Rabu, 31 Oktober 2012

Pemerkosaan



a.      Pengertian Perkosaan
            Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia :
·         Perkosa                  : gagah; paksa; kekerasan; perkasa.
·         Memperkosa           : 1) menundukkan dan sebagainya dengan kekerasan: 2) melanggar (menyerang dan sebagainya) dengan kekerasan.
·         Perkosaan              : 1) perbuatan memperkosa; penggagahan; paksaan; 2) pelanggaran dengan kekerasan.
Menurut Soetandyo Wignjosoebroto mendefinisikan perkosaan sebagai berikut:
“Perkosaan adalah suatu usaha melampiaskan nafsu seksual oleh seorang lelaki terhadap seorang perempuan dengan cara yang menurut moral dan atau hukum yang berlaku melanggar”.
Dalam pengertian seperti ini, apa yang disebut perkosaan disatu pihak dapat dilihat sebagai suatu perbuatan (ialah perbuatan seseorang yang secara paksa hendak melampiaskan nafsu seksualnya), dan di pihak lain dapat dilihat pula sebagai suatu peristiwa (ialah pelanggaran norma-norma).
Menurut R. Sugandhi, mendefinisikan perkosaan adalah sebagai berikut:
“Seorang pria yang memaksa pada seorang wanita bukan istrinya untuk melakukan persetubuhan dengannya dengan ancaman kekerasan, yang mana diharuskan kemaluan pria telah masuk ke dalam lubang kemaluan seorang wanita yang kemudian mengeluarkan air mani”.
Adapun unsur-unsur selengkapnya tentang perkosaan menurut R. Sugandhi adalah:
a)      Pemaksaan bersetubuh oleh laki-laki kepada wanita yang bukan menjadi istrinya
b)      Pemaksaan bersetubuh itu di ikuti dengan tindak atau ancaman kekerasan
c)      Kemaluan pria harus masuk pada lubang kemaluan wanita
d)     Mengeluarkan air mani
Pendapat itu menunjuk pada suatu perkosaan yang terjadi secara tuntas, artinya pihak pelaku (pemerkosa) telah menyelesaikan perbuatannya hingga selesai (mengeluarkan air mani). Jika hal ini tidak sampai terjadi, maka secara ekspilisit apa yang dilakukan pelaku itu belum patut dikategorikan sebagai perkosaan.
Pendapat seperti ini belum tentu sama dan disepakati oleh ahli-ahli lainnya. Ada ahli yang berpendapat bahwa perkosaan tidak selalu harus merupakan deskripsi suatu persetubuhan yang dilakukan paksa sampai mengeluarkan air mani (sperma). Cukup dengan pemaksaan persetubuhan (sampai alat kelamin laki-laki masuk kedalam alat kelamin perempuan), maka hal itu sudah disebut sebagai perkosaan.
Lamintang dan Djisman Samosir berpendapat bahwa:
”perkosaan adalah perbuatan seseorang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita untuk melakukan persetubuhan di luar ikatan perkawinan dengan dirinya”.
Bagi Lamintang dan Djisman Samosir, perkosaan harus mengandung unsur:
1)      Ada tindakan kekerasan atau ancaman kekerasan
2)      Memaksa seorang wanita untuk melakukan hubungan biologis (seksual / persetubuhan)
3)      Persetubuhan yang dilakukan harus diluar ikatan perkawinan
Ketiga unsure itu menunjukan bahwa dalam kasus perkosan harus bisa dibuktikan adanya unsur kekerasan atau ancaman kekerasan (seperti diancam hendak dibunuh, dilukai atau dirampas hak-hak asasi lainnya). Tindakan kekerasan atau ancaman kekerasan itu dijadikan jalan atau menjadi bagian dari perbuatan yang targetnya memperlancar terjadinya persetubuhan.
Selain itu kekerasan atau ancaman kekerasan itu hanya berlaku di luar ikatan perkawinan. Dengan kata lain, kekerasan atau ancaman kekerasan sehubungan dengan persetubuhan dalam hal ikatan perkawinan tidak disebut perkosaan.
Sedang Wirdjono Prodjodikoro mengungkapkan bahwa perkosaan adalah:
“Seorang laki-laki yang memaksa seorang perempuan yang bukan istrinya untuk bersetubuh dengan dia, sehingga sedemikian rupa ia tidak dapat melawan, maka dengan terpaksa ia mau melakukan persetubuhan itu”.
Pendapat Wirdjono ini juga menekankan mengenai pemaksaan hubungan seksual (persetubuhan) pada seorang perempuan yang bukan istrinya. Pemaksaan yang dilakukan oleh laki-laki membuat atau mengakibatkan perempuan terpaksa melayani persetubuhan. Unsur keterpaksaan dalam persetubuhan itu biasanya didahului oleh perlawanan dari perempuan sebagai wujud penolakan atau ketidak setujuannya.
b.      Jenis – Jenis Perkosaan
Mengenai jenis-jenis perkosaan, seorang ahli kriminologi Mulyana W. Kusuma menyebutkan sebagai berikut : (Abdul Wahid, 2001:46)
1.      Forcible rape yaitu pasal 285 KUHP: Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
2.      Exploitation Rape yaitu Perkosaan yang menunjukkan bahwa pada setiap kesempatan melakukan hubungan seksual yang diperoleh oleh laki-laki dengan mengambil keuntungan yang berlawanan dengan posisi perempuan yang bergantung padanya secara ekonomis dan sosial. Misalnya istri yang diperkosa oleh suaminya atau pembantu rumah tangga yang diperkosa oleh majikannya, sedangkan pembantunya tidak mempersoalkan atau mengadukan kasusnya ini kepada pihak yang berwajib.
3.      Victim Precipitated Rape Yaitu perkosaan yang terjadi (berlangsung) dengan menempatkan korban sebagai pencetusnya.
4.      Angea Rape Yakni penganiayaan seksual yang bercirikan seksualitas yang menjadi sarana untuk menyatakan dan melampiaskan rasa geram dan marah yang tertahan. Tubuh korban disini seakanakan merupakan obyek terhadap siapa pelaku yang memproyeksikan pemecahan atas frustasi-frustasi, kelemahan, kesulitan dan kekecewaan hidupnya.
5.      Domination Rape Yaitu suatu perkosaan yang terjadi ketika pelaku mencoba untuk gigih atas kekuasaan dan superioritas terhadap korban. Tujuannya adalah penaklukan seksual, pelaku menyakiti korban, namun tetap memiliki keinginan berhubungan  seksual.
6.      Seductive Rape Suatu perkosaan yang terjadi pada situasi-situasi yang merangsang yang tercipta oleh kedua belah pihak. Pada mulanya korban memutuskan bahwa keintiman personal harus dibatasi tidak sampai sejauh persenggamaan. Pelaku pada umumnya mempunyai keyakinan membutuhkan paksaan, oleh karena tanpa itu tidak mempunyai perasaan bersalah yang menyangkut seks
7.      Sadistic Rape Perkosaan sadistis, artinya pada tipe ini seksualitas dan agresif berpadu dalam bentuk yang merusak. Pelaku perkosaan telah nampak menikmati kesenangan erotik bukan melalui hubungan seksnya, melainkan melalui serangan yang mengerikan atas alat kelamin dan tubuh korban.
c.       Dasar Hukum
1.      Pasal 285 KUHP, menurut KUHP perkosaan hanya dialamai oleh perempuan - perempuan, pada laki-laki →  perbuatan cabul.
2.      Pasal 81 dan 82 UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
3.      Pasal 5,6 dan 8, 44, 46, 47 dan 48 UU Nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
d.      Unsur-Unsur Tindak Pidana Perkosaan
Dalam ketentuan Pasal 285 diatas terdapat unsur-unsur untuk membuktikan ada atau tidaknya tindak pidana perkosaan, unsur-unsur yang dimaksud adalah sebagai berikut :
1.      Adanya kekerasan atau ancaman kekerasan
2.      Memaksa seorang wanita
3.      Bersetubuh di luar perkawinan dengan dia (pelaku)
Ad a) Adanya kekerasan atau ancaman kekerasan, artinya mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara tidak sah, misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala senjata, menyepak, menendang, dan sebagainya sampai orang itu jadi pingsan atau tidak berdaya.
Ad b) Memaksa seorang wanita, artinya dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan iastrinya bersetubuh dengan dia.
Ad c) Bersetubuh di luar perkawinan, artinya peraduan antara kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota kelamin laki-laki harus masuk ke anggota kelamin perempuan, sehingga mengeluarkan mani dengan wanita yang bukan istrinya.
Sementara tindak pidana perkosaan menurut RUU KUHP diatur dalam Bab XVI Tentang Tindak Pidana Kesusilaan Bagian Kelima Tentang Perkosaan dan Perbuatan Cabul Paragraf 1, yang berbunyi: “Dipidana karena melakukan tindak pidana perkosaan, dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 tahun:
1)      Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan di luar perkawinan, bertentangan dengan kehendak perempuan tersebut;
2)      Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan di luar perkawinan, tanpa persetujuan perempuan tersebut;
3)      Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan, dengan persetujuan perempuan tersebut, tetapi persetujuan tersebut dicapai melalui ancaman untuk dibunuh atau dilukai;
4)      Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan, dengan persetujuan perempuan tersebut karena perempuan tersebut percaya bahwa laki-laki tersebut adalah suaminya yang sah;
5)      Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan yang berusia di bawah 14 (empat belas) tahun, dengan persetujuannya; atau
6)      Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan tersebut dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya”.
e.       Faktor-Faktor Terjadinya Perkosaan
Perkosaan merupakan kejahatan kesusilaan yang bisa disebabkan oleh berbagai faktor. Kejahatan ini cukup kompleks  penyebabnya dan tidak berdiri sendiri. Penyebabnya dapat dipengaruhi oleh kondisi yang mendukung, keberadaan korban yang secara tidak langsung mendorong pelakunya dan bisa jadi karena ada unsur-unsur lain yang mempengaruhinya.
