a.
Pengertian
Perkosaan
Dalam
kamus Besar Bahasa Indonesia :
·
Perkosa : gagah; paksa; kekerasan; perkasa.
·
Memperkosa : 1) menundukkan dan
sebagainya dengan kekerasan: 2) melanggar (menyerang dan sebagainya) dengan
kekerasan.
·
Perkosaan : 1) perbuatan memperkosa; penggagahan;
paksaan; 2) pelanggaran dengan kekerasan.
Menurut Soetandyo Wignjosoebroto mendefinisikan perkosaan sebagai
berikut:
“Perkosaan adalah suatu usaha
melampiaskan nafsu seksual oleh seorang lelaki terhadap seorang perempuan
dengan cara yang menurut moral dan atau hukum yang berlaku melanggar”.
Dalam pengertian seperti ini, apa
yang disebut perkosaan disatu pihak dapat dilihat sebagai suatu perbuatan
(ialah perbuatan seseorang yang secara paksa hendak melampiaskan nafsu
seksualnya), dan di pihak lain dapat dilihat pula sebagai suatu peristiwa
(ialah pelanggaran norma-norma).
Menurut R.
Sugandhi,
mendefinisikan perkosaan adalah sebagai berikut:
“Seorang pria yang memaksa pada
seorang wanita bukan istrinya untuk melakukan persetubuhan dengannya dengan
ancaman kekerasan, yang mana diharuskan kemaluan pria telah masuk ke dalam
lubang kemaluan seorang wanita yang kemudian mengeluarkan air mani”.
Adapun unsur-unsur selengkapnya
tentang perkosaan menurut R. Sugandhi adalah:
a) Pemaksaan bersetubuh oleh laki-laki
kepada wanita yang bukan menjadi istrinya
b) Pemaksaan bersetubuh itu di ikuti dengan
tindak atau ancaman kekerasan
c) Kemaluan pria harus masuk pada
lubang kemaluan wanita
d) Mengeluarkan air mani
Pendapat itu menunjuk pada suatu
perkosaan yang terjadi secara tuntas, artinya pihak pelaku (pemerkosa) telah
menyelesaikan perbuatannya hingga selesai (mengeluarkan air mani). Jika hal ini
tidak sampai terjadi, maka secara ekspilisit apa yang dilakukan pelaku itu
belum patut dikategorikan sebagai perkosaan.
Pendapat seperti ini belum tentu
sama dan disepakati oleh ahli-ahli lainnya. Ada ahli yang berpendapat bahwa
perkosaan tidak selalu harus merupakan deskripsi suatu persetubuhan yang
dilakukan paksa sampai mengeluarkan air mani (sperma). Cukup dengan pemaksaan
persetubuhan (sampai alat kelamin laki-laki masuk kedalam alat kelamin
perempuan), maka hal itu sudah disebut sebagai perkosaan.
Lamintang dan Djisman Samosir
berpendapat bahwa:
”perkosaan adalah perbuatan
seseorang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita
untuk melakukan persetubuhan di luar ikatan perkawinan dengan dirinya”.
Bagi Lamintang dan Djisman Samosir,
perkosaan harus mengandung unsur:
1) Ada tindakan kekerasan atau ancaman
kekerasan
2) Memaksa seorang wanita untuk
melakukan hubungan biologis (seksual / persetubuhan)
3) Persetubuhan yang dilakukan harus
diluar ikatan perkawinan
Ketiga
unsure itu menunjukan bahwa dalam kasus perkosan harus bisa dibuktikan adanya
unsur kekerasan atau ancaman kekerasan (seperti diancam hendak dibunuh, dilukai
atau dirampas hak-hak asasi lainnya). Tindakan kekerasan atau ancaman kekerasan
itu dijadikan jalan atau menjadi bagian dari perbuatan yang targetnya
memperlancar terjadinya persetubuhan.
Selain itu
kekerasan atau ancaman kekerasan itu hanya berlaku di luar ikatan perkawinan.
Dengan kata lain, kekerasan atau ancaman kekerasan sehubungan dengan
persetubuhan dalam hal ikatan perkawinan tidak disebut perkosaan.
Sedang Wirdjono
Prodjodikoro mengungkapkan
bahwa perkosaan adalah:
“Seorang laki-laki yang memaksa
seorang perempuan yang bukan istrinya untuk bersetubuh dengan dia, sehingga
sedemikian rupa ia tidak dapat melawan, maka dengan terpaksa ia mau melakukan
persetubuhan itu”.
Pendapat Wirdjono ini juga
menekankan mengenai pemaksaan hubungan seksual (persetubuhan) pada seorang
perempuan yang bukan istrinya. Pemaksaan yang dilakukan oleh laki-laki membuat
atau mengakibatkan perempuan terpaksa melayani persetubuhan. Unsur keterpaksaan
dalam persetubuhan itu biasanya didahului oleh perlawanan dari perempuan
sebagai wujud penolakan atau ketidak setujuannya.
b.
Jenis
– Jenis Perkosaan
Mengenai jenis-jenis perkosaan,
seorang ahli kriminologi Mulyana W. Kusuma menyebutkan sebagai berikut : (Abdul
Wahid, 2001:46)
1. Forcible rape yaitu pasal 285 KUHP: Barang siapa dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar
perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling
lama dua belas tahun.
2. Exploitation Rape yaitu Perkosaan yang menunjukkan
bahwa pada setiap kesempatan melakukan hubungan seksual yang diperoleh oleh
laki-laki dengan mengambil keuntungan yang berlawanan dengan posisi perempuan
yang bergantung padanya secara ekonomis dan sosial. Misalnya istri yang
diperkosa oleh suaminya atau pembantu rumah tangga yang diperkosa oleh
majikannya, sedangkan pembantunya tidak mempersoalkan atau mengadukan kasusnya
ini kepada pihak yang berwajib.
3. Victim Precipitated Rape Yaitu perkosaan yang terjadi
(berlangsung) dengan menempatkan korban sebagai pencetusnya.
4. Angea Rape Yakni penganiayaan seksual yang
bercirikan seksualitas yang menjadi sarana untuk menyatakan dan melampiaskan
rasa geram dan marah yang tertahan. Tubuh korban disini seakanakan merupakan
obyek terhadap siapa pelaku yang memproyeksikan pemecahan atas
frustasi-frustasi, kelemahan, kesulitan dan kekecewaan hidupnya.
5. Domination Rape Yaitu suatu perkosaan yang terjadi
ketika pelaku mencoba untuk gigih atas kekuasaan dan superioritas
terhadap korban. Tujuannya adalah penaklukan seksual, pelaku menyakiti
korban, namun tetap memiliki keinginan berhubungan seksual.
6. Seductive Rape Suatu perkosaan yang terjadi pada
situasi-situasi yang merangsang yang tercipta oleh kedua belah pihak.
Pada mulanya korban memutuskan bahwa keintiman personal harus dibatasi
tidak sampai sejauh persenggamaan. Pelaku pada umumnya mempunyai
keyakinan membutuhkan paksaan, oleh karena tanpa itu tidak mempunyai
perasaan bersalah yang menyangkut seks
7. Sadistic Rape Perkosaan sadistis, artinya pada
tipe ini seksualitas dan agresif berpadu dalam bentuk yang merusak.
Pelaku perkosaan telah nampak menikmati kesenangan erotik bukan melalui
hubungan seksnya, melainkan melalui serangan yang mengerikan atas alat
kelamin dan tubuh korban.
c.
Dasar
Hukum
1. Pasal 285 KUHP, menurut KUHP
perkosaan hanya dialamai oleh perempuan - perempuan, pada laki-laki →
perbuatan cabul.
2. Pasal 81 dan 82 UU Nomor 23 tahun
2002 tentang Perlindungan Anak
3. Pasal 5,6 dan 8, 44, 46, 47 dan 48
UU Nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
d.
Unsur-Unsur
Tindak Pidana Perkosaan
Dalam ketentuan Pasal 285 diatas
terdapat unsur-unsur untuk membuktikan ada atau tidaknya tindak pidana
perkosaan, unsur-unsur yang dimaksud adalah sebagai berikut :
1. Adanya kekerasan atau ancaman
kekerasan
2. Memaksa seorang wanita
3. Bersetubuh di luar perkawinan dengan
dia (pelaku)
Ad a) Adanya kekerasan atau ancaman
kekerasan, artinya mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil
secara tidak sah, misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala senjata,
menyepak, menendang, dan sebagainya sampai orang itu jadi pingsan atau tidak
berdaya.
Ad b) Memaksa seorang wanita,
artinya dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan
iastrinya bersetubuh dengan dia.
Ad c) Bersetubuh di luar perkawinan,
artinya peraduan antara kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasa dijalankan
untuk mendapatkan anak, jadi anggota kelamin laki-laki harus masuk ke anggota
kelamin perempuan, sehingga mengeluarkan mani dengan wanita yang bukan
istrinya.
Sementara tindak pidana perkosaan
menurut RUU KUHP diatur dalam Bab XVI Tentang Tindak Pidana Kesusilaan Bagian
Kelima Tentang Perkosaan dan Perbuatan Cabul Paragraf 1, yang berbunyi:
“Dipidana karena melakukan tindak pidana perkosaan, dengan pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 tahun:
1) Laki-laki yang melakukan
persetubuhan dengan perempuan di luar perkawinan, bertentangan dengan kehendak
perempuan tersebut;
2) Laki-laki yang melakukan
persetubuhan dengan perempuan di luar perkawinan, tanpa persetujuan perempuan
tersebut;
3) Laki-laki yang melakukan
persetubuhan dengan perempuan, dengan persetujuan perempuan tersebut, tetapi
persetujuan tersebut dicapai melalui ancaman untuk dibunuh atau dilukai;
4) Laki-laki yang melakukan
persetubuhan dengan perempuan, dengan persetujuan perempuan tersebut karena
perempuan tersebut percaya bahwa laki-laki tersebut adalah suaminya yang sah;
5) Laki-laki yang melakukan
persetubuhan dengan perempuan yang berusia di bawah 14 (empat belas) tahun,
dengan persetujuannya; atau
6) Laki-laki yang melakukan
persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan tersebut dalam
keadaan pingsan atau tidak berdaya”.
e.
Faktor-Faktor Terjadinya Perkosaan
Perkosaan merupakan kejahatan
kesusilaan yang bisa disebabkan oleh berbagai faktor. Kejahatan ini cukup
kompleks penyebabnya dan tidak berdiri
sendiri. Penyebabnya dapat dipengaruhi oleh kondisi yang mendukung, keberadaan
korban yang secara tidak langsung mendorong pelakunya dan bisa jadi karena ada
unsur-unsur lain yang mempengaruhinya.
Menurut Lidya Suryani W. dan Sri
Wurdani, bahwa “perkosaan dapat terjadi karena berbagai macam sebab, seperti
adanya rasa dendam pelaku pada korban, karena rasa dendam pelaku pada seorang
wanita sehingga wanita lain menjadi sasaran kemarahannya, korban sebagai
kompensasi perasaan tertekan atau stress berbagai masalah yang dihadapinaya,
karena pengaruh rangsangan lingkungan seperti film atau gambar-gambar porno,
dan karena keinginan pelaku menyalurkan dorongan seksualnya yang sudah tidak
dapat di tahannya, juga karena didukung oleh situasi dan kondisi lingkungan
maupun pelaku dan korban yang memungkinkan dilakukannya perkosaan. Dalam setiap
kasus perkosaan paling tidak melibatkan tiga hal, yakni: pelaku, korban, dan
situasi serta kondisi. Ketiga hal tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama
lain. Masing-masing mempunyai andil sendiri-sendiri dalam mendorong timbulnya
suatu tindak pidana perkosaan.
Sementara itu Psikolog Hartini
Kartono mendeskripsikan latar belakang perkosaan, “pada peristiwa perkosaan,
sang pemerkosa selalu di dorong oleh nafsu-nafsu seks yang sangat kuat,
dibarengi emosi-emosi yang tidak dewasa dan tidak mapan. Biasanya dimuati oleh
unsur-unsur kekejaman dan sifat sadistis.
Berbeda dengan itu, Made Weda
berpendapat, “studi tentang korban kejahatan mencatat adanya peranan korban
yang disebut victim precipitation. Dalam hal ini prilaku-prilaku si korban,
disadari atau tidak, merangsang timbulnya perkosaan. Sebagai contoh, seorang
wanita berjalan sendiri ditempat yang sepi, cara korban berpakaian yang dapat
merangsang seseorang untuk melakukan kejahatan perkosaan.”
Pendapat itu menunjukan mengenai
posisi korban yang secara tidak langsung turut ambil bagian terhadap terjadinya
perkosaan. Artinya, ada sikap, prilaku, cara menempatkan diri, cara bergaul dan
hadir pada suasana yang menurut pandangan umum tidak lazim, yang dapat
mendorong emosi dan nafsu laki-laki untuk berbuat tidak senonoh dan
memperkosanya. Korban telah menempatkan dirinya sebagai “pelaku secara tidak
langsung, karena apa yang diperbuatnya telah mendorong terjadina kriminalitas”.
Pendapat tersebut dipertegas lai
oleh Anton Tabah, “meningkatnya kasus perkosaan terkait erat dengan aspek
sosial budaya. Budaya yang semakin terbuka, pergaulan yang semakin bebas, cara
berpakaian kaum hawa yang semakin merangsang , dan kadang-kadang dengan
berbagai perhiasan mahal, kebiasaan-kebiasaan bepergian jauh sendirian, adalah
factor-faktor dominan yang mempengaruhi tingginya frekuensi kasus perkosaan.
Belum lagi mutu penghayatan keagamaan masyarakat yang semakin longgar. Belum
lagi vonis hakim terhadap pelaku perkosaan yang tak setimpal.”
Dari sejumlah pendapat pakar di
atas, dapat di simpulkan bahwa factor penyebab terjadinya perkosaan
setidak-tidaknya adalah sebagai berikut:
a. Pengaruh perkembangan budaya yang
semakin tidak menghargai etika berpakaian yang menutup aurat, yang dapat
merangsang pihak lain untuk berbuat tidak senono dan jahat.
b. Gaya hidup atau mode pergaulan
antara laki-laki dan perempuan yang semakin bebas, tidak atau kurang bisa lagi
menbedakan antara yang seharusnya boleh dikerjakan dengan yang dilarang dalam
hubungannya dengan kaedah akhlak mengenai hubungan laki-laki dengan perempuan.
c. Rendahnya pengalaman dan penghayatan
terhadap norma-norma keagamaan yang terjadi di tengah masyarakat. Nilai-nilai
keagamaan yang semakin terkikis di masyarakat atau pola relasi horizontal yang
cenderung semakin meniadakan peran agama adalah sangat potensial untuk
mendorong seseorang berbuat jahat dan merugikan orang lain.
d. Tingkat kontrol masyarakat (social
control) yang rendah, artinya berbagai prilaku yang diduga sebagai
penyimpangan, melanggar hukum dan norma keagamaan kurang mendapatkan response
dan pengawasan dari unsur-unsur masyarakat.
e. Putusan hakim yang terasa tak adil,
seperti putusan yang cukup ringan yang dijatuhkan pada pelaku. Hal ini di
mungkinkan dapat mendorong anggota-anggota masyarakat lainnya untuk berbuat
keji dan jahat. Artinya mereka yang hendak berbuat jahat tidak merasa takut
lagi dengan sanksi hukum yang akan diterimanya.
f. Ketidak mampuan pelaku untuk
mengendalikan emosi dan nafsu seksualnya. Nafsu seksualnya dibiarkan mengembara
dan menuntutnya untuk dicarikan kompensasi pemuasnya.
g. Keinginan pelaku untuk melakukan
(melampiaskan) balas dendam terhadap sikap, ucapan (keputusan) dan prilaku
korban yang dianggap menyakiti dan merugikannya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar