetapi dia sendiri menjadi korban tindak
pidana, atau mereka menggantungkan hidupnya kepada korban langsung seperti
isteri / suami, anak-anak dan keluarga terdekat.
2. Victims of abuse of power
Korban adalah orang yang secara
individual atau kolektif menderita kerugian, termasuk luka fisik atau mental,
penderitaan emosional, kehilangan ekonomi atau pelanggaran terhadap pokokpokok
hak dasar mereka, melalui perbuatan-perbuatan atau kelalaian yang belum
merupakan pelanggaran undang-undang pidana Nasional tetapi norma-norma diakui
secara internasional yang berhubungan dengan hak-hak asasi manusia (Bambang
Djoyo Supeno, SH, Mhum, 1997 : 14)
Menurut Arif Gosita (2004 : 222)
yang dimaksud dengan korban adalah:
“Mereka yang menderita jasmaniah dan
rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan
diri sendiri atau orang lain yang berhubungan dengan kepentingan dan hak asasi
yang menderita”.
Pengertian
dan ruang lingkup korban menurut Resolosi Majelis Umum PBB No. 40/34 Tahun 1985
adalah orang-orang, baik secara individual maupun kolektif, yang menderita
kerugian akibat perbuatan atau tidak berbuat yang menlanggar hukum pidana yang
berlaku disuatu negara, termasuk peraturan yang melarang penyalahgunaan
kekuasaan. Dalam bagian lain terutama mengenai pengertian “Victims of Power” bahwa orang-orang yang menjadi korban dari perbuatan-perbuatan
atau tidak berbuat yang walaupun belum merupakan pelanggaran Menurut norma HAM
yang diakui secara internasional juga termasuk dalam pengertian “Korban”
b.
Ciri-Ciri Korban (Victim)
Dilihat
dari peranan korban dalam terjadinya tindak pidana, Stephen Schafer mengatakan
pada prinsipnya terdapat 4 (empat) tipe / ciri-ciri korban:
1. Orang yang tidak mempunyai kesalahan
apa-apa, tetapi tetap menjadi korban. Untuk tipe ini, kesalahan ada pada pelaku
2. Korban secara sadar atau tidak sadar
telah melakukan sesuatu yang merangsang orang lain untuk melakukan kejahatan.
Untuk tipe ini, korban dinyatakan turut mempunyai andil dalam terjadinya
kejahatan sehingga kesalahan terletak pada pelaku dan korban.
3. Mereka yang secara biologis dan
sosial potensial menjadi korban. Anak-anak, orang tua, orang yang cacat fisik
atau mental, orang miskin, golongan minotitas dan sebagainya merupakan
orang-orang yang mudah menjadi korban. korban dalam hal ini tidak dapat
disalahkan tetapi masyarakatlah yang harus bertanggung jawab.
4. Korban karena ia sendiri merupakan
pelaku. inilah yang dikatakan sebagai kejahatan tanpa korban. Pelacuran,
perjudian, zina, merupakan beberapa kejahatan yang tergolong kejahatan tanpa
korban. pihak yang bersalah adalah korban karena ia juga sebagai pelaku.
c. Lingkup
Korban ( Victim )
Berbicara mengenai korban kejahatan
pada awalnya tentu korban orang per seorangan atau individu. Pandangan begini
tidak salah, karena untuk kejahatan yang lazim terjadi dimasyarakat memang
demikian. Misalnya pembunuhan, penganiyayaan, perkosaan, pencurian dan
sebagainya.
Pada
tahap perkembangannya, korban kejahatan bukan saja orang perorangan, tetapi
meluas dan kompleks. Persepsinya tidah hanya banyaknya jumlah korban (orang),
namun juga korporasi, institusi, pemerintah, bangsa dan Negara. Hal ini juga
dinyatakan (Arif Gosita, 1989: 75-76) bahwa korban dapat berarti “ individu
atau kelompok baik swasta maupun pemerintah”.
Lebih
luas dijabarkan (Abdussalam, 2010: 6-7) mengenai korban perseorangan,
institusi, lingkungan hidup, masyarakat, bangsa, dan Negara sebagai berikut:
1. Korban perseorangan adalah setiap
orang sebagai individu mendapat penderitaan baik jiwa, fisik, materil, maupun
nonmaterial.
2. Korban institusi adalah setiap
institusi mengalami penderitaan kerugian dalam menjalankan fungsinya yang
menimbulkan kerugian berkepanjangan akibat dari keijakan
pemerintah, kebijakan swasta, maupun bencana alam.
3. Korban lingkungan hidup
adalah setiap lingkungan alam yang didalamnya berisikan
kehidupan tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia dan masyarakat serta semua jasad
hidup yang tumbuh berkembang dan kelestariannya sangat tergantung pada
lingkungan alam tersebut yang telah mengalami gundul, longsor, banjir, dan
kebakaran yang ditimbulkan oleh kebijakan pemerintah yang salah dan perbuatan
manusia baik individu maupun masyarakat yang tidak bertanggung jawab.
4. Korban masyarakat,
bangsa, dan Negara adalah masyarakat yang diberlakukan secara diskriminatif
tidak adil, tumpang tindih pembagian hasil pembangunan serta hak sipil, hak
politik, hak ekonomi, hak sosial, hak budaya tidak lebih baik setiap tahun.
Selain yang disebut itu, kiranya
untuk korban institusi, masyarakat, bangsa, dan Negara dikaitkan maraknya
kejahatan baik kualits maupun kuantitas dapat ditambahkan, antara lain sebagai berikut:
1. Dalam perkara korupsi dapat menjadi
korban tindak pidana korupsi berupa kerugian keuangan Negara dan perekonomian
Negara, kualitas kehidupan, ruaknya insfrasturktur dan sebagainya.
2. Dalam tindak pidana terorisme, dapat
mengalami korban jiwa masyarakat, keresahan masyarakat, kerusakan infrastuktur,
terusiknya ketenangan, kerugian materiil, dan imateriil lainnya.
3. Dalam tindak pidana narkotika, dapat
menjadi korban rusaknya generasi muda, menurunya kualitas hidup masyarakat, dan
sebagainya.
4. Dalam tindak pidana perusakan
lingkungan hidup, pembabatan hutan dan illegal logging, dapat menyebabkan
rusaknya, lingkungan, tanah tandus, banjir bandang, serta merusak infrastuktur
dan penderitaan rakyat yang
berkepanjangan.
Diluar uraian diatas, masih banyak kerugian
yang diderita masyarakat, bangsa dan Negara akibat tindak pidana. Misalnya
kerugian pendapatan Negara jika terjadi tindak pdana penyelundupan, kepabenan,
perpajakan, pencucian uang, dan tindak pidana perekonomian lainnya. Pada
prinsipnya bila terjadi tindak pidana apalagi semakin meningkat sangat
merugikan masyarakat, bangsa, dan Negara. Kerugian-kerugian dapat membawa
dampak negatif di bidang politik, ekonomi, social, budaya, hukum, rendahnya
moralitas, dan kerugian-kerugian dibidang lainnya.
Perlu ditambahkan bahwa korban
perseorangan bukan hanya seperti tersebut diatas. Adakala korban juga sebagai
pelaku, misalnya pengguna narkotika, anak nakal dan sebagainya. Lebih lanjut
dinyatakan seorang ahli (Romli Atmasasmita,
1992: 7) bahwa “untuk perbuatan pelanggaran hukum tertentu, mungkin terjadi apa
yang sering dikenal dalam kepustakaan kriminologi, sebagai victimless crime (Schur, 1965) atau kejahatan “tanpa korban”.
Bahkan korban dan pelaku adalah tunggal atau satu, bahwa pengertian bahwa
pelaku adalah korban dan korban adalah pelaku juga. Sebagai contoh pelacuran,
perjudian, tindak pidana narkotika sebagai pemakai atau drug-users. Jenis pelanggaran hukum tidak dapat membedakan secara
tegas antara siapa korban dan siapa pelaku.
d. Hubungan
Korban Dengan Kejahatan
Pada umumnya dikatakan hubungan korban
dengan kejahatan adalah pihak yang menjadi korban sebagai akibat
kejahatan.tentu ada asap pasti ada api. Pihak tersebut menjadi korban karena
ada pihak lain yang melakukan kejahatan. Memang demikianlah pendapat yang kuat
selama ini yang didukung dengan fakta yang ada, meskipun dalam praktik ada
dinamika yang berkembang.
Hal lain yang disepakati dalam hubungan
ini, terpenting pihak korban adalah pihak yang dirugikan. Pelaku merupakan
pihak yang mengambil untung atau merugikan korban. Kerugian yang sering
diterima atau diderita korban (lihat pengertian-pengertian korban) misalnya
fisik, mental, ekonomi, harga diri dan sebagainya. Ini berkaitan dengan status,
kedudukan, posisi , tipologi korban dan sebagainya.
Uraian tersebut menegaskan yang
bersangkutan sebagai korban “murni” dari kejahatan. Artinya korban memang
korban yang sebenar-benarnya/senyatanya. Korban tidak bersalah hanya
semata-mata hanya sebagai korban. Mengapa menjadi korban, kemungkinan penyebabnya;
kealpaan, ketidak tauan, kurang hati-hati, kelemahan korban atau mungkin kesialan korban. Dapat juga terjadi akibat
kelalaian Negara untuk melindungi warganya. Perkembangan global, factor
ekonomi, politik, sosiologis, ataupun factor-faktor negatif lain, memungkinkan
adanya korban yang tidak “murni”. Disini korban tersangkut atau menjadi bagian
dari pelaku kejahatan, bahkan sekaligus menjadi pelakunya. Lebih mendalam
tentang masalah ini, Hentig seperti dikutip (Rena Yulia,2012: 81) beranggapan
bahwa peranan korban dalam menimbulkan
kejahatan adalah:
a. tindakan
kejahatan memang dikehendaki oleh si korban untuk terjadi;
b. kerugian
akibat tindak kejahatan mungkin dijadikan si korban untuk memperoleh keuntungan
yang lebih besar;
c. akibat
yang merugikan si korban mungkin merupakan kerja sama antara si pelaku dengan
si korban;
d. kerugian
akibat tindak kejahatan sebenarnya tidak terjadi bila tidak ada provokasi si
korban.
Selanjutnya hubungan korban dengan
pelaku dapat dilihat dari tingkat kesalahannya. Menurut Mendelsohn (ibid.:80),
berdasarkan derajat kesalahannya korban dibedakan menjadi 5 (lima) macam,
yaitu:
a. yang
sama sekali tidak bersalah
b. yang
jadi korban karena kelalaian
c. yang
sama salahnya dengan pelaku
d. yang
lebih bersalah dari pelaku
e. yang
korban adalah satu-satunya yang bersalah (dalam hal ini pelaku dibebaskan)
Sebenarnya banyak hubungan korban dengan
pelaku, diantaranya juga dapat dikaji melalui hubungan darah, persaudaraan,
family, ataupun kekeluargaan. Misalnya pencurian dalam keluarga, pelecehan
seksual dan bahkan penganiyayaan atau pembunuhan untuk memperebutkan harta
waris serta kekuasaan/dalam pengaruh keluarga. Sejenis hubungan ini atu
hubungan orang-orang dekat pelaku ataupun korban seperti teman, sahabat, pacar,
rekan bisnis dan sebagainya. Ada lagi hubungan berdasarkan hubungan sengan
sasaran tindakan pelaku (G.Widiartana, 2009:22), yaitu sebagai berikut:
a. korban
langsung, yaitu mereka yang secara langsung menjadi sasaran atu objek perbuatan
pelaku.
b. Korban
tidak langsung, yaitu mereka yang meskipun tidak secara langsung menjadi
sasaran perbuatan pelaku, tetapi juga mengalami penderitaan atau nestapa. Pada
kasus pembunhan terhadap seorang laki-laki yang mempunyai tanggung jawab
menghidupi istri dan anak-anaknya, meninggalnya laki-laki tersebut merupakan korban
langsung. Sedangkan istri dan anaknya itu merupakan korban tidak langsung.
Fakta menunjukan bahwa sebagian besar
korban merupakan korban yang murni atau senyatanya. Korban-korban dimaksud
terjadi dalam tindak pidana misalnya terorisme, pencurian (bisa pemberatan dan
kekerasan), dan tindak pidana lain yang sering terjadi dimasyarakat. Koban
disini dalam posisi pasif, tidak menjadi faktor-faktor penyebab terjadinya
tindak pidana. Pihak pelaku yang mengendaki penuh kejahatannya dan korban
korban yang menjadi sasaran atau tujuan kejahatan tersebut. Menurut Medelsohn, derajat kesalahan korban
adalah “yang sama sekali tidak bersalah”.
Memang banyak juga korban ikut andil
dalam terjadinya kejahatan. Derajat kecilnya peran korban, misalnya korban
lalai, sehingga munc ul atau terjadi tindak pidana. Dapat terjadi pula dalam
hal korban menarik perhatian pelaku, misalnya korban menyukai memperlihatkan
kekayaannya, overacting, atau perilaku lain yang dapat menggugah pelaku melakukan tindak
pidana. Dapat terjadi pula bila korban seorang perempuan sering berpakaian atau
berprilaku seksi dan merangsang atau tidak sopan. Bukan saja ikut andil, sering
terjadi korban “sama salahnya dengan pelaku”. Disini korban berpura-pura
menjadi korban, padahal ia pelaku. Misalnya pelaku bom bunuh diri, seorang
penjaga barang atau uang yang melaporkan terjadi kejahatan padahal yang
bersangkutan turut serta dalam kejahatan itu dan sebaginya.
Kehidupan banyak dinamika antara korban
dan kejahatan, akibat dorongan ekonomi, politis dan psikis. Idealnya selalu
berkurang jumlah korban dan pelaku. Jika terjadi semakin bertambah korban, maka
yang terpenting adalah pemberian hak dan perlindungan terhadap korban
semaksimal mungkin. Demikian pula bila pelaku bertambah, hendaklah diperlakukan
sesuai hak-haknya. Selanjutnya bila menjadi terpidana atau narapidana hendaknya
diterapkan system pemasyarakatan. Juga tidak kalah pentingnya bagi pelaku untuk
dapat memmberi ganti kerugian atau restitusi kepada korban.
Diluar itu, ada kondisi diantar korban
dan pelaku. Dalam hal ini “hubungan korban dan pelaku merupakan dwi tunggal”(Romli Atmasasmita, 1992:7).
Lebih lanjut dnyatakan bahwa “korban dan pelaku adalah tunggal atau satu, dalam
pengertian bahwa pelaku adalah korban dan korban pemakai atau drug users. Jenis
pelanggaran hukum tersebut tidak dapat membedakan secara tegas antara siapa
korban dan siapa pelaku”.
tolong list referensi yang digunakan dicantumkan kak sebagai daftar pustaka
BalasHapus