Menurut Lidya Suryani W. dan Sri Wurdani, bahwa “perkosaan dapat terjadi karena berbagai macam sebab, seperti adanya rasa dendam pelaku pada korban, karena rasa dendam pelaku pada seorang wanita sehingga wanita lain menjadi sasaran kemarahannya, korban sebagai kompensasi perasaan tertekan atau stress berbagai masalah yang dihadapinaya, karena pengaruh rangsangan lingkungan seperti film atau gambar-gambar porno, dan karena keinginan pelaku menyalurkan dorongan seksualnya yang sudah tidak dapat di tahannya, juga karena didukung oleh situasi dan kondisi lingkungan maupun pelaku dan korban yang memungkinkan dilakukannya perkosaan. Dalam setiap kasus perkosaan paling tidak melibatkan tiga hal, yakni: pelaku, korban, dan situasi serta kondisi. Ketiga hal tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Masing-masing mempunyai andil sendiri-sendiri dalam mendorong timbulnya suatu tindak pidana perkosaan.
Sementara itu Psikolog Hartini Kartono mendeskripsikan latar belakang perkosaan, “pada peristiwa perkosaan, sang pemerkosa selalu di dorong oleh nafsu-nafsu seks yang sangat kuat, dibarengi emosi-emosi yang tidak dewasa dan tidak mapan. Biasanya dimuati oleh unsur-unsur kekejaman dan sifat sadistis.
Berbeda dengan itu, Made Weda berpendapat, “studi tentang korban kejahatan mencatat adanya peranan korban yang disebut victim precipitation. Dalam hal ini prilaku-prilaku si korban, disadari atau tidak, merangsang timbulnya perkosaan. Sebagai contoh, seorang wanita berjalan sendiri ditempat yang sepi, cara korban berpakaian yang dapat merangsang seseorang untuk melakukan kejahatan perkosaan.”
Pendapat itu menunjukan mengenai posisi korban yang secara tidak langsung turut ambil bagian terhadap terjadinya perkosaan. Artinya, ada sikap, prilaku, cara menempatkan diri, cara bergaul dan hadir pada suasana yang menurut pandangan umum tidak lazim, yang dapat mendorong emosi dan nafsu laki-laki untuk berbuat tidak senonoh dan memperkosanya. Korban telah menempatkan dirinya sebagai “pelaku secara tidak langsung, karena apa yang diperbuatnya telah mendorong terjadina kriminalitas”.
Pendapat tersebut dipertegas lai oleh Anton Tabah, “meningkatnya kasus perkosaan terkait erat dengan aspek sosial budaya. Budaya yang semakin terbuka, pergaulan yang semakin bebas, cara berpakaian kaum hawa yang semakin merangsang , dan kadang-kadang dengan berbagai perhiasan mahal, kebiasaan-kebiasaan bepergian jauh sendirian, adalah factor-faktor dominan yang mempengaruhi tingginya frekuensi kasus perkosaan. Belum lagi mutu penghayatan keagamaan masyarakat yang semakin longgar. Belum lagi vonis hakim terhadap pelaku perkosaan yang tak setimpal.”
Dari sejumlah pendapat pakar di atas, dapat di simpulkan bahwa factor penyebab terjadinya perkosaan setidak-tidaknya adalah sebagai berikut:
a.       Pengaruh perkembangan budaya yang semakin tidak menghargai etika berpakaian yang menutup aurat, yang dapat merangsang pihak lain untuk berbuat tidak senono dan jahat.
b.      Gaya hidup atau mode pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang semakin bebas, tidak atau kurang bisa lagi menbedakan antara yang seharusnya boleh dikerjakan dengan yang dilarang dalam hubungannya dengan kaedah akhlak mengenai hubungan laki-laki dengan perempuan.
c.       Rendahnya pengalaman dan penghayatan terhadap norma-norma keagamaan yang terjadi di tengah masyarakat. Nilai-nilai keagamaan yang semakin terkikis di masyarakat atau pola relasi horizontal yang cenderung semakin meniadakan peran agama adalah sangat potensial untuk mendorong seseorang berbuat jahat dan merugikan orang lain.
d.      Tingkat kontrol masyarakat (social control) yang rendah, artinya berbagai prilaku yang diduga sebagai penyimpangan, melanggar hukum dan norma keagamaan kurang mendapatkan response dan pengawasan dari unsur-unsur masyarakat.
e.       Putusan hakim yang terasa tak adil, seperti putusan yang cukup ringan yang dijatuhkan pada pelaku. Hal ini di mungkinkan dapat mendorong anggota-anggota masyarakat lainnya untuk berbuat keji dan jahat. Artinya mereka yang hendak berbuat jahat tidak merasa takut lagi dengan sanksi hukum yang akan diterimanya.
f.       Ketidak mampuan pelaku untuk mengendalikan emosi dan nafsu seksualnya. Nafsu seksualnya dibiarkan mengembara dan menuntutnya untuk dicarikan kompensasi pemuasnya.
g.      Keinginan pelaku untuk melakukan (melampiaskan) balas dendam terhadap sikap, ucapan (keputusan) dan prilaku korban yang dianggap menyakiti dan merugikannya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar